jogja.Sabo, YOGYAKARTA – Ratusan warga, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyuarakan tuntutan perbaikan fundamental dalam sistem kepemiluan nasional.
Seruan yang dirangkum dalam “7 Suara Perubahan” ini disampaikan dalam Dialog Publik “Suara Warga: Menata Ulang Regulasi Pemilu yang Demokratis dan Inklusif” yang digagas oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) dan jejaring masyarakat sipil DIY.
Usulan tersebut merespons rencana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Inti dari putusan tersebut adalah memisahkan pelaksanaan pemilu nasional (pilpres, DPR, dan DPD) dan pemilu lokal (pilkada) mulai 2029.
Penetapan ini mengubah desain penyelenggaraan pemilu di Indonesia dengan tujuan memberikan waktu dan kesempatan yang lebih fokus serta lancar dalam pelaksanaan setiap jenis pemilu.
Manajer Program Yayasan LKiS Tri Noviana mengatakan putusan MK itu adalah momentum emas untuk menata ulang demokrasi. Namun, kalangan aktivis menegaskan bahwa proses legislasi tidak boleh dilakukan secara tertutup.
“Kami mendorong agar revisi dilakukan secara terbuka dan partisipatif karena UU ini akan menentukan arah demokrasi dan pembangunan bangsa,” kata Novi dalam keterangannya yang diterima JPNN.
Pada forum tersebut, jaringan masyarakat sipil Jogja memaparkan tujuh isu utama yang harus menjadi fokus revisi UU Pemilu. Isu-isu ini disusun berdasarkan kajian mendalam pascapemilu 2024:
- Pendidikan Politik dan Demokrasi: Pendidikan politik harus dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya menjelang masa pemilu.
- Partisipasi Bermakna: Memastikan keterlibatan warga hadir di seluruh tahapan pemilu, bukan sekadar saat pemungutan suara.
- Inklusivitas dan Aksesibilitas: Prinsip inklusif harus menjadi prinsip utama penyelenggaraan untuk menjamin hak kelompok rentan dan disabilitas.
- Data Pemilih dan Perlindungan Data Pribadi: Mendesak adanya transparansi data pemilih dan penguatan sistem perlindungan data sesuai UU PDP.
- Kampanye dan Dana Kampanye: Penguatan regulasi untuk melawan politik uang, ujaran kebencian, serta mendorong kampanye yang ramah lingkungan.
- Pemantauan dan Pengawasan Publik: Memberikan jaminan perlindungan hukum bagi pemantau independen dan pelapor pelanggaran pemilu.
- Penguatan Kelembagaan: Memperkuat peran dan kewenangan Bawaslu sebagai lembaga keadilan elektoral yang putusannya final dan mengikat.
Dialog Publik “Suara Warga: Menata Ulang Regulasi Pemilu yang Demokratis dan Inklusif” yang digagas oleh Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) dan jejaring masyarakat sipil DIY. Foto: Dokumen LKiS
Hakim MK Arsul Sani mengapresiasi forum tersebut sebagai bentuk meaningful public participation yang sejalan dengan semangat konstitusi.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya pembaruan UU Partai Politik sejalan dengan revisi UU Pemilu untuk menciptakan kaderisasi yang sehat.
“Urusan pemilu adalah isu yang paling sering diuji di MK. Itu artinya rakyat memberi perhatian besar pada kualitas demokrasi Indonesia. Maka, penting bagi semua pihak untuk menata ulang regulasi agar lebih adil dan proporsional,” ujar Arsul.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengatakan mereka akan terbuka terhadap masukan publik.
Ia memastikan banyak isu yang diangkat warga, seperti penguatan kelembagaan dan perbaikan pendidikan politik, relevan dengan agenda pembahasan revisi yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026.
“Banyak isu yang diangkat warga hari ini relevan dengan agenda pembahasan kami, seperti penguatan kelembagaan penyelenggara dan perbaikan sistem pendidikan politik,” kata Khozin.
Ketua KPU Mochamad Afifudin dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan KPU tengah mengkaji peningkatan tata kelola data pemilih dan transparansi kampanye digital, sementara Bawaslu siap berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk memastikan keadilan elektoral terwujud. (MAR3/JPNN)






