Free Gift

Analis: 100 Hari Menuju Puncak Bitcoin, atau Teori Siklus 4 Tahunan Sudah Usang?

Sabo – Harga Bitcoin saat ini mungkin belum terlalu menggembirakan, tapi narasi soal puncak siklus 4 tahun yang legendaris kembali mencuat. Seorang analis yang memakai nama Frank Fetter, ekonom klasik asal Amerika, mengungkap bahwa Bitcoin mungkin hanya berjarak 100 hari dari puncak siklusnya, jika pola 4 tahunan masih relevan.

Dikutip dari Bitcoinist, Senin (18/8), harga Bitcoin kini berada di kisaran USD 117.625 atau sekitar Rp 1,91 miliar, naik tipis 0,3 persen dalam 24 jam terakhir. Meski pergerakan harga tidak terlalu dramatis, banyak yang mulai bertanya: apakah kita sedang menuju puncak, ataukah justru pasar sudah berubah sepenuhnya?

Teori siklus 4 tahun merujuk pada pola historis Bitcoin yang biasanya mengalami kenaikan signifikan sekitar setahun setelah halving, lalu memuncak sebelum memasuki fase koreksi. Dalam siklus 2015–2018, harga Bitcoin naik 110 kali lipat dalam 1.068 hari. Pada siklus berikutnya (2018–2022), kenaikannya 21 kali lipat dalam 1.060 hari.

Saat ini, Bitcoin telah naik 7,3 kali lipat dari titik rendah pada 2022 dalam 997 hari. Jika pola ini masih berlaku, maka 100 hari ke depan bisa menjadi fase klimaks menuju puncak harga. Namun jika Bitcoin terus naik bahkan setelah 100 hari ke depan, ini bisa menjadi bukti bahwa teori siklus telah usang.

“Jika Bitcoin tetap melesat tanpa henti, mungkin kita sedang memasuki era baru,” tulis analis itu.

Namun tidak semua pihak menyambut kemungkinan harga Bitcoin tembus langit dengan optimisme. Mike Novogratz, CEO Galaxy Digital, justru menyebut harga Bitcoin USD 1 juta (sekitar Rp 16,3 miliar) bukanlah kabar baik.

“Bitcoin bisa sampai ke sana hanya jika Amerika sedang krisis ekonomi parah,” ujarnya dalam podcast terbaru, dikutip dari Bitcoinist, Senin (18/8). “Saya lebih memilih Bitcoin murah tapi negara stabil, daripada sebaliknya.”

Menurut Novogratz, lonjakan Bitcoin secara ekstrem sering kali menjadi pelindung nilai saat kondisi ekonomi global sedang tidak menentu. Maka dari itu, bila harga BTC menembus USD 1 juta, itu bisa menjadi sinyal bahwa dolar Amerika sedang goyah.

Senada dengan itu, analis kripto populer Wolf of All Streets juga pernah menyebut bahwa kenaikan harga yang terlalu cepat biasanya pertanda dunia sedang bermasalah.

Namun tidak semua prediksi bernada kelam. Cathie Wood dari ARK Invest masih memproyeksikan Bitcoin bisa mencapai USD 1,5 juta (Rp 24,45 miliar) pada 2030. Sementara pendiri BitMEX, Arthur Hayes, memperkirakan Bitcoin bisa naik ke rentang USD 750.000 hingga USD 1 juta (Rp 12,2 miliar hingga Rp 16,3 miliar) pada 2026.

Adapun Michael Saylor dari MicroStrategy bahkan menyatakan “musim dingin tak akan kembali,” menandakan keyakinannya bahwa harga Bitcoin akan terus naik karena pasokan terbatas dan permintaan terus tumbuh.

Meski begitu, Novogratz menilai adopsi Bitcoin yang semakin masif, termasuk oleh perusahaan yang menaruh BTC dalam neraca keuangan, bisa menjadi sinyal bubble baru. Galaxy Digital, kata dia, kini menerima lima panggilan per minggu dari perusahaan yang ingin membeli Bitcoin sebagai bagian dari cadangan kas.

“Harga Bitcoin tembus USD 1 juta bukan pertanda kemenangan, tapi peringatan bahwa ekonomi sedang rapuh,” tutup Novogratz.

Dengan narasi yang saling bertentangan antara optimisme dan kekhawatiran, satu hal yang pasti: 100 hari ke depan akan menjadi periode yang menentukan bagi arah masa depan Bitcoin dan pasar kripto secara keseluruhan.

Want a free donation?

Click Here