Laporan Reporter Sabo, Ray Rebon
Sabo, KUPANG – Suasana di depan Pengadilan Negeri Kupang Kelas IA memanas pada Selasa 21 Oktober 2025, ketika massa dari Aliansi Saksi Minor menggelar aksi demonstrasi menuntut hukuman maksimal bagi eks Kapolres Ngada, Fajar Lukman, terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Puluhan massa dari berbagai elemen mulai dari organisasi mahasiswa, LSM, dan OKP berkumpul membawa spanduk dan poster bernada protes keras.
Tulisan seperti “Hukum Maksimal Eks Kapolres Ngada”, “Aparat Penegak Hukum Bukan Boneka”, dan “Anak Adalah Korban, Bukan Pelaku” menghiasi di depan gedung pengadilan.
Mereka menggunakan pengeras suara untuk meneriakkan tuntutan di tengah terik matahari, dikawal aparat kepolisian yang berjaga di sekitar area.
Beberapa peserta aksi membawa poster bergambar wajah korban dengan tulisan “Suaramu Belum Mati!” dan “Hentikan Kekerasan Seksual di Institusi Negara!”
Aparat kepolisian tampak berjaga di balik pagar gedung pengadilan, sementara petugas lantas Polresta Kupang Kota mengatur arus lalu lintas agar tetap lancar.
Aksi ini digelar bertepatan dengan sidang pembacaan putusan terhadap Fajar Lukman. massa aksi menyatakan bahwa mereka tidak hanya menuntut hukuman maksimal bagi Fajar Lukman, tetapi juga reformasi menyeluruh terhadap sistem penegakan hukum yang dianggap memelihara impunitas.
Dalam orasinya, Alfred Namuwali dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dengan lantang menuding aparat penegak hukum kerap tebang pilih dalam menegakkan keadilan.
“Negeri ini tidak akan pernah pulih jika hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tegas Alfred.
“Kami ingin mengingatkan hakim: jangan tunduk pada pangkat, jangan takut pada kekuasaan. Korban kekerasan seksual menanggung luka seumur hidup, sementara pelaku sering dilindungi seragamnya. Ini penghinaan terhadap keadilan,” tuturnya keras.
“Jika keadilan gagal ditegakkan hari ini, maka kami akan kembali lebih banyak, lebih lantang, dan lebih keras,” tutup Alfred Namuwali dalam orasinya.
Sementara itu, Enjel, orator dari LBH APIK NTT, mengecam keras budaya impunitas di tubuh aparat penegak hukum.
“Kasus ini bukan sekadar soal individu. Ini cermin betapa bobroknya sistem perlindungan hukum bagi anak dan perempuan di negeri ini,” ujar Enjel lantang.
“Ketika pelaku kekerasan seksual justru berasal dari aparat, itu berarti negara telah gagal menjaga rakyatnya. Jika hakim hari ini tidak berani memberi hukuman maksimal, maka pengadilan ini bukan lagi tempat mencari keadilan melainkan tempat melindungi pely aku,” teriaknya keras.
Perwakilan Aliansi Saksi Minor lainnya juga menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual yang melibatkan aparat.
“Kami bosan melihat aparat kebal hukum. Kami menuntut agar pengadilan menegakkan kebenaran, bukan melayani kekuasaan,” seru salah satu peserta aksi melalui pengeras suara.
Aksi berlangsung damai namun penuh semangat. Massa aksi berorasi bergantian, menyampaikan kritik terhadap sistem hukum yang dianggap masih memberi ruang aman bagi pelaku kekerasan seksual berseragam. (rey)
Ikuti Berita Sabolainnya di GOOGLE NEWS






