WAHANA Lingkungan Hidup atau Walhi kembali menyorot penyusunan yang tidak memperhatikan prinsip partisipasi bermakna untuk Nationally Determined Contribution atau NDC yang kedua, yang pada hari ini, Kamis 23 Oktober 2025, menjalani konsultasi publik. Draf NDC terbaru lagi-lagi dinilai tak melibatkan semua unsur masyarakat secara menyeluruh.
Bahkan dokumen baru dibuka dan disosialisasikan ke publik secara terbatas per hari ini atau kurang dari satu bulan saja dari pembukaan COP 30 Konferensi Perubahan Iklim PBB. “Tidak akan ada perencanaan aksi iklim yang adil tanpa keterbukaan informasi dan partisipasi penuh rakyat,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring, melalui keterangan tertulis pada hari ini.
Selain itu, kata dia, secara substansi, draf NDC ke-2 Indonesia ini tidak mencerminkan tuntutan keadilan iklim dan terdapat kontradiksi target penurunan emisi dengan langkah yang direncanakan. Pendekatan teknokratis dan ambisi pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dengan strategi menggenjot investasi dan konsumsi akan menjauhkan Indonesia dari komitmen iklimnya.
“Target iklim dalam Second NDC ini masih semu dan kita masih dihadapkan pada kenyataan emisi skala besar akan terus dihasilkan dari kebijakan serta program nasional yang bertumpu pada model ekonomi pertumbuhan yang ekstraktif,” kata Boy.
Secara keseluruhan, Boy menyatakan, ada tujuh catatan kritis Walhi atas subtansi NDC yang terbaru tersebut. Berikut rinciannya,
1. Masih bertumpu pada energi fosil
Hal ini ditunjukkan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025-2034 yang menargetkan tambahan 16,6 GW berbasis fosil di mana 10,3 GW diantaranya berasal dari pembangkit listrik berbasis gas. Menurut dia, ketergantungan pada gas berisiko menambah emisi dan beban fiskal negara, sementara roadmap penutupan PLTU tua belum tersedia. Bahkan, kata dia, beberapa PLTU tetap dipertahankan dengan rencana bauran sumber energi dari biomassa.
“Penurunan bertahap PLTU batu bara (coal phase-down) mulai 2030, bukan penghapusan bertahap PLTU batu bara (coal phase-out) jelas bukan solusi strategis untuk mendorong penurunan emisi secara maksimal dalam konteks kebijakan transisi energi berkeadilan,” kata Boy.
Selain itu, NDC ke-2 Indonesia masih memuat substitusi energi sebagai model transisi energi, seperti bioenergi, hidrogen hijau, geotermal. Banyak fakta di lapangan bahwa model transisi energi seperti ini justru mendorong perluasan kebun kayu energi, perampasan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, deforestasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. “Di Merauke, contohnya, pemerintah menargetkan membuka satu juta hektare hutan untuk membangun kebun tebu demi mengejar target bauran 10% etanol sebagai bahan bakar kendaraan.”
2. Tambang nikel masih mungkin meluas
NDC yang kedua ini juga memuat target percepatan elektrifikasi transportasi dengan target 2 juta kendaraan listrik roda empat dan 13 juta roda dua pada 2030. Target ini, menurut Walhi, tentunya akan mempercepat eksploitasi dan memperluas ekspansi izin tambang nikel di wilayah Sulawesi, Maluku, Raja Ampat, dan pulau-pulau kecil lainnya. “Termasuk mendorong laju deforestasi semakin kencang,” kata Boy.
Walhi mencatat, pada 2022, luas konsesi tambang nikel mencapai satu juta hektare, dengan 765 ribu hektare berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan. “Selain itu, target ini juga akan semakin membuat Indonesia bergantung pada pembangkit listrik fosil seperti PLTU batu bara, sebab hampir sebagian besar smelter nikel memakai PLTU batu bara sebagai sumber listrik mereka.”
3. Ancaman deforestasi dari target-target swasembada
Target swasembada pangan dan energi yang menjadi prioritas rezim Presiden Prabowo tentunya akan memperbesar deforestasi. Menurut Walhi, program 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi adalah salah satu bentuk kontradiksi antara kebijakan nasional dan komitmen iklim yang tertuang dalam NDC ke-2.
“Jika seluas 4,5 juta hektare hutan alam dibuka akan melepaskan sebesar 2,59 miliar ton emisi karbon, maka dapat diakumulasi berapa besaran emisi yang akan dilepaskan dari 20 juta hektare hutan yang akan dibuka,” kata Boy.
4. Pendekatan adaptasi berbasis komunitas diragukan
Pendekatan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas sebagaimana yang disebutkan dalam dokumen NDC ke-2 tidak tercermin dalam apa yang dikerjakan pemerintah satu tahun ini. Walhi mengkhawatirkan pendekatan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas ini hanya sekadar komitmen di atas kertas. Menurut Boy, cerminan kekhawatiran ini dapat dilihat dari angka rekognisi pengakuan dan pelindungan hak masyarakat adat dan lokal atas wilayah kelolanya. Dalam catatan WALHI, hingga Agustus 2025, seluas 848.274 hektare wilayah kelola rakyat masih belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) resmi dari pemerintah.
Rinciannya, 55.527 menunggu jadwal verifikasi teknis (vertek), masuk pada seleksi administrasi, telah melakukan vertek dan menunggu terbitnya SK. Sedangkan lainya masuk pada tahap konsolidasi data, penyiapan berkas dan ada yang sudah diajukan dan belum diajukan karena alasan administratif atau politis mencapai 792.747 hektare. “Untuk memastikan pendekatan ini tidak sekedar komitmen semu, WALHI menantang Kementerian Kehutanan untuk terlebih dahulu menyelesaikan proses rekognisi dan legalitas wilayah kelola rakyat ini sebelum COP-30 berlangsung,” kata dia.
Terkait komitmen pelindungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,Walhi memandang pemerintah dalam menunjukkan komitmen iklimnya harus melakukan koreksi menyeluruh terhadap 248 izin pertambangan yang beroperasi di 43 pulau kecil di Indonesia. “Kegagalan untuk mengoreksi kebijakan perizinan ini akan membuat target pemulihan mangrove seluas 2 juta hektare pada 2030 rentan untuk gagal.”
5. Pendanaan iklim yang terpusat
Boy menyebutkan dalam dokumen NDC yang terbaru ini tidak ada langkah progresif pemerintah untuk membangun model pendanaan iklim yang adil dan dapat diakses langsung oleh rakyat, baik untuk aksi adaptasi dan mitigasi, maupun sebagai biaya reparasi. Mekanisme pendanaan iklim dalam NDC ke-2 yang masih dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, masih sangat terpusat dan birokratis, sehingga sering gagal menjawab kebutuhan rakyat.
Bahkan parahnya, kata dia, BPDLH pernah memberikan dana iklim kepada Medco Group yang membangun kebun energi untuk mendukung peningkatan energi baru dan terbarukan (EBT). “Padahal kebun energi tersebut dibangun di atas perampasan wilayah adat suku Marind sekaligus merusak hutan adat mereka.”
6. Akselerasi green washing
Pemerintah Indonesia dalam dokumen NDC kedua masih mengandalkan Carbon Offset Mechanism untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan, juga Emissions Trading System (ETS) untuk sektor energi dan industri besar. “Alih-alih mengurangi emisi, justru mekanisme bisnis iklim ini justru tidak lebih dari pemberian izin yang akan mengakselerasi skema-skema green washing dan land banking,” kata Boy.
7. Bisnis logging dan ilusi karbon netral
Indonesia mulai memasukkan Harvested Wood Products (HWP) sebagai bagian dari penghitungan serapan karbon, sesuai dengan panduan Modalities, Procedures, and Guidelines (MPGs) dalam pelaporan transparansi UNFCCC. Walhi menilai HWP hanya akan menjadi alat untuk terus mendorong bisnis logging atas nama mitigasi iklim, yang pada akhirnya akan terus mengabaikan dimensi sosial dan ekologis. HWP dianggap hanya melihat kayu sebagai “penyimpan karbon”, mengabaikan fungsi sosial-ekologis hutan sebagai tempat hidup masyarakat adat, keanekaragaman hayati, dan sistem air dan pangan.
Hal berbahaya lainnya adalah ilusi bahwa penebangan pohon bisa “netral karbon”, padahal kenyataannya sebagian besar karbon cepat dilepaskan kembali. Banyak produk kayu (terutama kertas, karton, dan bahan kemasan) berumur sangat pendek, hanya beberapa bulan hingga tahun. “Setelah itu, produk dibakar atau membusuk di TPA, melepaskan karbon ke atmosfer,” ucap Boy.






