Free Gift

Abah Yusef Muldiyana: Rindu pada Tangis Penonton yang Jujur di Panggung Teater

AKSARA JABAR – Dalam dunia teater, tidak ada momen yang lebih berharga bagi seorang sutradara selain melihat penontonnya menangis dengan tulus atau tertawa lepas karena pertunjukan yang disajikan. Begitulah kerinduan yang diungkapkan oleh ‘Abah’ Yusef Muldiyana, sutradara legendaris Studiclub Teater Bandung (STB), ketika berbicara tentang esensi pengalaman emosional dalam teater melalui grup Whats App pada Minggu, 19 Oktober 2025.

“Saya rindu kala penonton menangis melihat pertunjukan saya,” ujar ‘Abah’ Yusef Muldiyana, sebuah kalimat sederhana yang menyimpan makna mendalam tentang hubungan spiritual antara panggung dan penontonnya. 

Menurut Abah Yusef Muldiyana , tidak semua lakon tragedi mampu membuat penonton menangis. Air mata penonton bukan sekadar hasil dari cerita sedih, melainkan buah dari kejujuran pementasan. “Ketika kita menonton dengan hati, tanpa atribut keprofesian, kita bisa berempati pada kalimat-kalimat aktor yang sedang memprovokasi perasaan kita,” tuturnya.

– Menjadi Tubuh Organik dengan Tubuh-Tubuh Parsial dalam Konteks Teater

– Latihan Tubuh dan Sunyi di Ngaos Art Tasikmalaya: Mengendalikan Ego Aktor

Dalam pandangan Abah, aktor adalah provokator bagi penonton. Naskah memprovokasi sutradara untuk menciptakan konsep, sutradara memprovokasi aktor untuk menjiwai peran, dan akhirnya, aktor memprovokasi penonton untuk memilih sikap emosional terhadap lakon yang disajikan. Inilah lingkaran energi dalam teater—rantai kejujuran yang menembus jarak antara panggung dan kursi penonton.

Mengapa Penonton Bisa Menangis?

Abah Yusef menyebut delapan elemen yang dapat membuat penonton menangis dengan tulus, di antaranya:

  • Cerita yang menyentuh hati
  • Akting yang meyakinkan
  • Dialog yang puitis
  • Situasi tragis
  • Karakter kuat
  • Musik yang menggugah
  • Realisme kehidupan
  • Tema yang relevan dan universal

Namun, ia menegaskan, semua itu tidak mudah. “Semuanya tergantung pada kegigihan, ketulusan, dan kebersamaan dalam proses panjang penciptaan teater,” katanya.

Sebaliknya, tertawa dalam teater juga bukan hal sepele. Ia menyinggung pengalamannya menonton karya Teater Payung Hitam garapan Rachman Sabur, “Para Penjudi,” di mana tawa penonton begitu keras hingga menggema di dinding gedung. Menariknya, pertunjukan itu tanpa musik—suara tawa penonton justru menjadi musiknya sendiri.

AA1OWjsW

Antara Tangis, Tawa, dan Kejujuran

Abah Yusef juga mengenang masa mudanya ketika menangis menonton “Antigone” versi STB. Saat itu, ia masih pelajar SMA dan menonton sebagai penonton murni—tanpa teori, tanpa analisis, hanya dengan hati. Dari situlah ia belajar bahwa penonton sejati adalah mereka yang berani jujur pada perasaannya.

Sebagai aktor, ia bahkan menguji anak-anaknya lewat dongeng sebelum tidur: apakah mereka menangis atau tertawa mendengar ceritanya. “Penonton bagi saya adalah anak yang sedang diberi dongeng sebelum tidur,” ujarnya.

Di akhir refleksinya, Abah Yusef menyinggung pengalaman lucu sekaligus menyakitkan: ketika seseorang berkata, “Melihat poster pertunjukan Kang Yusef saja sudah ingin tertawa.” Ia tersenyum, tapi di dalam hati menangisantara penghinaan dan pujian yang tipis batasnya.

Dengan segala pengalaman dan kejujurannya, Abah Yusef Muldiyana menutup dengan sederhana:

“Saya belum tahu apakah Nabi pernah menonton teater. Tapi banyak kisah Nabi yang dijadikan tema teater. Yu ah, ngopi heula!”***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar