Sabo, Sikka – Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bersama Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Polhukam) membahas solusi penanganan tingginya jumlah pekerja migran nonprosedural asal NTT yang mencapai 93,9 persen dari total pengaduan tahun 2025.
Pembahasan berlangsung pada Rabu, 22 Oktober 2025 pukul 10.00 WITA di ruang rapat Ombudsman NTT di Kupang. Kegiatan itu dihadiri langsung oleh Deputi Bidang Koordinasi Hak Asasi Manusia Kemenko Polhukam RI, Dr. Ibnu Chuldun, Bc.I.P., S.H., M.Si., beserta jajaran.
Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, menjelaskan bahwa berdasarkan data Kemenko Polhukam tahun 2025, terdapat 295 pengaduan terkait Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari wilayah NTT. Dari jumlah tersebut, 277 orang atau 93,9 persen merupakan PMI nonprosedural, sedangkan 18 orang atau 6,1 persen berstatus prosedural.
“Jumlah PMI unprosedural di NTT jauh lebih banyak daripada PMI prosedur, hal mana menjadi persoalan yang harus bisa diselesaikan bersama,” kata Darius dalam keterangan tertulisnya kepada media, Kamis, 23 Oktober 2025.
Perlunya Koordinasi dan Regulasi Daerah
Darius menyebutkan, Deputi Bidang Koordinasi HAM menekankan pentingnya koordinasi lintas instansi dan pemerintah daerah untuk mengatasi persoalan tersebut. Beberapa langkah yang disarankan antara lain pembuatan regulasi daerah untuk melindungi PMI, peningkatan literasi masyarakat mengenai bahaya perdagangan orang (TPPO), serta penguatan kerja sama antarinstansi dalam perlindungan PMI.
Menurut Darius, persoalan pekerja migran bukan hanya menyangkut aspek ekonomi, tetapi juga hak asasi manusia. Karena itu, diperlukan jaminan pemenuhan hak buruh migran sejak tahap pra-penempatan.
“Pelindungan sebelum bekerja dimaksud adalah berupa pelindungan administratif kelengkapan dan keabsahan dokumen penempatan, penetapan kondisi dan syarat kerja,” ujarnya.
Optimalisasi Layanan Terpadu Satu Atap
Dalam kesempatan tersebut, Ombudsman NTT juga menyoroti perlunya optimalisasi Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. LTSA berfungsi mengintegrasikan seluruh layanan yang berkaitan dengan penempatan pekerja migran, termasuk imigrasi, kependudukan, kesehatan, dan ketenagakerjaan, dalam satu lokasi.
“Diharapkan agar LTSA saat ini berjalan maksimal untuk mengintegrasikan semua pelayanan dalam satu tempat termasuk imigrasi, Dukcapil, dan klinik kesehatan,” kata Darius.
LTSA, menurutnya, merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian dan kemudahan pelayanan bagi calon pekerja migran sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012.
Dorongan Penguatan Pelatihan Calon PMI
Selain itu, Ombudsman NTT mendorong agar Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) Luar Negeri di NTT untuk menyelenggarakan pelatihan calon pekerja migran.
“Ini penting guna memudahkan pengawasan selama pendidikan dan pelatihan berlangsung,” jelas Darius.
Ia menambahkan, NTT memiliki sejumlah BLK swasta yang siap menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi calon pekerja migran. Namun, lembaga-lembaga tersebut perlu terus dimonitor agar memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 8 Tahun 2017 tentang Standar Balai Latihan Kerja.
Melalui koordinasi dengan Kemenko Polhukam, Ombudsman berharap persoalan pekerja migran nonprosedural dapat ditangani lebih sistematis. Penguatan regulasi daerah, peningkatan literasi masyarakat, serta sinergi antarinstansi dianggap sebagai kunci perlindungan pekerja migran NTT di masa mendatang.***






