RUBLIK DEPOK – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, rasa lelah yang terus-menerus atau bahkan kelelahan karena merasa lelah bisa menjadi tanda awal burnout. Fenomena ini bukan sekadar kelelahan biasa, melainkan sindrom yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental jika dibiarkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout bukanlah penyakit, melainkan kumpulan gejala akibat stres berkepanjangan yang membuat seseorang merasa kehabisan energi, terputus dari lingkungan sosial, dan sulit menjalani aktivitas sehari-hari. “Burnout terjadi ketika seseorang mencoba menghindari sifat manusiawi terlalu lama,” ujar Dr. Sherrie Bourg Carter, psikolog klinis dari Amerika Serikat, dalam wawancaranya dengan Psychology Today pada 10 Oktober 2024. Di Indonesia, khususnya di wilayah urban seperti Depok, tekanan pekerjaan, pendidikan, dan media sosial semakin memperparah risiko burnout, terutama di kalangan pekerja muda dan pelajar. Artikel ini mengulas tanda-tanda burnout, dampaknya, serta langkah-langkah praktis untuk mencegah dan mengatasinya.
Mengenali Tanda-Tanda Burnout
Burnout bukan sekadar stres sementara, melainkan kondisi yang dapat menetap dan melemahkan seseorang secara emosional, mental, dan fisik. Gejala fisiknya meliputi kelelahan kronis meski sudah cukup tidur, insomnia, sakit kepala berulang, nyeri otot atau sendi, masalah pencernaan seperti mual atau hilangnya nafsu makan, serta rentan sakit karena menurunnya imunitas. “Saya sering merasa lelah meski tidur delapan jam, dan kepala saya sering pusing tanpa sebab jelas,” ungkap Rina Sari, seorang karyawan swasta di Depok, pada 16 November 2024, mencerminkan pengalaman banyak orang yang tidak menyadari tanda-tanda awal burnout.
Secara emosional, burnout ditandai dengan perasaan terputus dari aktivitas yang biasanya disukai, seperti hobi atau interaksi sosial, serta kesulitan berkonsentrasi dan membuat keputusan. “Ketika seseorang mulai merasa sinis, mudah marah, atau kehilangan motivasi, itu adalah sinyal bahwa burnout sudah di depan mata,” jelas Emily Marszalek, spesialis kesehatan karyawan dari University of Alabama at Birmingham, dalam wawancara dengan Uzone.id pada 12 November 2024. Perasaan putus asa, merasa gagal, atau kehilangan makna dalam hidup juga sering muncul, membuat seseorang merasa terjebak dalam rutinitas yang melelahkan.
Di Indonesia, faktor seperti tekanan produktivitas di tempat kerja, ekspektasi akademik yang tinggi, dan paparan media sosial yang konstan memperburuk risiko burnout. Penelitian dari Frontiers in Psychology pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa 65 persen pekerja di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, melaporkan gejala burnout ringan hingga berat. “Banyak orang di Depok yang bekerja dari pagi hingga malam, lalu scrolling media sosial hingga larut, tanpa waktu untuk istirahat sejati,” kata Andi Pratama, seorang konselor kesehatan mental dari Jakarta, pada 16 November 2024. Tanpa intervensi, kondisi ini dapat berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti kecemasan atau depresi.
Dampak Burnout pada Kehidupan Sehari-Hari
Burnout tidak hanya menguras energi, tetapi juga berdampak signifikan pada produktivitas dan hubungan sosial. Bagi pelajar, burnout dapat menyebabkan absensi di sekolah atau penurunan prestasi akademik. Bagi pekerja, seperti yang dialami banyak profesional muda di Depok, burnout sering kali memicu penurunan motivasi, kesalahan kerja, atau bahkan pengunduran diri. “Saya pernah merasa tak punya alasan untuk bangun pagi karena pekerjaan terasa tak ada habisnya,” tutur Rina Sari pada 16 November 2024, menggambarkan bagaimana burnout membuatnya kehilangan semangat.
Secara fisik, burnout dapat meningkatkan risiko penyakit kronis seperti hipertensi dan gangguan jantung akibat stres berkepanjangan. Penelitian dari American Psychological Association pada September 2024 mengungkapkan bahwa individu dengan burnout berat memiliki risiko 30 persen lebih tinggi untuk mengalami masalah kardiovaskular. Selain itu, hubungan sosial juga terdampak, dengan banyak individu merasa terisolasi atau menarik diri dari keluarga dan teman. “Burnout membuat seseorang merasa sendirian meski dikelilingi orang lain,” tegas Dr. Sherrie Bourg Carter pada 10 Oktober 2024, menyoroti dampak emosional yang mendalam.
Di lingkungan urban seperti Depok, di mana banyak penduduk bekerja di Jakarta atau kota satelit lainnya, perjalanan panjang dan tekanan ekonomi menambah beban mental. “Banyak klien saya yang merasa terjebak antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan untuk menjaga kesehatan mental,” ungkap Andi Pratama pada 16 November 2024. Tanpa langkah pencegahan, burnout dapat memperburuk kualitas hidup dan memicu krisis kesehatan yang lebih luas.
Strategi Mencegah Burnout
Mencegah burnout jauh lebih mudah daripada mengatasinya setelah terjadi. Salah satu langkah utama adalah menetapkan batasan (boundaries) yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. “Mengatakan ‘tidak’ pada tugas atau komitmen yang tidak esensial bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk perawatan diri,” jelas Dr. Cirbus, seorang psikolog klinis, dalam wawancara dengan Healthline pada 5 November 2024. Misalnya, membatasi jam kerja tambahan atau menolak undangan sosial yang terasa membebani dapat membantu menjaga keseimbangan energi.
Istirahat yang berkualitas juga sangat penting. Penelitian dari Frontiers in Psychology pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa istirahat singkat selama 5-10 menit setiap beberapa jam dapat meningkatkan fokus sebesar 20 persen dan mengurangi stres hingga 15 persen. “Saya mulai mengambil jeda 10 menit untuk meditasi singkat di sela pekerjaan, dan itu sangat membantu,” ujar Rina Sari pada 16 November 2024, berbagi pengalamannya setelah mencoba teknik ini. Libur akhir pekan tanpa gangguan pekerjaan juga dapat menjadi cara efektif untuk mengisi ulang energi.
Detoksifikasi media sosial adalah strategi lain yang relevan, terutama di kalangan anak muda di Indonesia yang menghabiskan rata-rata 3,5 jam per hari di media sosial, menurut laporan We Are Social 2024. “Media sosial sering memicu perbandingan sosial dan FOMO, yang memperburuk stres,” kata Andi Pratama pada 16 November 2024. Ia menyarankan untuk membatasi waktu layar atau melakukan detoks digital selama beberapa jam sehari untuk membebaskan pikiran dari tekanan digital.
Praktik mindfulness, seperti meditasi atau latihan pernapasan dalam, juga terbukti efektif. Menurut American Psychological Association, mindfulness dapat menurunkan gejala burnout hingga 25 persen jika dilakukan secara rutin. Aplikasi seperti Headspace atau Calm, yang populer di kalangan pengguna di Depok, dapat membantu pemula memulai praktik ini. “Hanya 10 menit meditasi setiap pagi membuat saya lebih tenang menghadapi hari,” ungkap Rina Sari pada 16 November 2024.
Mengatasi Burnout yang Sudah Terjadi
Jika burnout sudah terdeteksi, langkah pertama adalah membuka diri kepada orang terpercaya, seperti teman, keluarga, atau terapis. “Berbicara tentang perasaan kita bisa mengurangi beban emosional secara signifikan,” tegas Emily Marszalek pada 12 November 2024. Di Depok, layanan konseling seperti yang ditawarkan oleh beberapa komunitas kesehatan mental lokal atau platform daring seperti Riliv dapat menjadi solusi bagi mereka yang membutuhkan dukungan profesional.
Langkah kedua adalah fokus pada tugas-tugas kecil yang tidak membebani. “Saat burnout, menyelesaikan satu tugas sederhana, seperti merapikan meja, bisa memberikan rasa pencapaian,” ujar Andi Pratama pada 16 November 2024. Pendekatan ini membantu membangun kembali kepercayaan diri tanpa menambah tekanan. Selain itu, memanjakan diri dengan aktivitas yang menyenangkan, seperti menonton film favorit, berendam di air hangat, atau menikmati makanan lezat, dapat membantu memulihkan semangat.
Tidur yang cukup juga krusial. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan 7-9 jam tidur per malam untuk orang dewasa. “Saya mulai mematikan ponsel satu jam sebelum tidur, dan kualitas tidur saya jauh lebih baik,” kata Rina Sari pada 16 November 2024, berbagi keberhasilannya setelah menerapkan rutinitas tidur yang konsisten. Menghindari layar sebelum tidur dan menciptakan lingkungan kamar yang nyaman dapat membantu mengatasi insomnia akibat burnout.
Pada akhirnya, mencegah dan mengatasi burnout membutuhkan kesadaran diri dan komitmen untuk mendengarkan kebutuhan tubuh dan pikiran. “Recharge bukan kemewahan, melainkan kebutuhan untuk tetap sehat dan produktif,” tegas Dr. Sherrie Bourg Carter pada 10 Oktober 2024. Bagi warga Depok yang hidup di tengah kesibukan perkotaan, langkah-langkah sederhana seperti menetapkan batasan, mengambil istirahat, dan memprioritaskan kesehatan mental dapat menjadi kunci untuk hidup yang lebih seimbang dan bahagia.