Free Gift

5 Pola Pikir yang Bisa Merusak Kesehatan Mental Menurut Psikolog, Apa Saja?

SaboSebuah unggahan di media sosial ramai dibicarakan karena menyebut ada sejumlah pola pikir atau sifat yang bisa merusak kesehatan mental.

Dalam unggahan pada Minggu (17/8/2025) itu, akun @psi*********nesia_ menuliskan lima hal yang disebut sebagai psikologi penghancur mental.

“5 psikologi penghancur mental: self criticism, emotional suppression, toxic productivity, overthinking yang kronis, dan ketergantungan validasi,” tulis akun tersebut pada Kamis (14/8/2025).

Mental yang sehat tentu menjadi kunci penting dalam menghadapi tantangan hidup. Dengan mental yang sehat, seseorang dapat lebih fokus dan produktif.

Namun, benarkah kelima sifat atau pola pikir tersebut memang dapat merusak kondisi mental seseorang?

5 sifat yang harus dihindari untuk dapatkan mental sehat

Psikolog dari Unika Soegijapranata Semarang, Christine Wibowo membenarkan kelima sifat atau pola pikir yang dapat memengaruhi mental seseorang.

“Benar, self criticism, emotional suppression, toxic productivity, overthinking yang kronis, dan ketergantungan validasi, semua itu tidak sehat,” kata Christin ketika dihubungi Sabo, Rabu (20/8/2025).

Berikut 5 sifat atau pola pikir yang berpotensi merusak mental. 

1. Kritik terhadap diri sendiri

Kritik terhadap diri sendiri atau self criticism adalah kecenderungan seseorang untuk menilai, mengkritik, atau menyalahkan dirinya sendiri

Christin menyebut kritik atau mengevaluasi terhadap diri sendiri merupakan hal yang baik untuk dilakukan, asalkan tidak terlalu keras.

“Mengevaluasi diri sendiri itu oke, tetapi kalau terlalu keras mengkritik serta standar yang diberikan tidak rasional, maka akan berdampak buruk bagi kesehatan,” ungkap Christin. 

Christin menyebut contoh standar yang tidak rasional adalah membandingkan kemampuan diri sendiri dengan kemampuan orang yang sudah berpengalaman.

Kritik yang terlalu keras dapat menurunkan harga dan kepercayaan diri, serta menghambat diri untuk berkembang.

Kritik yang terlalu keras juga menimbulkan sifat prokrastinasi atau menunda pekerjaan.

Hal itu disebabkan seseorang hanya berfokus pada hasil akhir sehingga menyebabkan dirinya perfeksionis.

“Jika terus berlanjut bisa terkena Obsessive-Compulsive Disorder (OCD),” jelas Christin. 

2. Menekan emosi

Sebagai manusia dengan mental yang sehat, seseorang harus bisa mengendalikan emosi. 

Namun, Christin menegaskan bahwa mengendalikan emosi bukan dengan menahan atau menekan emosi. 

Contoh dari emosi yang ditekan adalah seseorang yang menghindari keributan dan amarah dengan memilih untuk diam saja. Emosi yang ditahan tersebut suatu saat akan keluar atau ‘meledak’. 

“Karena suatu hari ini akan meledak. Dan jika tidak kuat menahannya, suatu saat akan keluar potensi-potensi gangguan yang dia miliki, contohnya depresi,” ungkap Christin. 

Lawan dari emosi pasif adalah emosi agresif, yakni emosi yang ‘meledak’. Sama halnya dengan emosi pasif, keduanya juga tidak baik bagi mental. 

Christin mengungkapkan cara yang tepat adalah dengan mengambil jalan tengah di antara kedua emosi tersebut, yakni dengan bersikap asertif.

Asertif adalah menyampaikan perasaan diri sendiri dan solusinya kepada orang lain, tetapi tidak dengan cara yang menyinggung atau tidak nyaman.

3. Produktivitas yang tidak sehat

Christin menjelaskan bahwa sifat produktif merupakan hal yang positif untuk diterapkan. Hal itu menandakan seseorang menghargai waktu yang ia punya.

Namun, yang menjadikan produktif tersebut tidak sehat apabila dilakukan dengan alasan bukan untuk menunjang prestasi dan kesejahteraan, melainkan untuk menutupi luka.

“Misalkan seseorang bertengkar atau patah hati lalu ia menyibukkan diri dengan pekerjaan. Hal itu tidak masalah dilakukan, asal jangan sampai kehidupannya tidak seimbang,” ungkap Christin. 

Kehidupan tidak seimbang yang dimaksud adalah seseorang yang terus menyibukkan diri hingga lupa akan kesejahteraan diri. Ia tidak lagi melakukan hobi yang disenangi, dan lupa akan kesehatan tubuh.

Solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah seseorang harus bisa membagi waktu untuk dirinya pribadi dan untuk bekerja.

“Selain itu, bagi anak muda, tingkatkan kualitas daripada kuantitas. Percuma berjam-jam di depan komputer namun tak menghasilkan apa-apa,” ungkap Christin. 

Lebih lanjut, apabila produktif yang tidak sehat terus dilanjutkan, seseorang bisa berpotensi terkena depresi.

“Jika toxic productivity terus dilakukan, seseorang bisa mudah terkena depresi, phobia terhadap kebahagiaan, atau perasaan berdosa atau bersalah apabila merasakan kebahagiaan,” ungkap Christin. 

4. Berpikir berlebihan

Christin menegaskan bahwa segala hal yang berlebihan pastilah tidak baik, termasuk berpikir berlebihan atau overthinking.

“Overthinking dapat memicu stres berlebihan,” jelas Christin. 

cara mengatasinya menurut Christin adalah dengan banyak membaca buku dan mengikuti seminar tentang cara mengatasi permasalahan.

Hal itu dilakukan agar setiap ada permasalahan, seseorang tahu bagaimana cara mengatasinya. 

“Selain itu, jangan menebak-nebak atau membuat skenario sendiri,” ungkap Christin.

Christin menyarankan untuk kembali pada komunikasi asertif, yakni mengungkapkan perasaan atau pikiran dengan cara yang baik untuk menghindari asumsi. 

5. Menggantungkan validasi dari orang lain

Christin mengungkapkan orang yang menggantungkan validasi dari orang lain akan cenderung merasa hampa apabila tidak mendapatkannya. 

“Apabila sifat tersebut terus berlanjut, bisa menjadi Narcissistic Personality Disorder (NPD), atau bisa juga Borderline Personality Disorder (BPD),” jelas Christin. 

Christin menjelaskan bahwa kepribadian BPD atau kepribadian ambang sangat membutuhkan validasi dari orang lain hingga rela mengorbankan dirinya sendiri.

“Atau bisa juga seperti duck syndrome. Seseorang dari luar terlihat tenang namun di dalamnya sibuk berjuang supaya diterima oleh orang-orang,” jelas Christin.

Christin mengatakan berusaha untuk disukai oleh orang lain adalah hal yang wajar, asal tidak berlebihan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Cara mengatasinya adalah dengan self compassion atau self love, yakni mengasihi diri sendiri.

Want a free donation?

Click Here