Sabo, JAKARTA-Besok Rabu jatuh tanggal 22 Oktober 2025.
22 Oktober jatuh pada hari Rabu tahun ini. 22 Oktober di Indonesia merupakan perayaan hari nasional.
Tanggal itu diperingati sebagai Hari Santri Nasional di Indonesia. Lantas, apakah Hari Santri Nasional masuk dalam daftar hari libur nasional di Indonesia?.
Sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2025 tidak ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Sisa Hari Libur Nasional Tahun 2025
Mengacu pada SKB Tiga Menteri, sisa hari libur nasional tahun 2025 tinggal dua hari, yang seluruhnya jatuh pada bulan Desember. Berikut rinciannya:
Kamis, 25 Desember 2025: Hari Raya Natal
Jumat, 26 Desember 2025: Cuti Bersama Hari Raya Natal
Sejarah Hari Santri
Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri. Gagasan penetapan hari tersebut berawal dari usulan komunitas pesantren yang ingin menjadikan momen ini sebagai pengingat dan teladan atas peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Usulan awal memicu perdebatan di publik; sebagian pihak mendukung, sementara sebagian lain menyatakan kekhawatiran terkait potensi polarisasi dan masalah pengakuan bagi kelompok non-santri.
Keputusan akhir ada di tangan pemerintah. Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri pada 15 Oktober 2015.
Penetapan tanggal 22 Oktober itu didasarkan pada beberapa pertimbangan resmi.
Pertimbangan pertama merujuk pada peran signifikan para ulama dan santri pesantren dalam perjuangan merebut kemerdekaan, mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia, serta berkontribusi dalam mengisi kemerdekaan.
Pertimbangan kedua ialah pentingnya mengenang, meneladani, dan melanjutkan peran ulama dan santri dalam membela NKRI dan ikut serta dalam pembangunan bangsa.
Pertimbangan ketiga merujuk pada momen historis yang dipandang layak diperingati, yakni ditetapkannya seruan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 oleh ulama dan santri dari berbagai daerah, yang memerintahkan kewajiban mempertahankan tanah air dari serangan penjajah.
Alasan-alasan ini sejalan dengan penjelasan Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Abdul Ghofar Rozin.
Ia menjelaskan bahwa tanggal tersebut mengingatkan pada Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, sebuah ketetapan yang dianggap menggerakkan massa untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Menurut Gus Rozin, peristiwa itu menjadi bagian penting sejarah yang mendorong santri, pemuda, dan masyarakat bergerak bersama melawan pasukan kolonial, dengan puncaknya pada 10 November 1945.
Gus Rozin juga memaparkan bahwa jaringan santri selama ini dianggap berperan dalam menjaga perdamaian dan keseimbangan sosial, serta bahwa tokoh-tokoh kiai memiliki catatan historis yang strategis sejak awal organisasi.
Ia mencontohkan kesadaran para kiai-santri terkait konsep negara yang memberi ruang bagi beragam kelompok, yang menurutnya sudah muncul jauh sebelum kemerdekaan.
Selain itu, Gus Rozin menyatakan bahwa kelompok santri dan kiai berkali-kali berperan menjaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
Dengan latar tersebut, Gus Rozin menegaskan bahwa penetapan Hari Santri bukan sekadar tuntutan kelompok pesantren, tetapi merupakan bentuk penghormatan negara terhadap sejarah pesantren dan kontribusi para kiai serta santri bagi bangsa.
Usulan resmi awal mengenai Hari Santri muncul dari ratusan santri Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, pada 27 Juni 2014 ketika Joko Widodo masih berkampanye sebagai calon presiden.
Pada kesempatan itu, Jokowi menandatangani komitmen untuk mendukung penetapan Hari Santri, awalnya dengan usulan tanggal 1 Muharram.
Seiring waktu, PBNU mengajukan tanggal 22 Oktober sebagai tanggal yang lebih tepat, mengingat hubungan historis tanggal tersebut dengan Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad sendiri dikeluarkan di tengah situasi krusial pada masa dua bulan pertama kemerdekaan, ketika Indonesia menghadapi upaya serangan balik dari pasukan Sekutu.
Dalam catatan sejarah yang dikutip dari karya KH Ng Agus Sunyoto tentang Fatwa dan Resolusi Jihad, fatwa tersebut memuat tiga ketentuan pokok terkait sikap terhadap pihak yang menghalangi kemerdekaan, status orang yang gugur dalam pertempuran melawan pasukan pendudukan, serta sanksi terhadap upaya memecah persatuan.
Ketentuan-ketentuan itu dicatat sebagai bagian dari konteks sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada masa awal kemerdekaan Indonesia dikutip dari NU Online
Dapatkan Informasi lain dari Sabovia saluran Whatsapp di sini
Baca berita Sabolainnya di Google News






