Free Gift

Berbincang dengan Pedagang Kecil, Membaca Penurunan Daya Beli

SERUPUT KOPI seduh tanpa gula demi menemani kesendirian. Awalnya. Namun, cerita penjual kopi dan batagor tentang penurunan daya beli menarik perhatian saya.

Kemudian, perbincangan tersebut mendorong saya untuk memesan sepiring batagor. Rp5.000 saja, lebih darinya porsi terlalu banyak bagi saya.

Tuturnya, dulu hari Minggu warung ramai pembeli. Sekarang sepi. Susah duit. Terjadi penurunan daya beli. Benarkah terjadi penurunan daya beli?

Cerita tentang susahnya uang mengingatkan percakapan dengan pemilik warung nasi beberapa hari lalu.

***

Setelah jalan kaki pagi, mampir ke sebuah warung berlingkungan adem. Tidak ingin makan, hanya memesan jeruk hangat dengan gula seujung sendok teh. Kemudian percakapan berlangsung.

Penjual mengeluhkan kenaikan harga. MinyakKita di warung dari Rp16.000 menjadi Rp19.000 seliter; gula sekilo, Rp15-16.000 menjadi Rp18-19 ribu. Ia biasa bayar Rp5.000 untuk gula seperempat kilo.

Kok beli bahan dagangan dikit-dikit sih? Kan lebih mahal, biaya pokok menjadi lebih tinggi!

“Gak kuat modal,” ia berkata lirih.

Ditambah, sekarang penjualan menurun dibanding dulu. Perkiraannya: konsumen berkurang; atau pelanggan mengurangi nilai pembelian. Biasa memesan kopi seduh dan makan camilan, mi instan, atau nasi rames, sekarang hanya ngopi. Mengambil camilan, tapi tidak makan berat.

Maka, pemilik warung nasi dan kopi itu hanya menyediakan menu terbatas di etalase: telur dadar, tempe orek, tongkol iris atau ikan cue (pindang) goreng, ayam goreng potongan kecil, sup, dan tumis kecambah.

Perbincangan itu mendorong saya meninjau isi etalase. Akhirnya, setengah porsi nasi, sup, dan telur dadar menjadi hidangan pagi, kendati tadi sudah sarapan.

***

Pada hari berbeda menyusuri gang kecil. Bercabang-cabang dan berliku-liku bagai labirin. Saya beristirahat di buk (beton tempat duduk).

Di hadapan terletak gerobak penjualan gorengan, cireng, seblak, dan penganan lainnya. Di sebelahnya, pikulan baslok (bakso colok). Daftar menu menempel pada tembok di belakang saya duduk.

Tak lama, datang pedagang keliling menawarkan gorengan, bihun goreng, mi goreng. “Masih banyak (barang dagangannya), nih. Sepi,” seraya meletakkan bawaan.

Lebih dari jam sepuluh pagi. Barang dagangan tampak masih memenuhi keranjang bawaan.

Seorang ibu di sebelah saya bertanya, “Meunang nganjuk? Belum ada duit nih.” Tanpa menunggu jawaban ia mengambil sebungkus bihun goreng harga Rp3 ribu. (Meunang nganjuk? Bahasa Sunda, artinya, boleh berutang?).

Pengider mengangkat keranjang plastik, kembali berkeliling keluar masuk gang menawarkan barang dagangan. 

Saya berjalan ke gerobak. Belum tersedia apa-apa. Bertanya ihwal barang jualan yang sudah siap, teteh penjual menunjukkan empat potong cireng. Digoreng terlebih dahulu.

Maka, di antara waktu sarapan dan makan siang itu saya menyantap cireng hangat, seraya berbincang dengan para pedagang.

Ternyata mereka satu rumah. Wanita di sebelah saya yang tadi makan bihun merupakan Ibu dari penjual di gerobak. Sedangkan suaminya berjualan baslok pikulan. Dua anak perempuan mereka berjualan di gerobak, lantaran tak kunjung mendapat pekerjaan.

Gerobak alumunium beroda dan pikulan tidak bergerak dari posisinya yang sekarang. Tetap di tempat, mengandalkan pembeli dari tetangga, atau orang lewat seperti saya.

“Ngider, sepi pembeli juga. Mending di sini. Nggak capek, hasil sama,” ujar penjual baslok.

Menurutnya, sekarang lebih sulit melariskan dagangan. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Katanya, orang pada tak punya duit. Saya memaknainya sebagai penurunan daya beli.

***

Minggu dua hari lalu. Setelah pertemuan dengan Kompasianer Efwe di Stasiun Bogor, saya duduk di dekat halte BisKita menunggu kerabat yang akan jalan bareng. Sembari menanti kedatangan mereka, saya memesan kopi.

Bercakap-cakap dengan penjual kopi, yang juga berjualan batagor, saya mendengar ungkapan serupa dengan pedagang sebelumnya: uang sedang susah didapat; penjualan menurun.

Pedagang kecil itu mengatakan, hari Minggu biasanya ramai pembeli. Sekarang sepi. Ia mengira, hanya dirinya mengalami sepi pembeli, ternyata pedagang kecil di sekitarnya mengalami hal yang sama.

Menurut penuturannya, setahun terakhir berlangsung keadaaan sepi. Ia mengukur dari kuantitas salah satu bahan pembentuk batagor. Dulu biasa membeli tepung terigu 10 kilogram per hari, sekarang hanya 3 kilogram sehari. Itu pun kadang tidak habis.

Akhirnya saya memesan batagor, hanya sebagai upaya kecil membantu melariskan dagangan. Rp 5.000 saja. Mborong? Tidaklah! Duit saya juga terbatas.

***

Tak jarang saya membeli penganan atau makanan berat bukan sebab lapar, melainkan turut melariskan barang jualan pedagang kecil yang menghadapi situasi sulit. Pengetahuan tentang kesulitan didapat setelah berbincang dengan mereka.

Membeli juga tidak banyak. Lima ribu sampai sepuluh ribu perak. Jumlah kecil bagi sebagian orang, terutama bagi mereka yang biasa dikawal “tot tot wuk wuk”.

Namun bagi saya, uang tersebut merupakan upaya kecil menggerakkan perputaran modal seorang pedagang kecil. Dengan gembira, mereka menepuk-nepukkan lembaran diterima pada gerobak. Doa pelaris.

Saya tidak ingin menambahkan modal. Kondisi keuangan tidak memungkinkan memfasilitasinya. Lagi pula, pemberian modal kepada suatu usaha memerlukan penelitian cermat tentang peluang dan risikonya.

Memberi referensi ke akses permodalan? Itu bisa berarti bertambahnya kerumitan baru bagi pedagang kecil itu.

Maka, satu hal yang bisa saya lakukan adalah membeli barang dagangan mereka. Hanya dengan sedikit uang, mungkin menjadi awal larisnya barang dagangan. Moga-moga.

Selain itu, dari perbincangan dengan para pedagang kecil di atas, saya mendapatkan sedikit pemahaman:

Dalam skala terbatas, terjadi penurunun daya beli konsumen yang menyurutkan penjualan usaha kecil.Penurunan bisa jadi karena konsumen mengurangi pengeluaran mereka, lantaran hendak mengirit atau sebab kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya.Jumlah pembeli berkurang. Mereka lebih berhati-hati mengeluarkan uang setelah, misalnya, di-PHK. Boleh jadi sebagian konsumen beralih ke lain hati (ke warung lain).Persaingan meningkat, lantaran tumbuhnya usaha sejenis. Mungkin saja mereka yang tadinya berlaku sebagai pembeli, sekarang jadi penjual penganan, nasi, atau kopi.Para pedagang kecil tersebut bertahan, lantaran belum ada sumber penghasilan pengganti.

Tentunya, simpulan tersebut amatlah sederhana. Mengabaikan faktor lebih kompleks yang berpengaruh terhadap penurunan penghasilan pedagang kecil di atas, seperti: perubahan selera; penentuan lokasi; suasana; pilihan menu; pelayanan; hingga dinamika keadaan ekonomi makro.

Jadi artikel ini bukan analisis pakar atau ekonom, melainkan pandangan naif seorang man on the street ketika memaknai perbincangan dengan para pedagang kecil.

Juga bukan generalisasi atau penyamaratan terhadap suatu kedaan. Bahasan bersudut pandang sempit ini hanya memotret keadaan terbatas pada dua tiga pedagang kecil.

Harapan besar saya, semoga bisikan lirih pedagang kecil itu didengar oleh para petinggi di atas sana. Mereka tidak lantas terpinggirkan, berhubung “tot tot wuk wuk” hendak melintas.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar