Sabo Pemerintah India berencana memangkas beban atau menurunkan pajak konsumsi pada Oktober mendatang.
Langkah pemerintah India menurunkan pajak ini sebagai bagian dari reformasi besar-besaran sistem perpajakan.
Menurut laporan Reuters, Jumat (15/8/2025), kebijakan ini diumumkan hanya beberapa jam setelah Perdana Menteri Narendra Modi menegaskan komitmennya untuk menghidupkan kembali perekonomian nasional yang tengah tertekan akibat konflik dagang dengan Amerika Serikat.
Seorang pejabat senior yang enggan disebutkan namanya menyebutkan, pemerintah federal akan mengajukan skema baru dengan dua lapis tarif, yakni 5 persen dan 18 persen.
Tak hanya itu, pejabat tersebut juga menyebutkan bahwa pemerintah sekaligus menghapuskan tarif 12 persen dan 28 persen yang selama ini berlaku pada sejumlah produk.
Dengan perubahan tersebut, hampir semua barang (99 persen) dalam kategori 12 persen akan turun ke tarif 5 persen.
Kebijakan ini diperkirakan memberi keuntungan besar bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di India, seperti Nestle, Hindustan Unilever, dan Procter & Gamble.
Dampak politik dan ekonomi India turunkan pajak
Rencana reformasi pajak konsumsi ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan dagang antara New Delhi dan Washington.
Pada peringatan Hari Kemerdekaan ke-79 India, Modi menegaskan bahwa penurunan pajak akan dilakukan sebelum perayaan Diwali tahun ini.
Diwali adalah hari raya terbesar bagi umat Hindu di India.
“Diwali kali ini akan menjadi dua kali lipat lebih meriah. Reformasi GST generasi baru akan meringankan beban rakyat,” ujar Modi dalam pidatonya.
Meski keputusan akhir berada di tangan Dewan GST yang terdiri dari Menteri Keuangan pusat dan negara bagian, sejumlah analis telah menghitung potensi dampaknya.
Menurut perkiraan analis Citi, sekitar 20 persen barang seperti makanan dan minuman kemasan, pakaian, serta hotel, saat ini dikenakan pajak GST 12 persen. Barang-barang ini menyumbang sekitar 5–10 persen dari konsumsi masyarakat dan 5–6 persen dari penerimaan pajak GST.
Jika sebagian besar barang itu dipindahkan ke tarif pajak yang lebih rendah (5 persen) dan sebagian lainnya ke tarif lebih tinggi (18 persen), negara bisa kehilangan pendapatan hingga 500 miliar rupee (sekitar Rp 92,7 triliun), atau setara 0,15 persen dari PDB.
Citi menilai, kebijakan ini bisa membuat total stimulus ekonomi bagi rumah tangga pada tahun keuangan 2025–2026 meningkat menjadi 0,6 persen–0,7 persen dari PDB.
Mendorong permintaan pasar dan bursa saham bergeliat
Dilansir dari Kompas.id, Selasa (26/8/2025), sejumlah firma konsultasi ekonomi memprediksi pemangkasan pajak konsumsi tersebut mampu mendorong permintaan pasar senilai 13 hingga 17 miliar dollar AS.
Lonjakan konsumsi ini diyakini akan menggerakkan kembali roda ekonomi India yang sempat tersendat.
Manfaat kebijakan ini dirasakan luas, mulai dari industri rumah tangga hingga korporasi besar.
“Reformasi pajak ini akan memberi kelas menengah India daya beli lebih kuat. Itulah kunci pemulihan ekonomi yang sempat melemah sejak pandemi Covid-19,” ungkap Direktur Keuangan Godrej Consumer Products, Aasif Malbari, kepada Economic Times (1/2/2025).
Sentimen positif terkait rencana reformasi pajak sudah terlihat sejak awal tahun.
Pada Februari lalu, kabar mengenai rancangan undang-undang pajak baru langsung mengangkat kinerja bursa saham nasional.
Saham sektor otomotif mencatat kenaikan rata-rata 2,1 persen, sektor properti naik 3 persen, sementara saham perusahaan layanan pesan-antar makanan Zomato melonjak hingga 7,8 persen.
India berhasil tenangkan kegelisahan masyarakat
Dosen Ekonomi Universitas Global OP Jindal, Deepanshu Mohan, menilai pemotongan pajak konsumsi bukan sekadar kebijakan fiskal, melainkan juga strategi politik Narendra Modi untuk menenangkan kegelisahan masyarakat.
Kebijakan ini hadir di tengah meningkatnya tekanan tarif dari pemerintahan Donald Trump yang memperburuk iklim perdagangan India.
“Ini cara Modi menunjukkan bahwa pemerintah tetap hadir di sisi rakyat. Walaupun ada tekanan dari luar negeri, kepentingan masyarakat tetap diprioritaskan,” ujar Mohan.
Namun, ia menambahkan, pengakuan Modi sekaligus menandakan pemerintah menyadari kondisi ekonomi kelas menengah sebenarnya sudah lama tidak baik-baik saja.
Hal inilah yang membuat sebagian masyarakat menyambut aturan baru, sementara sebagian lain kecewa karena langkah tersebut baru diambil sekarang.









