Free Gift

4 Langkah Berani Meloloskan Diri Dari Jerat Utang Kemitraan Pertanian

Di daerah-daerah sentra pertanian di Jawa, kemitraan dengan perusahaan offtaker atau penjamin pembelian seringkali disambut dengan harapan besar. Contohnya saja kemitraan agribisnis pada padi, jagung, palawija atau perkebunan rakyat. Petani, yang selama ini kesulitan modal untuk membeli benih unggul dan pupuk berkualitas, melihat kemitraan ini sebagai jembatan menuju kesejahteraan. Perusahaan menjanjikan input pertanian secara kredit, pendampingan teknis, dan yang terpenting jaminan harga beli di saat panen.

“Adanya kemitraan, kita nggak perlu bingung nyari pasar menjelang panen tiba, harganya juga sudah sesuai kesepakatan, berkeadilan”, testimoni dari Pak Sakum tentang kemitraan padi yang dia ikuti di Indramayu.

Namun, bagi banyak petani, mimpi ini perlahan berubah menjadi ilusi. Setelah panen tiba, bukannya menerima untung bersih, mereka justru dikejutkan dengan sisa tagihan utang yang harus dibawa ke musim tanam berikutnya. Inilah yang disebut jerat utang kemitraan pertanian.

Pokok Masalah: Kontrak yang Multitafsir

Kemitraan yang seharusnya bersifat mutualistik atau saling menguntungkan, justru pincang karena adanya ketidakseimbangan kuasa. Perusahaan memiliki modal, pasar, dan melek hukum, sementara petani hanya memiliki lahan dan tenaga.

Masalah utama ada pada kontrak. Kontrak mengharuskan petani membeli input dari perusahaan dengan harga sepihak dan menjual seluruh hasilnya hanya kepada perusahaan tersebut. Petani yang terikat utang pada perusahaan, menyerahkan hasil panennya sesuai dengan harga yang telah ditentukan di awal kontrak.

Kegagalan panen akibat cuaca atau hama adalah risiko yang wajar, namun dalam skema ini, risiko produksi hampir seluruhnya ditanggung petani, memperparah lilitan utang. Perusahaan hanya melihat bagaimana modal yang diinvestasikannya kembali sesuai return yang telah dihitung.

Memutus Rantai Belenggu: 4 Langkah Strategis yang Harus Diambil

Jerat utang tidak bisa diputus hanya dengan kerja keras di sawah, melainkan memerlukan strategi cerdas, kolektif, dan dukungan data.

1. Membangun Kekuatan Kolektif dan Menuntut Keseimbangan Kontrak

Petani yang berdiri sendiri sangat rentan. Solusi untuk memutus ketidakberdayaan ini adalah bersatu dalam korporasi petani bisa melalui kelompok tania tau koperasi. Kekuatan kolektif memungkinkan petani untuk berdiri sejajar dengan perusahaan besar.

Kelompok ini harus berani melakukan audit kontrak bersama dan mengkaji ulang setiap klausul, terutama yang berkaitan dengan pembagian risiko. Kemitraan yang sehat sejatinya harus diatur dalam model mutualism partnership (kemitraan mutualistik), di mana kedua pihak harus saling memberikan manfaat lebih, bukan menindas dan membebankan semua kerugian pada salah satu pihak seperti prinsip kemitraan yang dijelaskan oleh Saptana, Sunarsih, & Indraningsih, 2006. Jika kontrak tidak mencerminkan prinsip ini, kelompok petani harus berani menuntut negosiasi ulang.

2. Meningkatkan Literasi Finansial dan Mengelola Risiko Usahatani

Petani seringkali dikalahkan bukan di sawah, tetapi di meja perhitungan. Menguasai data keuangan sendiri adalah benteng pertahanan terkuat. Petani perlu menguasai pembukuan mandiri dan mulai memahami risiko utang.

Mengembangkan literasi keuangan secara kelompok sangat penting, karena ini mempengaruhi keputusan pengambilan kredit petani .

“Petani secara individu atau kelembagaan harus terbiasa dengan catatan keuangan, mencatat setiap pengeluaran dan pemasukan yang diterimanya, melalui catatan arus khas. Ilmu titen boleh, tapi ya harus tetap dicatat di kertas” itu yang saya sampaikan saat berkunjung ke kelompok tani.

3. Diversifikasi Sumber Permodalan dan Pasar Jual

Ketergantungan total pada offtaker untuk modal dan pasar adalah kelemahan fatal, membuat petani terikat seumur hidup. Petani harus mencari jalan untuk memecah keterikatan ini. Artinya, harus mencari pinjaman modal yang tidak mengikat pada kewajiban membeli input dari pihak tertentu, misalnya melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau BUMDes.

Cara ini dapat menjadi alternatif yang memutus rantai ketergantungan dan mengurangi risiko utang.

4. Mediasi dan Advokasi Pihak Eksternal untuk Restrukturisasi Utang

Ketika utang sudah menumpuk dan negosiasi internal buntu, petani perlu melibatkan pihak ketiga yang netral dan berotoritas. Petani harus berani melaporkan praktik kontrak yang merugikan kepada Dinas Pertanian atau Dinas Koperasi dan UKM setempat.

Pemerintah atau lembaga advokasi harus membantu petani dalam restrukturisasi utang yang adil, memastikan sisa utang yang digulirkan tidak mencekik petani, karena hubungan petani-mitra yang sudah terjalin lama sulit diintervensi tanpa adanya pihak luar.

Petani bukanlah objek eksploitasi, melainkan mitra setara. Kunci untuk keluar dari belenggu jerat utang kemitraan ini adalah persatuan dan pengetahuan. Dengan menguasai kontrak, data, dan pasar, petani dapat mengubah benih menjadi untung, bukan lagi belenggu utang.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar