Sabo – Psikologi menjelaskan bahwa kelelahan sering muncul akibat kurang tidur yang berlangsung terus-menerus setiap malam.
Kurang tidur di bawah delapan jam dapat memengaruhi kondisi fisik dan mental sehingga kelelahan menjadi tak terhindarkan.
Kelelahan akibat kurang tidur malam menurut psikologi bisa terlihat dari perubahan perilaku, emosi, hingga konsentrasi.
Psikologi menekankan bahwa kurang tidur malam bukan hanya soal rasa mengantuk, tetapi juga dampak serius pada kelelahan tubuh.
Ketika kurang tidur terjadi terus-menerus, psikologi mengaitkannya dengan tanda-tanda kelelahan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Dilansir dari geediting.com pada Jumat (24/10), bahwa ada tujuh ciri orang yang kelelahan karena kurang tidur malam di bawah delapan jam menurut psikologi.
- Memiliki kepekaan tinggi terhadap ritme alami tubuh
Orang-orang yang membutuhkan tidur delapan jam penuh memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap ritme sirkadian mereka.
Ritme sirkadian merupakan jam biologis internal yang mengatur berbagai proses fisiologis, termasuk siklus tidur dan bangun.
Ketika mereka tidak mendapatkan durasi istirahat yang cukup, tubuh mereka akan merasakan ketidakseimbangan yang signifikan.
Kondisi ini mirip seperti orkestra yang kehilangan harmoninya ketika salah satu instrumen tidak dimainkan dengan tepat.
Gangguan pada pola tidur alami akan membuat mereka merasakan efek serupa dengan jet lag meskipun tidak bepergian.
Tubuh mereka secara konsisten memberikan sinyal bahwa diperlukan waktu istirahat yang optimal untuk dapat berfungsi dengan baik.
- Mengalami dampak serius dari minimnya waktu istirahat
Individu yang terbiasa tidur delapan jam tidak hanya merasakan kantuk ringan ketika jam istirahatnya berkurang.
Mereka mengalami gejala-gejala yang lebih mendalam yang mempengaruhi suasana hati, tingkat energi, dan fungsi kognitif secara keseluruhan.
Konsentrasi mereka akan menurun drastis, kesabaran menjadi lebih terbatas, dan tugas-tugas sederhana terasa membutuhkan usaha yang luar biasa besar.
Efek kumulatif dari minimnya waktu istirahat akan semakin terasa seiring berjalannya hari.
Produktivitas kerja dan kemampuan mengambil keputusan juga ikut terganggu secara signifikan.
Kondisi ini menunjukkan betapa vitalnya peran tidur yang cukup bagi kelompok orang ini untuk mempertahankan performa optimal mereka.
- Rentan mengalami gangguan susah tidur
Terdapat ironi yang menyedihkan pada mereka yang membutuhkan waktu istirahat delapan jam namun justru mengalami insomnia.
Meskipun tubuh mereka sangat lelah, pikiran mereka sering kali menjadi aktif berlebihan ketika kepala sudah menyentuh bantal.
Kecemasan tentang tidak bisa tertidur justru menciptakan siklus yang memperburuk kondisi sulit tidur.
Jam-jam berlalu dengan mata terbuka menatap langit-langit, membuat mereka bangun dalam kondisi yang lebih lelah daripada sebelum tidur.
Gangguan ini bahkan bisa menjadi faktor penyebab mengapa mereka merasa sangat lelah ketika tidak mendapatkan durasi istirahat yang diinginkan.
Perjuangan melawan insomnia menjadi tantangan tambahan yang harus dihadapi oleh kelompok ini setiap malam.
- Memiliki tingkat stres yang lebih tinggi
Hubungan antara stres dan tidur menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus bagi mereka yang membutuhkan delapan jam istirahat.
Stres dapat mempersulit proses tertidur, sementara minimnya waktu tidur akan meningkatkan produksi kortisol, hormon stres dalam tubuh.
Peningkatan kadar kortisol tidak hanya mempengaruhi perasaan stres, tetapi juga dapat memicu berbagai masalah kesehatan seperti kenaikan berat badan dan tekanan darah tinggi.
Pada hari-hari ketika jam tidur berkurang, segala sesuatu akan terasa lebih menantang dan memberatkan.
Kemacetan lalu lintas, beban pekerjaan, bahkan masalah kecil sekalipun akan terasa seperti gunung yang harus didaki.
Memperhatikan pola tidur dengan serius dapat menjadi salah satu cara paling efektif untuk menurunkan tingkat stres yang melonjak tinggi.
- Menunjukkan tingkat empati yang lebih besar
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang memerlukan tidur delapan jam sering memiliki kapasitas empati yang lebih tinggi dibandingkan yang lain.
Ketika tubuh mendapatkan istirahat yang cukup, kemampuan untuk memahami dan merasakan emosi orang lain menjadi lebih optimal.
Sebaliknya, minimnya waktu tidur dapat menghambat kemampuan berempati, seperti mencoba mengisi gelas orang lain ketika gelas sendiri masih kosong.
Empati yang tinggi ini bisa menjadi berkah sekaligus tantangan, karena memungkinkan koneksi yang lebih dalam dengan orang lain namun juga bisa menyebabkan kelelahan emosional.
Kepekaan terhadap emosi di sekitar mereka sering kali menjadi indikator bahwa seseorang termasuk dalam kelompok yang membutuhkan tidur delapan jam.
Kemampuan empati yang meningkat ini menjadi salah satu keunggulan yang dimiliki oleh mereka yang memprioritaskan waktu istirahat yang cukup.
- Menjadi pendengar yang luar biasa baik
Kemampuan mendengarkan dengan baik memerlukan fokus, kesabaran, dan empati – semua sifat yang lebih mudah dimiliki ketika seseorang beristirahat dengan cukup.
Ketika tubuh kelelahan, akan lebih sulit untuk memberikan perhatian penuh kepada orang lain, sering kali terjadi kehilangan fokus atau mudah teralihkan.
Namun dalam kondisi yang segar setelah tidur yang cukup, mereka dapat hadir sepenuhnya dan memberikan perhatian yang tulus kepada lawan bicara.
Di dunia yang serba cepat dimana setiap orang terburu-buru untuk berbicara dan lambat untuk mendengarkan, kemampuan mendengarkan menjadi hadiah yang berharga.
Orang yang membutuhkan delapan jam tidur sering kali menjadi tempat curhat yang ideal bagi teman-teman atau keluarga yang membutuhkan telinga yang mau mendengar.
Kemampuan mendengarkan yang excellent ini sebenarnya terkait erat dengan kebutuhan tidur yang harus dipenuhi untuk dapat berfungsi optimal.
- Menjadikan kesejahteraan diri sebagai prioritas utama
Pada intinya, orang yang memerlukan tidur delapan jam memahami betul nilai dari kesejahteraan diri mereka sendiri.
Mereka menyadari bahwa tidur bukanlah kemewahan belaka, melainkan kebutuhan dasar manusia yang setara dengan makanan dan air.
Pengalaman merasakan dampak buruk dari minimnya waktu istirahat membuat mereka tidak mau mengorbankan kesehatan demi hal lain.
Mereka secara aktif membuat tidur sebagai prioritas, mengembangkan rutinitas dan kebiasaan yang memastikan mendapatkan istirahat yang dibutuhkan.
Sikap ini bukanlah bentuk kemalasan atau kemanjaan, melainkan tindakan merawat diri sendiri dengan mengakui bahwa untuk berfungsi optimal diperlukan kondisi tubuh yang segar.
Pemahaman ini menunjukkan tingkat kesadaran diri dan penghargaan terhadap diri sendiri yang tinggi, karena mereka tahu bahwa tidak mungkin memberikan yang terbaik kepada orang lain jika kondisi diri sendiri tidak prima.
***






