Bagaimana sebuah jabat tangan bisa mengubah sejarah? Pada 1975, pertemuan antara Amerika dan Soviet di orbit menunjukkan kedua negara itu bisa bekerja sama. Pertemuan itu membuahkan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
17 Juli 1975, wahana antariksa AS, Apollo dan Soyuz dari Uni Soviet, bertemu di angkasa. Pertemuan ini bersejarah, karena dua negara ini adalah ‘musuh bebuyutan’ dalam eksplorasi luar angkasa selama belasan tahun lamanya.
Saat berusia 33 tahun, Glynn Lunney sudah menjadi salah satu direktur penerbangan NASA yang paling berpengalaman.
Pada 1970, ia ada misi-misi penting, mulai dari orbit pertama pesawat Apollo hingga langkah pertama Neil Armstrong di Bulan.
Beberapa bulan setelah membantu memimpin upaya penyelamatan awak dari Apollo 13 yang meledak, Lunney sedang mempersiapkan misi Bulan berikutnya.
Dia ditelepon atasannya, kepala kendali misi, Chris Kraft.
“Dia berkata, ‘Glynn, bersiaplah pergi ke Moskow, kamu akan berangkat dalam beberapa minggu’,” kata Lunney.
“Sungguh kejutan yang tak terduga, membuat saya tak bisa berkata-kata.”
Lunney mengabdikan kariernya untuk memenangkan kompetisi antariksa melawan Uni Soviet.
Kini dia justru diharapkan memimpin tim untuk bekerja sama dengan lawannya itu dalam misi gabungan: Proyek Uji Coba Apollo-Soyuz.
Tujuannya untuk menempatkan kapsul Apollo milik AS dan wahana antariksa Soyuz milik Soviet di orbit. Rencana itu akan memakan lima tahun usia Lunney.
Lunney meninggal 2021, tetapi saya cukup beruntung pernah mewawancarainya pada 2012 untuk program radio BBC tentang pendaratan di Bulan.
Kami bertemu di Ruang Kendali Misi Apollo di Houston yang terkenal itu. Lunney, sang pensiunan direktur penerbangan, duduk di kursinya yang dulu, dan saya di sampingnya.
Dia memandang ke bawah, pada konsol yang gelap dan layar utama yang kosong. Ruangan itu terasa sudah ditinggalkan, dan misi-misi itu hanyalah kenangan yang samar.
Percakapan kami seharusnya membahas tantangan pendaratan di Bulan, pertanyaan yang sudah dia jawab berkali-kali sebelumnya.
Namun, begitu Lunney mulai bicara tentang Apollo-Soyuz, nampak jelas bahwa misi yang jarang dibahas ini merupakan puncak kariernya.
“Saya menyadari saya sudah berubah. Dari seorang pejuang Perang Dingin yang berhasil pertama kali membawa astronaut ke Bulan, menjadi orang yang dikirim untuk melihat apa yang bisa dilakukan demi kerja sama [di luar angkasa],” ujarnya.
“Saya baru berusia 33 tahun saat tiba di Moskow untuk pertama kalinya, mewakili Amerika Serikat, dan saya berpikir, ‘Wow!'”
Uni Soviet dan Amerika Serikat bersaing di luar angkasa sejak peluncuran Sputnik-1 pada 1957.
Namun, ide tentang kerjasama dua negara adidaya ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja.
“Selama bertahun-tahun, ada upaya untuk mencari program kolaboratif antara Amerika Serikat dan Uni Soviet di luar angkasa,” kata Teasel Muir-Harmony, kurator pameran Apollo dan Apollo-Soyuz di Museum Dirgantara dan Antariksa Nasional di Washington DC.
“Ada perjanjian [tentang pertukaran data meteorologi] yang ditandatangani AS dan Uni Soviet pada Oktober 1962. Oktober 1962 adalah saat Krisis Rudal Kuba, ketika kita berada paling dekat dengan perang nuklir,” kata Muir-Harmony.
“Perlombaan antariksa selalu jadi kombinasi antara kerja sama dan kompetisi.”
Pada 1970-an, Gedung Putih di bawah Nixon sangat ingin meredakan ketegangan internasional dengan Uni Soviet yang dipimpin oleh Leonid Brezhnev. Karena itu, Apollo-Soyuz penting secara diplomatis.
Namun, tujuannya sebenarnya sangat praktis. Jika wahana antariksa dari berbagai negara dapat saling berlabuh bersama, astronaut yang terdampar bisa menggunakannya.
“Pertanyaannya adalah, bagaimana kita saling menyelamatkan kru di luar angkasa?” kata Kenneth Phillips, kurator sains kedirgantaraan di California Science Center.
“Adalah ide yang mulia jika eksplorasi dan kolaborasi antariksa bisa menyatukan kita.”
Terkait astronot yang ditugaskan untuk misi ini, simbolisme dari pemilihannya juga signifikan.
Satu dari tiga awak AS adalah Deke Slayton, salah satu astronot Mercury 7 pertama.
Setelah dikandangkan sejak 1962 karena dugaan kondisi jantung, Slayton akhirnya diizinkan terbang. Selama ini dia hanya bisa menonton saat para astronot lainnya memelopori penerbangan antariksa dan terbang ke Bulan.
Sementara itu, Soviet mengirim dua awak yang dipimpin oleh Alexei Leonov, manusia pertama yang berjalan di luar angkasa.
Jika roket raksasa N1 Moon milik Rusia berhasil, Leonov bakal menjadi manusia pertama yang berjalan di Bulan, dan bukannya Neil Armstrong.
Tantangan teknis untuk menggabungkan kedua wahana antariksa ini cukup besar. Secara tampilan, Soyuz yang bulat dan Apollo yang berbentuk kerucut sangat berbeda.
Soyuz hanya dirancang untuk beroperasi di orbit rendah Bumi, sedangkan kapsul Apollo awalnya dirancang untuk terbang ke Bulan.
Soyuz sebagian besar dioperasikan dari darat, sementara para astronaut Apollo dapat mengemudikan pesawat mereka menggunakan komputer digital canggih. Bahkan campuran udara yang dihirup kru masing-masing negara di orbit pun berbeda.
Namun, tantangan yang lebih besar adalah mengatasi kesenjangan budaya dan kecurigaan yang terbangun sejak Perang Dunia II antara kedua musuh bebuyutan Perang Dingin tersebut. Saat tim AS menuju Moskow, mereka tidak yakin apa yang akan terjadi.
“Kami pun menyadari bahwa orang-orang yang bekerja dengan kami bukanlah raksasa jelek, mereka adalah manusia,” ujar pilot modul komando untuk misi tersebut, Vance Brand.
“Ada banyak orang Rusia yang saya sukai, meskipun KGB sangat aktif dan memantau para kosmonot dengan ketat.”
Faktanya, kamar-kamar yang ditempati delegasi AS di Star City, Moskow, semuanya disadap. Tapi, tak lama kemudian kedua belah pihak menyadari bahwa mereka bisa berteman.
“Pada akhirnya, banyak orang di program ini terkejut dengan minat, kemauan untuk berkompromi, dan profesionalisme rekan kerja mereka,” kata Muir-Harmony.
“Hubungan antara Alexei Leonov dan [komandan Apollo] Tom Stafford adalah contoh yang bagus. Mereka menjadi teman dekat dan mempertahankan persahabatan itu sepanjang hidup mereka.”
“Para pilot punya banyak kesamaan, terlepas dari apakah mereka pernah menerbangkan jet Sabre atau MiG,” kata Brand. “Insinyur di bidang yang sama juga dapat dengan mudah berhubungan… tapi hal yang tidak kami bicarakan adalah politik dan agama.”
Delegasi AS kesulitan belajar bahasa Rusia dan beradaptasi dengan Moskow era 1970-an yang membosankan. Di sisi lain, para kosmonot Soviet pun mengalami gegar budaya ketika mengunjungi Amerika Serikat.
“Ketika Alexei Leonov datang ke Amerika Serikat, ia memandangi jalan raya dan melihat semua mobil dengan warna-warni yang berbeda. Dia ingin tahu mengapa mobil-mobil itu hadir dalam berbagai warna,” kata Muir-Harmony.
Pada 15 Juli 1975, Soyuz yang membawa Leonov dan teknisi penerbangan Valery Kubasov diluncurkan dari Baikonur, di wilayah yang sekarang disebut Kazakhstan. Tujuh jam kemudian, Stafford, Brand, dan Slayton terbang dengan Apollo dari Cape Canaveral.
Apollo membawa adaptor dok yang dirancang khusus untuk menghubungkan kedua wahana antariksa tersebut. Setelah mengorbit Bumi selama dua hari, pada 17 Juli wahana antariksa tersebut saling mendekati.
“Saya pertama kali melihat mereka di sekitar 400 mil laut (740 km) jauhnya,” kata Brand.
“Saya mengarahkan teleskop dan melihat titik terang di langit.
Akhirnya kami sangat dekat dengan mereka, kami bisa melihat panel surya di pesawat ruang angkasa mereka yang tampak seperti sayap, sehingga membuatnya tampak seperti serangga.”
Proses docking berjalan dengan sempurna.
“Lalu orang Amerika mengetuk palka,” kata Muir-Harmony, “dan orang Soviet membukanya.
Mereka bertanya, ‘Siapa di situ?’… yang menurut saya, lelucon yang sangat lucu.”
Jabat tangan dan pertukaran cendera mata pun terjadi sebelum Presiden AS Gerald Ford berpidato di hadapan kru.
Presiden Ford mengungkapkan “kekaguman yang sangat besar atas kerja keras dan dedikasi penuh Anda dalam mempersiapkan penerbangan gabungan pertama ini”.
Setelah dua hari bersama, pesawat ruang angkasa itu lepas landas untuk kembali ke tanah air mereka. Namun itu bukanlah akhir dari cerita.
“Apollo-Soyuz merupakan terobosan besar dalam kolaborasi AS-Soviet,” kata Svetla Ben-Itzhak dari Universitas Johns Hopkins di Washington DC.
“Keberhasilan ini menjadi preseden bagi kerja sama damai di orbit. Inilah momen di mana diplomasi antariksa benar-benar dimulai.”
Dasar diplomasi antariksa adalah eksplorasi antariksa menyatukan negara-negara dengan tujuan bersama yang saling menguntungkan, dan kolaborasi tersebut kemudian dapat diperluas hingga ke Bumi.
“Tujuan sains dan teknik dapat menyatukan orang-orang yang sebelumnya tidak berpikir bahwa mereka dapat berkolaborasi secara produktif,” kata Phillips.
“Niat eksplorasi adalah sesuatu yang dapat kita semua pahami.”
Apollo-Soyuz mendorong kerja sama lebih lanjut antara negara-negara adidaya. Dengan runtuhnya Uni Soviet, hubungan tersebut menjadi semakin erat.
Pada 1990-an, misi Pesawat Ulang-alik terbang ke stasiun luar angkasa Rusia, Mir. Kru dari kedua negara tinggal dan bekerja bersama selama berbulan-bulan.
Hal ini diikuti oleh Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), sebuah upaya kolaboratif antara 14 negara, dengan AS dan Rusia sebagai pusatnya.
Bahkan sejak Rusia melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina pada 2022, Rusia, Amerika, dan sekutu Barat terus bekerja sama di orbit ISS.
“Sungguh menakjubkan bahwa kerja sama di Stasiun Luar Angkasa Internasional terus berlanjut, bahkan ketika ketegangan di darat meningkat dan sanksi dijatuhkan terhadap Rusia, termasuk di sektor luar angkasa,” kata Ben-Itzhak.
“Namun, 450 km di atas Bumi, kami masih berkolaborasi dan bekerja sama.”
Sampai batas tertentu, Rusia dan AS tidak punya pilihan selain bekerja sama. ISS dirancang sedemikian rupa sehingga berbagai segmen nasional saling bergantung.
Jika salah satu mitra menghentikan operasinya, stasiun tersebut akan gagal. Para mitra ISS pada dasarnya terjebak dalam pernikahan yang beracun, meskipun di stasiun itu sendiri semua astronaut dilaporkan rukun.
Ben-Itzhak mempelajari apa yang ia sebut “blok antariksa”, yaitu pengelompokan negara-negara antariksa yang sedang berkembang. Saat ini, sejumlah negara sedang merencanakan kembali ke Bulan. Tapi sepertinya, AS dan Rusia akan segera berpisah.
Rusia kemungkinan akan berpihak pada China. Negara-negara Barat, termasuk Eropa dan Kanada, akan bersatu di sekitar AS.
Namun, ada juga blok lain yang muncul, termasuk negara-negara Arab, Afrika, dan Asia (India, misalnya, dengan cepat menjadi kekuatan antariksa yang signifikan).
Jadi, bisakah pelajaran dari Proyek Uji Apollo-Soyuz ini suatu hari nanti kembali diterapkan di Bulan?
Kedua belah pihak dalam perlombaan antariksa baru ini mengincar pendirian pangkalan di Kutub Selatan Bulan, bahkan di kawah yang sama. Jadi, bisakah Ben-Itzhak membayangkan jabat tangan dan lelucon “tok-tok, siapa itu” di permukaan Bulan?
“Saat ini, dengan berat hati saya sampaikan, kemungkinannya sangat kecil,” ujarnya.
“Sebenarnya lebih buruk dari itu… Ada sebuah perjanjian internasional bernama Perjanjian Artemis, yang menetapkan norma-norma perilaku di permukaan bulan, termasuk eksplorasi damai, transparansi, bantuan darurat, dan pelestarian warisan bersama, termasuk jejak kaki yang ditinggalkan para astronaut.”
“Perjanjian ini telah diterima 55 negara, tetapi belum diterima oleh China atau Rusia.”
Mengenai Apollo-Soyuz, ketika saya memberi tahu orang-orang bahwa saya sedang menulis artikel ini, hanya sedikit – bahkan di dunia antariksa – yang tampaknya pernah mendengarnya.
Kedua belah pihak dalam misi ini sekali lagi berada di dunia yang berbeda – baik secara politik maupun harfiah.
Pesawat ruang angkasa Soyuz berada di museum Energia milik swasta di dekat Moskow dan kapsul Apollo kini dirawat oleh Phillips di California Science Center di Los Angeles.
Dia optimistis terhadap masa depan eksplorasi ruang angkasa yang kooperatif.
“Ada komunitas internasional yang menunggu untuk berkolaborasi di bidang antariksa,” kata Phillips. “Jika struktur pemerintahan mengizinkannya, maka saya pikir kita dapat melakukan pekerjaan yang luar biasa bersama-sama.”
Sedangkan Lunney, ia kemudian memimpin program Pesawat Ulang-alik – petualangan luar angkasa Amerika berikutnya yang luar biasa.
Namun, 50 tahun kemudian, kepemimpinannya di Apollo-Soyuz patut dikenang karena telah mengubah cara negara-negara yang bertikai belajar hidup dan bekerja sama di luar angkasa.
Anda dapat membaca versi asli artikel ini yang berjudul The handshake in orbit that made the International Space Station possible di BBC Future.
- Apollo 11: Bukti foto yang mengukuhkan pendaratan di Bulan 50 tahun lalu
- Siapa Apollo Quiboloy, pendeta di Filipina yang dituduh melakukan perdagangan seks anak?
- Michael Collins ‘pahlawan di balik layar’ misi pertama manusia ke bulan wafat, seperti apa kiprahnya?
- Mengapa banyak negara berambisi mengirim orang ke Bulan?
- Di balik teori konspirasi ‘manusia tidak pernah menginjakkan kaki di Bulan’
- Pesawat antariksa Soviet seberat setengah ton akan jatuh ke Bumi