Sabo.CO.ID, JAKARTA — Di tengah gema gencatan senjata yang seharusnya membawa kedamaian, pasukan Israel justru kembali mencoreng harapan damai dengan aksi brutal.
Pada Jumat lalu, sembilan anggota keluarga Abu Shabaan tewas mengenaskan setelah tentara Zionis dengan sengaja menembaki bus yang membawa pengungsi di timur permukiman Zeitoun.
Ini merupakan distrik tertua dan terbesar di Kota Gaza, terletak di bagian tenggara kota. Sebelum mengalami kehancuran parah akibat operasi militer Israel yang berkepanjangan, Zeitoun dikenal sebagai permukiman yang ramai dengan pasar yang sibuk, kebun zaitun yang subur, dan komunitas yang erat.
Generasi keluarga Palestina telah tinggal di sana selama puluhan tahun, membangun kehidupan dan kenangan yang kini hancur lebur. Zeitoun juga memiliki nilai sejarah karena menjadi bagian dari Kota Tua Gaza, yang pernah menjadi pusat perdagangan penting di wilayah tersebut.
Para korban yang hanya ingin memeriksa kondisi rumah mereka ini menjadi bukti nyata bagaimana Israel terus menginjak-injak hak hidup warga sipil Palestina.
Keterangan militer Israel yang mengklaim tembakan dilakukan karena kendaraan “mendekati garis kuning” sama sekali tidak bisa diterima.
Bagaimana mungkin sebuah bus yang jelas-jelas membawa warga sipil dianggap sebagai ancaman?
Alih-alih menghormati gencatan senjata, Israel justru menggunakan “garis kuning” sebagai pembenaran untuk terus melanjutkan pembantaian terhadap rakyat tak bersenjata.
Istilah “garis kuning” dalam perjanjian gencatan senjata baru-baru ini di Gaza merujuk pada batas wilayah di dalam Jalur Gaza tempat pasukan Israel diperintahkan untuk mundur. Perjanjian ini, yang ditengahi oleh AS dan disepakati pada Oktober 2025, bertujuan untuk menghentikan pertempuran dan memfasilitasi pembebasan sandera.
Setelah penarikan ke garis kuning, militer Israel masih menguasai sekitar 58% wilayah Jalur Gaza. Ini menunjukkan bahwa Israel masih mempertahankan kontrol signifikan atas sebagian besar wilayah Gaza, bahkan setelah gencatan senjata.
Penunjukan garis ini telah menyebabkan insiden yang berpotensi melanggar gencatan senjata.
Fakta bahwa ratusan ribu warga Palestina harus kembali ke utara Gaza dan menghadapi kehancuran total akibat perang dua tahun sudah merupakan penderitaan yang cukup berat.
Namun Israel malah menambah nestapa dengan terus melakukan kekerasan sistematis di tengaah upaya warga Gaza yang berjuang memulihkan sisa-sisa kehidupan mereka.
Insiden keji ini membuktikan bahwa rezim Zionis tidak pernah memiliki itikad baik untuk perdamaian, dan terus menggunakan setiap kesempatan untuk memperluas lingkaran penderitaan rakyat Palestina.
Israel kerap melanggar perjanjian gencatan senjata karena pertimbangan keamanannya yang sangat ketat. Bagi Israel, setiap pelanggaran batas wilayah atau gerakan mencurigakan—sekalipun dari warga sipil—dianggap sebagai ancaman yang harus diantisipasi secara preemtif.
Klaim “ancaman langsung” terhadap pasukannya acap kali menjadi justifikasi tembakan yang berujung pada korban jiwa, mencerminkan doktrin keamanan yang mengutamakan pencegahan maksimal meski dalam masa gencatan.
Faktor politik domestik juga turut memengaruhi konsistensi Israel dalam mematuhi gencatan senjata. Pemerintahan koalisi yang berkuasa kerap menghadapi tekanan dari faksi-faksi hardline yang menginginkan respons tegas terhadap setiap provokasi, sekecil apapun.
Dalam konteks ini, pelanggaran gencatan senjata bisa menjadi alat politik untuk menunjukkan ketegasan pemerintah di mata konstituennya, sekaligus menekan Hamas dan kelompok perlawanan lainnya tanpa mempertimbangkan konsekuensi humanitarian.
Di tingkat strategis, pelanggaran berulang ini juga mencerminkan ketidakseimbangan kekuatan yang dimanfaatkan Israel untuk mempertahankan status quo.
Dengan superioritas militer dan dukungan politik internasional yang nyaris tanpa syarat, Israel merasa memiliki impunitas untuk menerapkan interpretasinya sendiri terhadap kesepakatan gencatan senjata.
Pola ini memperlihatkan bagaimana gencatan senjata sering dijadikan alat untuk mengonsolidasikan kontrol kawasan daripada sebagai langkah menuju resolusi konflik yang berkelanjutan.
Dunia internasional harus beralih dari sekadar kecaman menjadi tindakan nyata yang memaksa Israel mematuhi hukum humaniter, dengan memberlakukan sanksi diplomatik dan ekonomi yang terukur serta embargo senjata yang menyeluruh, sambil secara proaktif mendukung mekanisme peradilan internasional untuk mengadili pelaku kejahatan perang dari segala pihak.
Langkah konkret ini perlu diiringi dengan pengawasan internasional independen di lapangan yang memiliki mandat untuk melaporkan pelanggaran secara real-time dan melindungi warga sipil, seraya mempercepat pengiriman bantuan kemanusiaan tanpa hambatan untuk memulihkan Gaza.
Pada akhirnya, tekanan berkelanjutan ini harus diarahkan untuk mendorong solusi politik dua negara yang adil dan berkelanjutan—satu-satunya jalan agar perdamaian sejati dapat menggantikan siklus kekerasan yang tak berujung di tanah Palestina.






