
Ada sekelompok manusia modern yang—dengan bangga—menamai diri mereka “anak alam”. Mereka berbicara lembut pada pepohonan, memuja sinar matahari dengan mantra ekologi dan menatap bulan seakan di sana tersimpan wahyu yang tak terjamah kitab suci mana pun. Mereka berkata, “Kami tidak menyembah manusia, kami kembali ke alam.” Tapi dari luar, terlihat jelas: mereka hanya mengganti berhala batu dengan berhala dedaunan.
Durkheim pernah menulis dalam The Elementary Forms of Religious Life bahwa agama lahir dari upaya manusia menandai yang sakral dari yang profan. Awalnya, manusia memuja roh di balik petir, batu, dan air terjun—itulah animisme. Namun, seiring berkembangnya kesadaran sosial, manusia menemukan Tuhan yang satu, melampaui benda, melampaui alam.
Monoteisme—bagi Durkheim—adalah puncak rasionalisasi religius: ketika manusia berhenti menyembah ciptaan dan mulai mengakui Sang Pencipta. Maka, bila kini manusia kembali menunduk pada tanah sambil melupakan langit, itu bukan kemajuan spiritual—itu regresi yang disamarkan sebagai pencerahan hijau.
Fenomena back to nature yang mereka agung-agungkan sesungguhnya bukan kesadaran ekologis, tapi nostalgia primitif yang dibungkus kutipan Rumi di Instagram. Mereka menolak industrialisasi, tetapi memakai ponsel untuk memotret kabut pagi yang mereka sembah. Mereka berteriak menentang “hamba-hamba kapital”, tetapi membeli lilin aromaterapi impor untuk ritual kesunyian mereka sendiri. Ironi paling indah dari abad ini: manusia yang merasa suci karena mencium daun, tapi lupa mencium tangan ibunya.

Nietzsche menertawakan manusia semacam ini sebelum mereka lahir. Dalam Thus Spoke Zarathustra, ia menyindir manusia yang menggantikan Tuhan lama dengan Tuhan baru yang lebih halus—kadang berupa “alam”, “energi semesta”, atau “jiwa bumi”. Mereka kira telah melampaui agama, padahal hanya mengganti altar. Nietzsche menyebut ini sebagai “transfigurasi ilusi”, ketika manusia tak sanggup menatap kekosongan eksistensial, lalu mengecatnya hijau agar tampak bermakna.
Di sisi lain, Marx, yang lebih membumi, mungkin akan menepuk bahu mereka dan berkata: “Kalian ini romantisisme borjuis yang tersesat.” Sebab, di balik retorika back to nature, sering tersembunyi keputusasaan kelas menengah yang jenuh oleh kenyamanan modernitas. Mereka tidak sedang mencari Tuhan, mereka hanya sedang bosan dengan Wi-Fi.
Akan tetapi, agama-agama besar selalu mengajarkan: alam adalah tanda, bukan tujuan. Dalam monoteisme, gunung tidak untuk disembah, tetapi untuk dihayati sebagai lambang kekuasaan Sang Pencipta. Air bukan roh, melainkan rahmat. Angin bukan dewa, melainkan pesan pergerakan. Ketika manusia berhenti di daun dan lupa akar metafisisnya, ia kehilangan arah: tubuhnya menyatu dengan tanah, tapi jiwanya tersesat di kabut.
Kita tentu harus menjaga bumi—itu kewajiban, bukan wahyu baru. Namun, memuja alam sebagai pengganti Tuhan sama saja seperti memuja cermin dan melupakan wajah. Di sanalah absurditas back to nature yang keliru: mereka kembali ke alam, tapi tidak kembali ke akal.
Pada akhirnya, manusia yang benar-benar memahami alam justru akan tahu betapa rapuhnya segala ciptaan. Ia akan tunduk bukan pada pepohonan, tapi pada Dia yang menumbuhkan pohon. Ia akan mencintai bumi; bukan karena bumi itu suci, melainkan karena bumi adalah amanah.
Dan mungkin, di tengah dunia yang semakin berisik oleh doa kepada dedaunan, kita perlu satu kalimat yang sederhana, tapi jernih: “Yang menghidupkan alam bukanlah alam itu sendiri.”






