Sabo, JAKARTA — Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menegaskan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus mengalami peningkatan signifikan. Hingga pertengahan Oktober 2025, tercatat 36,7 juta penerima manfaat telah terlayani, dengan proyeksi menembus 40 juta penerima pada akhir bulan ini.
Hal itu disampaikan Dadan usai menghadiri Sidang Kabinet Paripurna 1 Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto–Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di Istana Negara, Senin (20/10/2025) malam.
“Saya waktu itu sempat berjanji kepada Bapak Presiden, di ulang tahun pertama pemerintahan kita akan capai 40 juta penerima manfaat. Hari ini kita sudah 36,7 juta, dan insyaallah 40 juta akan tercapai di akhir Oktober,” ujar Dadan.
Dia menjelaskan, peningkatan jumlah tersebut ditopang oleh pertambahan harian 150–200 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang masing-masing melayani sekitar 450–600 anak penerima manfaat per hari. Dengan tren ini, kata dia, capaian target masih berada di jalur yang realistis.
Dorong Zero Defect dan Penguatan Standar Keamanan
Dadan menegaskan, tahun kedua pelaksanaan MBG akan difokuskan pada penerapan standar “zero defect”, yakni tanpa kesalahan dan bebas kasus gangguan pencernaan.
Untuk itu, BGN telah menetapkan batas rata-rata penerima manfaat per SPPG antara 2.000–2.500 anak, dan dapat diperluas hingga 3.000 jika dapur tersebut memiliki ahli masak bersertifikat.
Setiap SPPG baru akan didampingi oleh juru masak profesional selama lima hari, guna memastikan penerapan SOP kebersihan dan pengolahan pangan berjalan sesuai standar.
“Kami sedang melengkapi seluruh SPPG dengan rapid test untuk menguji bahan baku. Pengalaman Jepang, 90 persen gangguan pencernaan berasal dari kualitas bahan baku. Jadi ini penting agar makanan bisa dites di sekolah sebelum dibagikan,” ujarnya.
BGN juga tengah mengupayakan penyediaan alat sterilisasi food tray di seluruh dapur umum MBG. Dengan alat itu, peralatan makan dapat dikeringkan dalam waktu tiga menit pada suhu 120 derajat Celsius, sehingga menjamin higienitas sebelum digunakan kembali.
Selain bahan makanan, kualitas air turut menjadi perhatian. Menurut Dadan, masih banyak kasus gangguan pencernaan yang bersumber dari penggunaan air yang tidak layak.
“Air yang digunakan harus bersertifikat, minimal air isi ulang yang sudah melalui proses sertifikasi. Karena kualitas air di Indonesia belum merata, ini yang sedang kami kejar,” katanya.
Menjawab Kritik: 3T dan Anak Mampu
Menanggapi kritik bahwa program MBG belum sepenuhnya menjangkau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) serta masih menyentuh anak-anak dari keluarga mampu, Dadan menjelaskan bahwa data prevalensi stunting justru menunjukkan beban terbesar secara absolut berada di tiga provinsi padat penduduk: Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Anak stunting banyak di daerah tertinggal secara persentase, tapi secara jumlah terbesar ada di Jawa. Karena banyak anak lahir dari orang tua dengan pendidikan rata-rata hanya sembilan tahun. Jawa Barat 8,8 tahun, Jawa Tengah 8,01, Jawa Timur 8,1,” ujarnya.
Kondisi sosial ekonomi tersebut, lanjut Dadan, berpengaruh langsung pada akses gizi keluarga. Banyak keluarga di daerah tersebut tidak mampu membeli susu, bahkan sebagian besar anak penerima manfaat baru pertama kali minum susu melalui program MBG.
“Itu hal yang sangat mengharukan, dan menjadi tanggung jawab moral kami. Saat ini MBG baru menjangkau sekitar 40 persen anak Indonesia. Artinya masih ada 60 persen anak yang harus segera kita penuhi haknya untuk mendapatkan menu gizi seimbang,” tegas Dadan.






