Free Gift

Begini Cara Serigala Menghindari Musuh Terbesarnya di Alam Liar

Sabo– Sebuah penelitian berskala besar di hutan utara Polandia mengungkap fakta menarik tentang perilaku serigala. Dalam area seluas 1.100 kilometer persegi, para peneliti menemukan bahwa hewan buas ini ternyata paling takut pada manusia—lebih dari ancaman lain yang mereka hadapi di alam liar.

Tim peneliti dari Western University yang dipimpin oleh Liana Zanette melakukan eksperimen lapangan dengan menyembunyikan kamera dan pengeras suara di beberapa titik hutan. Saat satwa liar melewati area tersebut, perangkat akan otomatis memutar rekaman suara—mulai dari manusia berbicara dengan tenang, gonggongan anjing, hingga kicauan burung.

Hasilnya mencengangkan: suara manusia membuat serigala kabur lebih cepat dan lebih sering dibandingkan suara lain. Dalam ratusan uji di 24 persimpangan jalan hutan, serigala menunjukkan reaksi ketakutan dua kali lipat lebih besar terhadap suara manusia dibandingkan kontrol lainnya. Hewan mangsa seperti rusa dan babi hutan pun menunjukkan pola serupa—mereka lari lebih cepat saat mendengar manusia berbicara.

Mengapa Serigala Takut pada Manusia?

Secara evolusi, manusia adalah “super predator”—pemburu yang membunuh hewan dewasa dengan tingkat intensitas jauh lebih tinggi daripada pemangsa alami lainnya. Studi global menunjukkan manusia membunuh mangsa pada tingkat yang tak tertandingi oleh spesies lain.

Temuan serupa juga muncul di California, di mana puma (singa gunung) meninggalkan buruannya begitu mendengar suara manusia, bukan anjing. Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan serigala terhadap manusia bukanlah kebetulan, melainkan hasil adaptasi evolusioner: lebih baik lari terlalu cepat daripada mati karena terlambat bereaksi.

Beraktivitas di Malam Hari untuk Bertahan Hidup

Peneliti juga memantau pola aktivitas siang dan malam. Data menunjukkan serigala jauh lebih aktif di malam hari, terutama di wilayah yang banyak dikunjungi manusia pada siang hari. Pergeseran ini menandakan perilaku nocturnality—atau kecenderungan untuk aktif di malam hari demi menghindari gangguan manusia.

Menariknya, bukan hanya serigala yang berubah perilakunya. Hewan mangsa mereka pun ikut “terdorong” ke malam hari. Akibatnya, ekosistem mengalami perubahan besar, karena interaksi antara predator dan mangsa kini terkonsentrasi pada jam-jam gelap. Pergeseran ini berdampak pada keseimbangan energi, peluang berburu, hingga tingkat stres hewan liar.

Meluruskan Mitos: Serigala Tidak Kehilangan Rasa Takut

Beberapa pihak di Eropa berpendapat bahwa serigala kini semakin berani mendekati manusia, apalagi sejak populasi mereka pulih di berbagai wilayah. Namun, riset ini menunjukkan hal sebaliknya.

Menurut Zanette, selama masa perlindungan ketat di Uni Eropa, tingkat kematian serigala akibat manusia—baik legal maupun ilegal—tujuh kali lebih tinggi daripada kematian alami. Artinya, ketakutan mereka justru sangat beralasan.

Kemunculan serigala di sekitar pemukiman bukan karena mereka tidak takut, melainkan karena faktor makanan. Limbah, ternak, atau sisa makanan manusia sering kali menjadi godaan besar. Dalam situasi seperti ini, rasa lapar dapat “mengalahkan” rasa takut—tapi bukan berarti ketakutan itu hilang.

Lebih Banyak Serigala, Lebih Banyak Perjumpaan

Populasi serigala di Eropa dan Amerika Utara kini meningkat setelah puluhan tahun absen. Akibatnya, kemungkinan bertemu manusia pun naik, meskipun hewan-hewan itu tetap waspada.

Kadang, kedekatan ini terjadi karena manusia sendiri yang menciptakan “umpan” —seperti sampah terbuka, peternakan tanpa pagar, atau makanan hewan peliharaan yang tergeletak.

Eksperimen ini membantu memisahkan antara mitos dan realitas: serigala tetap takut pada manusia, tetapi bisa mengambil risiko jika ada peluang makanan yang besar. Prinsipnya sederhana: rasa takut kuat, namun rasa lapar bisa lebih kuat lagi.

Untuk memastikan hasil akurat, tim mengatur volume, jarak, dan waktu pemutaran suara dengan sangat cermat. Mereka juga menyertakan suara anjing karena anjing dianggap “kerabat dekat” serigala yang sering berinteraksi dengan manusia. Hasilnya konsisten: suara manusia selalu memicu respons ketakutan paling kuat.

Perbandingan di lokasi yang sama memperlihatkan hierarki ketakutan yang jelas—manusia di puncak daftar ancaman, disusul anjing, lalu suara netral seperti burung. Desain penelitian yang hati-hati ini menegaskan bahwa reaksi tersebut bukan kebetulan atau efek perilaku mangsa saja.

Penelitian ini memberikan pesan penting untuk kebijakan konservasi: ketika ketakutan nyata, meniru kehadiran manusia bisa jadi solusi sementara untuk menakuti serigala. Namun, solusi jangka panjang harus berfokus pada pengelolaan sumber makanan.

Menjaga kebersihan sampah, melindungi ternak, dan menyingkirkan sisa makanan akan mengurangi alasan bagi serigala untuk mendekat.

Pendekatan berbasis data ini membantu menciptakan koeksistensi yang damai antara manusia dan predator liar.

Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Current Biology dan menjadi salah satu bukti terbaru bahwa bahkan predator puncak sekalipun tetap tunduk pada kekuatan evolusioner rasa takut terhadap manusia.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar