Wahai para pekerja keras, apakah kamu pernah merasa gara-gara bisa banyak hal, justru kamu yang paling sering disuruh-suruh di kantor?
Awalnya senang, merasa dipercaya, bahkan bangga karena dianggap “andalan”.
Tapi lama-lama sadar, kok rasanya malah jadi tempat nitip kerjaan semua orang ya? Dari bikin desain, bantu presentasi, edit dokumen, sampai urusan teknis seperti nge-setup projector pun, ujung-ujungnya kamu juga yang dipanggil.
Padahal, gaji tetap sama. Tidak ada tambahan insentif, tidak ada ucapan terima kasih yang tulus, bahkan kadang apresiasi pun cuma sebatas “wah, kamu memang bisa diandalkan!”.
Yang bikin miris, sering kali orang yang rajin bantu malah makin “ketagihan” dikasih kerjaan tambahan.
Bukannya dibagi rata, malah jadi kebiasaan: “Ah, kasih aja ke dia, kan dia bisa.”
Dan tanpa sadar, kamu berubah dari “karyawan berprestasi” jadi “karyawan serba bisa yang disuruh-suruh”.
Lucunya, ketika kamu mulai menolak karena sudah kewalahan, justru dibilang tidak kooperatif atau pilih-pilih kerjaan. Ironi banget kan?
Fenomena ini ternyata bukan hanya kamu yang mengalami. Cukup banyak pekerja di luar sana yang nasibnya sama — punya banyak skill, tapi tidak selalu berarti dapat penghargaan lebih.
Di atas kertas kelihatannya keren: multitasking, kreatif, cepat tanggap. Tapi di dunia nyata, sering kali artinya hanya satu: pekerjaan tambah, waktu habis, tapi gaji tetap segitu.
Fenomena ini mudah untuk ditemui: karyawan yang punya banyak kemampuan (desain, mengerjakan laporan, paham IT, bisa komunikasi) cepat jadi “andalan kantor”.
Sayangnya, kata andalan sering disalahartikan jadi alat — kalau ada kerjaan tambahan, logikanya: “Kasih aja ke dia, dia kan bisa.”Nah, untuk lebih jelasnya ada delapan permasalahannya, yaitu:
1. Role creep — tugas meluas tanpa batas
Awalnya kamu dapat satu tugas spesifik. Lama-lama tugas itu meluas: dari tugas inti ditambah tugas yang sebelumnya bukan bagian jobdesc-mu.
Ini yang disebut role creep — peran melebar tanpa ada revisi job description atau kompensasi.
Manajer sering anggap itu efisiensi (“gunakan resource yang ada”), padahal sebenarnya memindahkan beban kerja ke orang yang sama.
2. Tidak ada kompensasi atau insentif tambahan
Meningkatnya beban kerja hampir jarang diikuti dengan kenaikan gaji, tunjangan, atau bonus.
Banyak perusahaan belum punya mekanisme untuk menghargai keahlian lintas fungsi — penilaian kinerja tetap berbasis jabatan lama, bukan beban kerja aktual. Hasilnya: usaha ekstra tidak tercermin pada slip gaji.
3. Kurangnya transparansi penilaian kinerja
Kalau sistem penilaian hanya menilai output umum (mis. target tim) tanpa memecah kontribusi individual, orang yang memikul beban ekstra tidak terlihat jasanya.
Padahal mereka mengerjakan pekerjaan yang seharusnya ditangani oleh dua atau tiga orang.
4. Normalisasi pemanfaatan skill — budaya “silakan pakai”
Di banyak kantor, ada kultur tak tertulis: kalau seseorang bisa, semua dikirimin pekerjaan.
Lama-lama menjadi norma. Rekan atau atasan jadi malas belajar/mengurus sendiri karena ada yang “siap sedia”. Ini memupuk ekspektasi yang tidak sehat.
5. Faktor manajerial & keterbatasan anggaran
Kadang bukan niatan jahat: manajer sibuk, anggaran terbatas, dan perekrutan tambahan sulit.
Mereka memilih memaksimalkan kapasitas yang ada. Problemnya, solusi jangka pendek ini menimbulkan biaya jangka panjang: menurunnya motivasi, burnout, dan pergantian karyawan.
6. Dampak psikologis dan emosional pada karyawan Kelelahan & stres: beban yang meningkat bikin jam kerja memanjang dan energi terkuras.Rasa tidak adil: lihat kerjaan nambah tapi penghargaan belum bertambah → muncul frustrasi.Gengsi & rasa bersalah: seringkali yang bisa banyak hal menolak tambahan kerja karena takut dianggap tidak mau membantu — jadi mereka memilih memendam keluhannya.Burnout & niat resign: kalau berulang, banyak yang memilih keluar daripada terus-terusan dimanfaatkan. 7. Tanda-tanda yang sering muncul di kantor Satu orang selalu jadi contact person untuk segala urusan.Job description jarang diperbarui, tapi tugas terus bertambah.Promosi/kenaikan gaji tidak sebanding dengan beban tambahan.Rekan kerja mengandalkan “si jagoan” tanpa belajar sendiri. 8. Contoh kasus singkat (ilustratif, bukan data)
Bayangkan Rina: awalnya desainer grafis, tapi karena mengerti Excel dan dasar HTML, dia diminta bantu bikin laporan, perbaiki website, bahkan jadi admin event.
Setahun berlalu, portofolionya makin tebal — tapi saat evaluasi, kenaikan gaji cuma 2% seperti rekan lain yang tanggung jawabnya tetap.
Rasa kecewa dan capek muncul; akhirnya Rina mulai cari pekerjaan lain yang lebih menghargai kontribusinya.
Intinya kemampuan banyak itu bukan masalah — masalahnya adalah sistem dan kultur kerja yang tidak menyesuaikan penghargaan dan pembagian kerja.
Dampak terhadap Karyawan — Saat Kerja Keras Tak Lagi Terasa Berarti
Kalau terus-menerus dimanfaatkan tanpa penghargaan yang layak, cepat atau lambat, dampaknya pasti terasa.
Bukan cuma di fisik, tapi juga di mental dan emosional. Di sinilah sisi manusiawinya muncul — karena sekuat apa pun seseorang, kalau terus diperas tenaganya tanpa apresiasi, akhirnya bisa lelah juga.
1. Stres yang Terus Menumpuk
Awalnya hanya merasa “capek tapi masih bisa ditahan”. Lama-lama jadi stres kronis.
Setiap kali ada notifikasi dari atasan atau rekan kerja, rasanya langsung tegang — karena kemungkinan besar ada tugas tambahan lagi.
Orang seperti ini biasanya jarang menolak, karena takut dibilang tidak loyal. Tapi di sisi lain, mereka juga terus menahan beban yang semakin berat.
Dampaknya nyata: sulit tidur, sering sakit kepala, cepat lelah, bahkan kehilangan fokus saat kerja. Stres ini bisa menggerus semangat pelan-pelan, tanpa disadari.
2. Motivasi dan Produktivitas Turun
Aneh tapi nyata: semakin keras kamu bekerja, justru semakin malas rasanya.
Karena dalam hati muncul bisikan-bisikan, “buat apa sih kerja sekeras ini kalau hasilnya tetap segitu?”
Saat rasa dihargai hilang, kerja pun terasa hambar. Kamu masih mengerjakan tugas, tapi tanpa semangat.
Produktivitas akhirnya turun, bukan karena tidak mampu, tapi karena batin sudah lelah duluan.
3. Rasa Tidak Adil dan Kekecewaan yang Menumpuk
Bayangkan kamu mengerjakan dua kali lebih banyak dari rekan lain, tapi saat pembagian bonus, nilainya tetap sama.
Itu seperti lomba lari yang kamu menangkan, tapi medali dibagi rata ke semua peserta.
Kekecewaan seperti ini pelan-pelan membentuk perasaan “nggak ada gunanya berusaha lebih.”
Dari situ muncul sikap defensif: mulai menolak tanggung jawab tambahan, atau bahkan cuek dengan hasil kerja.
Rasa tidak adil ini juga bisa menular ke hubungan antar-rekan. Orang yang sering disuruh lama-lama merasa dimanfaatkan, sedangkan yang sering menyuruh merasa itu hal biasa. Akhirnya tim jadi nggak sehat.
4. Kehilangan Makna dan Identitas Diri
Banyak orang yang awalnya bekerja dengan semangat ingin berkembang, tapi setelah sering dimanfaatkan, mereka mulai kehilangan arah.
Pekerjaan yang dulu terasa membanggakan kini terasa seperti beban.bKalimat seperti “aku tuh kerja buat apa, sih?” mulai muncul.
Ini bahaya, karena ketika seseorang sudah kehilangan makna dalam pekerjaannya, semua hal di sekitarnya ikut terasa berat — bahkan hal kecil seperti datang ke kantor pun bisa jadi beban emosional besar.
5. Burnout dan Keinginan untuk Resign
Puncaknya adalah burnout. Tubuh masih ada di kantor, tapi jiwa sudah tidak di sana lagi.
Setiap hari dijalani hanya karena kewajiban, bukan lagi semangat. Dan kalau situasi ini dibiarkan, muncul dorongan untuk resign, mencari tempat yang bisa menghargai kemampuan dan waktu.
Tapi ironisnya, banyak yang akhirnya bertahan karena alasan ekonomi, meski hatinya sudah penuh dengan rasa kecewa.
6. Dampak Sosial dan Personal
Efeknya bahkan bisa meluas ke luar kantor:
Jadi mudah marah atau sensitif di rumah.Hubungan pribadi terganggu karena energi habis di pekerjaan.Waktu istirahat pun tidak benar-benar tenang, karena pikiran tetap terbayang kerjaan.
Kelelahan semacam ini bukan hanya soal fisik, tapi tentang kehilangan keseimbangan hidup. Dan semua itu berawal dari satu hal sederhana: ketika kemampuan dihargai sebatas alat, bukan potensi.
Tidak ada salahnya jadi orang yang bisa banyak hal. Tapi kamu juga berhak menentukan batas.
Kalau setiap tambahan tugas tidak diiringi dengan penghargaan atau kompensasi, itu tandanya bukan skill-mu yang salah, tapi sistemnya yang perlu dievaluasi.
Mulailah dengan hal sederhana: belajar bilang “tidak” secara profesional. Misalnya, “saya bisa bantu, tapi perlu waktu tambahan atau prioritas lain disesuaikan.”
Itu bukan bentuk penolakan, tapi cara menjaga keseimbangan diri. Dan bagi atasan atau rekan kerja, penting juga sadar — orang serba bisa bukan berarti bisa terus dimanfaatkan.
Hargai dengan ucapan terima kasih yang tulus, atau lebih baik lagi, lewat kompensasi yang nyata.
Karena pada akhirnya, keahlian adalah aset. Tapi kalau terus diperlakukan sebagai beban, aset itu bisa hilang — bersama semangat orang yang memilikinya.






