Antara Keamanan dan Kemanusiaan: Menimbang Strategi Militer dan Seruan Penarikan Pasukan di Papua
Oleh: Dr. H. Syamsunie Carsel HR, M.Pd
Dosen Universitas Megarezky Makassar
Sabo Sejak eskalasi serangkaian kontak tembak antara aparat keamanan dan kelompok yang dikenal sebagai KKB/OPM, suasana di beberapa wilayah Papua kembali memanas.
Pada operasi yang dilaporkan terjadi di sejumlah titik, aparat TNI-Polri mengumumkan keberhasilan menggempur markas gerakan bersenjata dan menyatakan puluhan anggota kelompok tersebut tewas saat baku tembak. Pernyataan resmi aparat menekankan bahwa operasi itu dimaksudkan untuk melindungi warga dan memulihkan keamanan.
Di sisi lain, operasi berskala militer ini memicu kecaman dari sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM. Lembaga hak asasi itu mendesak penghentian segala bentuk kekerasan, meminta kaji ulang strategi dan menyerukan penarikan bertahap pasukan non-organik agar situasi kemanusiaan dapat dipulihkan dan warga bisa kembali ke kampung halamannya.
Komnas HAM juga menuntut penyelidikan independen terhadap dugaan pelanggaran HAM yang muncul selama operasi.
Argumen aparat keamanan berakar pada realitas ancaman yang terus muncul, laporan dan rekam jejak menunjukkan KKB/OPM kerap melakukan serangan bersenjata yang menimbulkan korban sipil, pembakaran fasilitas publik termasuk sekolah, rumah ibadah, dan puskesmas serta pemaksaan pengungsian warga.
Pemerintah dan aparat menegaskan bahwa penegakan hukum dan tindakan militer diperlukan untuk menumpas aktor-aktor yang membawa ancaman nyata bagi keselamatan warga.
Namun klaim keamanan ini harus dipertautkan dengan kewajiban perlindungan HAM: operasi militer di daerah sipil rentan memunculkan korban sipil, pengungsian massal, dan dugaan pelanggaran prosedur penegakan hukum.
Itulah sebabnya lembaga hak asasi menuntut penarikan pasukan non-organik secara bertahap dan penegakan mekanisme pengawasan agar upaya keamanan tidak mengorbankan hak-hak dasar penduduk.
Dalam beberapa kawasan, konflik telah menimbulkan ribuan pengungsi internal yang kehilangan mata pencaharian dan akses layanan dasar.
Pertanyaannya yang Anda ajukan apakah lembaga HAM memahami bahwa keamanan dan kenyamanan rakyat Papua harus diwujudkan mengarah pada dua hal penting.
Pertama, lembaga HAM pada dasarnya menempatkan perlindungan warga sipil sebagai prioritas: seruan untuk pengurangan pasukan biasanya disertai upaya menciptakan kondisi aman melalui dialog, jaminan akses kemanusiaan, dan pengawasan atas tindakan aparat agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam operasi.
Kedua, aparat keamanan menekankan bahwa tanpa upaya ofensif untuk mengatasi kelompok bersenjata yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat, tidak mungkin tercipta rasa aman yang berkelanjutan.
Kedua perspektif ini bukan otomatis saling bertentangan tetapi sering berbenturan dalam praktik karena kompleksitas medan, miskomunikasi, dan tingkat ancaman yang berbeda antar-wilayah.
Solusi yang lebih realistis membutuhkan kombinasi strategi: tindakan keamanan yang proporsional dan terukur untuk melindungi warga dari serangan KKB; mekanisme investigasi independen dan transparan untuk setiap dugaan pelanggaran HAM; penciptaan koridor kemanusiaan dan program pemulangan pengungsi; serta dialog politik dan pembangunan ekonomi yang menyentuh akar masalah (kesenjangan, marginalisasi, dan aspirasi politik lokal).
Penarikan pasukan bisa dilakukan secara bertahap dan terkoordinasi tetapi hanya jika ada jaminan keamanan yang konkret dan mekanisme pengamanan lokal yang kuat.(*)






