MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pada 2026 target rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) di level 39,96 persen, tak berubah sepanjang 3 tahun terakhir. Namun ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) membeberkan beban utang bakal makin tinggi tahun depan.
Berdasarkan hitungan Indef, total kewajiban utang pemerintah secara keseluruhan pada 2026 diperkirakan mencapai Rp 1.433 triliun atau melonjak dari tahun ini. Terdiri dari utang jatuh tempo sebesar Rp 833,9 triliun dan bunga utang Rp 599,4 triliun. Sebagai perbandingan, pada 2025 beban utang jatuh tempo dan pembayaran bunga utang masing-masing Rp 800,3 dan 552,1 triliun.
Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Riza Annisa Pujarama mengatakan ini perlu menjadi perhatian. “Utang boleh tapi kita perlu lihat lagi biaya berutangnya, itu yang membuat kita perlu hati-hati,” ucapnya dalam diskusi publik yang dikutip Senin, 18 Agustus 2025.
Meski rasio utang terhadap PDB dipatok 39,96 persen, pemerintah perlu memperhatikan kemampuan membayar. “Beban bunga utang hampir Rp 600 triliun jadi semakin tinggi. Porsinya sudah hampir 20 persen dari belanja pemerintah pusat,” ujar Riza.
Sementara itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan pajak tahun depan sudah mencapai 22,27 persen. Artinya 22,27 persen pajak dipakai untuk membayar bunga utang.
Menurut Riza, beban bunga utang ini seharusnya bisa dipakai untuk membiayai program seperti Makan Bergizi Gratis dan belanja prioritas pemerintah lainnya. “Makanya opportunity cost dari beban bunga utang ini sangat tinggi untuk kita. Maka perlu pertimbangan pemerintah ketika menarik utang, mempertimbangkan lagi biaya yang kita tanggung.”
Di sisi lain, beban cicilan bunga juga meningkat imbas tingginya level suku bunga atau yield Surat Berharga Negara (SBN). Pada 2026 imbal hasil SBN tenor 10 tahun masih ditetapkan 6,9 persen. “Masih tertinggi di ASEAN, sehingga biaya berhutang kita tinggi,” ucap Riza.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto mengatakan seharusnya pemerintah bisa mendorong penurunan yield SBN. Karena berdasarkan data Trading Economics yield SBN tenor 10 tahun pada Agustus 2025 berada di level 6,39 persen dari target pemerintah tahun ini yang sebesar 7 persen.
Eko menilai pemerintah kurang optimistis, karena yield SBN masih tinggi dan di satu sisi mengejar target memperkecil defisit pada 2026. Menurut dia pemerintah semestinya menurunkan yield. “Supaya terlihat bedanya dengan APBN 2025 tahun lalu di 7 persen. Kita perlu mendorong respons pasar yang positif bahwa kalau memang ekonomi kita bisa lebih baik tahun depan, berarti kita punya bargaining position untuk menurunkan SBN kita di level yang lebih rendah,” ucapnya.