Kalau kita mengikuti perkembangan berita berkaitan dengan pergerakan harga emas dan saham belakangan ini ternyata ada fakta yang cukup menarik.
Hari-hari ini dengan mudah kita bisa menemukan berita-berita yang menyebutkan, “emas cetak rekor harga tertinggi” dan “IHSG mencapai all time high”.
Harga emas batangan produksi PT Aneka Tambang (Antam) di situs resmi Pegadaian sempat mencatatkan rekor harga tertinggi di kisaran Rp2,7 juta per gram pada tanggal (17/10) sebelum akhirnya beberapa hari kemarin sempat mengalami penurunan cukup tajam dan ditutup di harga Rp2,55 juta per gram (23/10).
Pencapaian rekor harga tertinggi emas ini juga diiringi kejutan-kejutan. Sekitar seminggu lalu, pernah dalam sehari, harga emas bisa naik lebih dari seratusan ribu rupiah per gram. Sebaliknya, seperti kemarin, harga emas juga bisa turun lebih dari seratusan ribu rupiah per gram.
Ini seperti melawan kebiasaan karena belum pernah terjadi sebelum-sebelumnya. Fluktuasi harian harga emas dalam negeri biasanya tak pernah menyentuh apalagi sampai melewati seratus ribu rupiah per gram.
Optimisme kenaikan harga emas juga masih kencang disuarakan beberapa analis. Ada yang bahkan sudah berani menyebut, harga emas di dalam negeri diyakini bakalan melewati harga Rp3 juta per gram di akhir tahun ini.
Seperti halnya emas, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kita juga ternyata seperti tak mau ketinggalan dan ikut mencatatkan rekor harga tertingginya. Per hari Kamis kemarin (23/10), IHSG mencatatkan rekor all time high terbarunya di level 8.274,35.
Dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara (20/10), Presiden Prabowo bahkan mengaku kaget dan tidak menduga IHSG sudah berhasil melewati level psikologi 8.000 pertama kalinya dalam sepanjang sejarah.
Harga emas dan saham yang bisa kompak mencatatkan kenaikan harga hingga menciptakan rekor tertinggi ini sebenarnya sudah melenceng juga dari pemahaman dan “rumus” yang diyakini para investor atau pelaku pasar.
Selama ini, ada semacam rumus atau aturan yang dianggap cukup valid untuk mendeskripsikan aset investasi emas dan saham. Kedua aset ini biasanya dianggap selalu bertolak belakang.
Emas sebagai aset “safe haven” akan diperebutkan banyak orang sehingga membuat harganya naik saat terjadi situasi krisis atau sedang mengalami fase ketidakpastian.
Saham sebagai salah satu aset berisiko biasanya baru akan naik tinggi saat indikator-indikator ekonomi sedang berada di fase yang optimis alias baik-baik saja.
Ketika hari ini aset emas dan saham ternyata bisa sama-sama mencatatkan kenaikan harga hingga menciptakan rekor-rekor barunya tentu agak membingungkan. Sebenarnya saat ini situasi kita sedang berada di fase yang bagaimana? Fase optimis atau fase pesimis/krisis?
Inilah yang disebutkan banyak ahli sebagai sebuah anomali.
Siapa yang untung?
Fakta menarik berikutnya, bahwa di tengah kenaikan harga emas dan saham yang sudah naik signifikan belakangan ini, ternyata tak semua orang otomatis bisa merasakan keuntungannya. Lebih tragis lagi, mungkin saja ada yang justru mengalami kerugian. Lho, kok bisa?
Logikanya sederhana saja. Meski harga emas dan saham sudah naik sampai berkali-kali lipat sekalipun tentu tidak akan ada manfaatnya sama sekali, bila kita tidak memilikinya bukan?
Bahkan di tengah fluktuasi harga yang bisa mengejutkan, bukan tidak mungkin kita justru akan mengalami kerugian, terlebih lagi saat kita justru baru mulai membeli aset tersebut di harga tertingginya.
Mereka yang akan menikmati keuntungan di tengah kenaikan harga emas dan saham yang signifikan belakangan ini, tentu saja mereka yang sebelumnya dan jauh-jauh hari sudah pernah membeli dan menyimpan aset tersebut di harga bawah.
Mereka yang sudah membeli dan menyimpan emas saat harganya masih di kisaran Rp500 ribu per gram, saat ini bila ingin menjual tentu saja sudah langsung bisa menikmati keuntungan sekitar empat atau lima kali lipat dari harga pembeliannya.
Namun buat mereka yang baru membeli emas di harga tertinggi minggu lalu yaitu Rp2,7 juta per gram tentu saja di harga Rp2,5 juta per gram kemarin, posisinya justru sedang floating loss alias rugi sementara yang belum terealisasi.
Bila ingin untung, ia harus lebih bersabar menunggu dan berharap agar harganya akan terus naik lagi di hari-hari mendatang.
Demikian halnya di dunia saham. Meski IHSG sudah mencatatkan rekor all time high tak menjadi garansi bahwa semua investor saham saat ini otomatis sudah dalam posisi siap menikmati keuntungan.
Faktanya, pilihan saham setiap orang berbeda-beda. IHSG hanya menggambarkan total rata-rata harga seluruh saham di bursa kita yang saat ini jumlahnya kira-kira 900-an saham.
Pada akhirnya, posisi untung atau rugi akan sangat bergantung pada saham apa yang kita punya dan kapan serta di harga berapa membelinya.
Sebagai contoh sederhana, di fase IHSG yang katanya all time high saat ini, dua orang katakanlah investor saham Bank BCA (BBCA) mungkin saja akan mengalami nasib yang kontras dan jauh berbeda.
Pada harga saham BBCA kemarin di level Rp8.325/lembar, maka investor yang sempat membeli BBCA beberapa waktu lalu saat harganya turun di level nyaris Rp7.000/per lembar, saat ini tentu saja sudah bisa tersenyum karena posisinya sedang floating profit.
Sebaliknya, investor yang memiliki dan menyimpan saham BBCA di harga pembelian sembilan ribuan apalagi sepuluh ribuan rupiah per lembarnya, jelas posisinya masih akan tetap floating loss, tak peduli IHSG sudah beberapa kali mencatatkan rekor all time high terbaru.
Bagaimana biar untung?
Satu hal yang bisa saya pelajari dan semakin yakini belakangan ini, bahwa terkait investasi, ternyata memang benar bahwa kesabaran bisa menjadi kunci paling penting untuk mencapai kesuksesan.
Saat kita sudah memutuskan dan berkomitmen untuk bersabar dalam berinvestasi, biasanya ekspektasi kita pun akan terus terjaga, tidak berlebihan, dan tidak akan pernah merasa takut ketinggalan alias Fear Of Missing Out (FOMO). Sikap dan komitmen ini ternyata bisa memberikan kejutan dan keuntungan tak terduga buat saya secara pribadi. Begini konteksnya.
Sejak awal dan seperti saya sampaikan di beberapa tulisan sebelumnya, bahwa buat saya, instrumen investasi yang paling saya yakini cocok dan akan memberikan keuntungan sebenarnya adalah saham, bukan emas.
Saya rutin membeli emas kebanyakan dengan cara nyicil, semata-mata karena yakin bahwa itu adalah instrumen paling aman dan stabil nilainya dalam kondisi apapun. Sejak awal saya berpikir sederhana saja, hanya ingin membeli emas dan menyimpannya dalam waktu panjang sebagai alat lindung nilai sekaligus berjaga-jaga.
Sementara berkaitan imbal hasil keuntungan dari emas, terus terang saya nyaris tidak memiliki ekspektasi.
Tapi kenaikan harga emas yang terjadi belakangan ini, jujur saja membuat saya cukup kaget. Emas yang tidak saya hitung sebagai alat investasi ternyata bisa memberikan keuntungan yang signifikan.
Bila dihitung-hitung, posisi persentase floating profit saya di simpanan emas yang saya miliki saat ini bahkan melebihi rekor floating profit saya di saham.
Bila di investasi saham saya pernah untung lebih dari 100 persen alias satu kali lipat dari beberapa saham, ternyata dari hasil membeli dan menyimpan emas dalam jangka panjang, sudah ada yang posisi floating profitnya sudah mencapai tiga atau empat kali lipat dari harga pembelian awal.
Poin saya adalah, bahwa dalam berinvestasi atau membeli aset investasi, hal paling penting dan mendasar yang perlu selalu kita tanamkan dalam diri adalah kesabaran dan harus punya mindset jangka panjang.
Jangan salah kaprah. Kebanyakan orang bisa gagal dan kapok berinvestasi karena sejak awal memiliki mindset yang keliru dan mengira investasi adalah jalan pintas dan singkat untuk menjadi kaya raya.
Saat satu aset ramai dibincangkan dan sedang naik tinggi, mereka jadi FOMO dan ikut-ikutan membeli. Padahal sangat mungkin ia justru sedang berada di posisi risiko paling besar dan berpotensi “nyangkut” karena membeli di harga tertinggi.
Pada akhirnya, beli emas atau beli saham, telah terbukti sama-sama berpotensi memberikan keuntungan asalkan waktu dan harga pembeliannya tepat. Tugas kita untuk selalu mau belajar agar selalu punya strategi dan mindset yang benar bila ingin membeli serta memaksimalkan keuntungannya.
***
Jambi, 24 Oktober 2025






