DEPARTEMEN Luar Negeri AS mengklaim kelompok militan Palestina, Hamas, berencana menyerang warga sipil di Gaza. AS menuduh ini merupakan pelanggaran berat terhadap gencatan senjata.
Hamas menolak pernyataan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat itu. AS sebelumnya mengklaim telah mengutip laporan kredibel yang mengindikasikan kelompok Palestina itu akan segera melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Israel.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu, 19 Oktober 2025, yang dilansir dari Al Jazeera, Hamas mengatakan tuduhan AS itu salah. Menurut Hamas, AS mengikuti propaganda Israel yang menyesatkan dan memberikan kedok untuk melanjutkan kejahatan pendudukan dan agresi terorganisir terhadap rakyat Gaza.
Departemen Luar Negeri AS mengklaim bahwa Hamas berencana menyerang warga sipil di Gaza yang merupakan pelanggaran berat terhadap gencatan senjata. AS meminta para mediator untuk menuntut agar kelompok tersebut memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian damai yang didukung AS.
Dalam sebuah pernyataan pada Sabtu malam, 18 Oktober 2025, Departemen Luar Negeri mengatakan telah memperoleh laporan kredibel yang menunjukkan pelanggaran gencatan senjata yang akan segera terjadi oleh Hamas terhadap rakyat Gaza. “Jika Hamas melanjutkan serangan ini, langkah-langkah akan diambil untuk melindungi rakyat Gaza dan menjaga integritas gencatan senjata,” katanya. Ia tak merinci secara spesifik tentang serangan yang direncanakan.
Hamas meminta AS berhenti mengulang narasi menyesatkan. “Fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya, karena otoritas pendudukanlah (Israel) yang membentuk, mempersenjatai, dan mendanai geng-geng kriminal yang melakukan pembunuhan, penculikan, pencurian truk bantuan, dan penyerangan terhadap warga sipil Palestina. Mereka telah secara terbuka mengakui kejahatan mereka melalui media dan klip video, yang menegaskan keterlibatan pendudukan dalam menyebarkan kekacauan dan mengganggu keamanan,” menurut pernyataan Hamas.
Hamas mengatakan bahwa pasukan polisinya di Gaza, telah memenuhi tugas mereka mengejar geng-geng kriminal ini. Hamas juga telah meminta pertanggungjawaban geng kriminal sesuai dengan mekanisme hukum yang jelas, untuk melindungi warga negara dan menjaga properti publik dan pribadi.
Hamas dan Israel Saling Menyalahkan
Hamas dan Israel saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata yang dimediasi AS. Gencatan senjata ini mulai berlaku sejak pekan lalu dan mengancam keberhasilan kesepakatan yang berjalan dalam sepekan terakhir.
Kantor Media Pemerintah Gaza mengatakan pada Sabtu bahwa mereka telah menghitung hampir 50 pelanggaran Israel terhadap perjanjian damai, yang mengakibatkan 38 kematian warga Palestina dan 143 luka-luka sejak gencatan senjata berlaku. Tindakan Israel itu disebut sebagai pelanggaran mencolok dan jelas terhadap keputusan gencatan senjata dan aturan hukum humaniter internasional.
Menurut kantor tersebut, pasukan Israel di Gaza menembaki dan mengebom warga sipil. Serangan ini mencerminkan pendekatan agresif berkelanjutan Israel meskipun telah dinyatakan gencatan senjata.
Israel juga dituduh gagal mematuhi kesepakatan gencatan senjata dengan terus memblokir upaya pembukaan kembali perbatasan Rafah antara Gaza dan Mesir. Pembukaan Rafah telah diserukan untuk meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dan untuk memungkinkan warga Palestina bepergian ke luar negeri.
Netanyahu Putuskan Tak Buka Perbatasan Rafah
Al Arabiya melaporkan bahwa Hamas mengatakan pada Sabtu, 18 Oktober 2025, bahwa keputusan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menutup perlintasan perbatasan Rafah merupakan pelanggaran “terang-terangan” terhadap perjanjian gencatan senjata dan “penolakan” terhadap komitmen yang dibuat kepada para mediator. Netanyahu mengumumkan bahwa penyeberangan akan tetap ditutup sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Penyeberangan Rafah telah dijadwalkan untuk dibuka kembali Rabu lalu sebagai bagian dari tahap pertama perjanjian gencatan senjata, yang mulai berlaku pada 10 Oktober. Sejak Mei 2024, tentara Israel telah memblokir pergerakan warga Palestina melalui perbatasan tersebut, satu-satunya jendela wilayah tersebut ke dunia luar yang tidak dikontrol oleh Tel Aviv sebelum dimulainya serangan Israel terhadap Gaza pada Oktober 2023.
“Keputusan Netanyahu untuk mencegah pembukaan kembali perlintasan Rafah hingga pemberitahuan lebih lanjut merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian gencatan senjata dan penolakan terhadap komitmen yang telah dibuatnya di hadapan para mediator dan pihak penjamin,” ujar Hamas dalam sebuah pernyataan. “Penutupan Rafah yang berkelanjutan—mencegah evakuasi korban luka dan sakit, membatasi pergerakan warga sipil, menghalangi masuknya peralatan khusus yang dibutuhkan untuk pencarian orang hilang di bawah reruntuhan, dan menghalangi tim forensik dalam mengidentifikasi jenazah—akan menunda pemulihan dan penyerahan jenazah (sandera Israel).”
Hamas mengatakan bahwa pelanggaran dan serangan Israel yang terus berlanjut, menunjukkan niat agresif Israel. Pengepungan terhadap warga Gaza masih terus berlanjut.
Hamas telah membebaskan 20 sandera Israel yang masih hidup dan menyerahkan sisa-sisa jenazah 13 tawanan lainnya dengan imbalan hampir 2.000 tahanan Palestina berdasarkan perjanjian gencatan senjata.
Sejak Oktober 2023, perang genosida Israel telah menewaskan lebih dari 68.100 korban dan melukai 170.200 orang, kata Kementerian Kesehatan Gaza, Sabtu.






