Sabo Ketegangan di Tepi Barat kembali memanas setelah buldoser Israel mencabut ratusan pohon zaitun di desa al-Mughayyir, dekat Ramallah.
Pohon-pohon zaitun yang menjadi sumber ekonomi sekaligus simbol budaya masyarakat Palestina, diratakan dengan alasan keamanan militer.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Arab News, militer Israel menyatakan pencabutan ratusan dilakukan sebagai bagian dari “aktivitas operasional intensif” setelah terjadi serangan penembakan terhadap warga Israel di wilayah tersebut.
Pohon-pohon yang berada di lahan pertanian warga Palestina itu dianggap dapat dimanfaatkan sebagai lokasi persembunyian Hamas.
Namun, warga Palestina dan sejumlah LSM menilai langkah tersebut bukan semata-mata alasan keamanan.
Mereka menyebut tindakan itu merupakan bagian dari strategi Israel untuk mengosongkan lahan pertanian, sehingga wilayah tersebut lebih mudah dikendalikan atau dialihkan kepada pemukim Israel.
“Tujuannya adalah mengendalikan dan memaksa orang-orang untuk pergi. Ini baru permulaan, ini akan meluas ke seluruh Tepi Barat,” ucap pemimpin asosiasi pertanian setempat, Ghassan Abu Aliya.
Selain faktor keamanan dan penguasaan lahan, pencabutan pohon zaitun juga berdampak pada aspek ekonomi dan budaya.
Zaitun Jadi Nadi Ekonomi Warga
Zaitun selama ini menjadi komoditas utama dan simbol identitas masyarakat Tepi Barat khususnya al-Mughayyir.
Data dari lembaga pertanian Palestina menunjukkan sekitar 48 persen lahan pertanian di Tepi Barat ditanami zaitun.
Diperkirakan ada lebih dari 10 juta pohon zaitun yang tumbuh di Tepi Barat, dengan kontribusi mencapai 14 persen dari perekonomian sektor pertanian Palestina.
Setiap tahun, wilayah ini mampu memproduksi 20.000 hingga 25.000 ton minyak zaitun, yang sebagian besar digunakan untuk kebutuhan lokal, sementara sisanya diekspor ke pasar internasional.
Produksi tersebut menopang kehidupan lebih dari 100.000 keluarga petani yang menggantungkan hidup pada panen zaitun.
Bagi mereka, zaitun bukan hanya komoditas, melainkan warisan turun-temurun yang melambangkan ketahanan dan keterikatan dengan tanah leluhur.
Namun, konflik berkepanjangan dengan Israel membuat sektor ini rentan. Kebun-kebun zaitun kerap menjadi sasaran penggusuran atau perusakan, terutama di desa-desa dekat pemukiman Israel.
Kondisi ini bukan hanya mengancam perekonomian warga, tetapi juga memutus ikatan budaya yang telah terjaga selama ratusan tahun.
Hilangnya kebun zaitun berarti hilangnya sumber penghidupan, sekaligus melemahkan ikatan masyarakat dengan tanah leluhur mereka.
“Pohon zaitun adalah pohon kehidupan bagi kami. Dari sini kami makan, berdagang, dan mewariskan sejarah keluarga,” ujar seorang petani di Ramallah, menggambarkan arti penting zaitun dalam kehidupan sehari-hari.
Israel Tangkap Warga al-Mughayyir
Selain menggusur ratusan pohon zaitun, Militer Israel pada akhir pekan lalu menyatakan telah menangkap seorang pria asal desa al-Mughayyir, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan teroris terhadap warga Israel.
Penangkapan ini dilakukan dalam operasi keamanan yang disebut Israel sebagai “aktivitas operasional intensif” setelah terjadi penembakan serius di dekat desa.
Militer tidak menyebutkan identitas pria yang ditahan, kendati demikian mereka menegaskan pria yang ditangkap telah ditetapkan sebagai pelaku utama serangan.
Ketegangan di al-Mughayyir sendiri sudah meningkat sejak beberapa hari sebelumnya.
Pada 16 Agustus, Otoritas Palestina melaporkan seorang pemuda berusia 18 tahun tewas ditembak tentara Israel di desa tersebut.
Militer Israel mengklaim pasukannya menanggapi lemparan batu oleh “teroris”, namun tidak secara langsung menghubungkan insiden itu dengan kematian remaja tersebut.
Imbas kekerasan ini, sejak 7 Oktober 2024 setidaknya 971 warga Palestina termasuk militan dan warga sipil telah dibunuh oleh tentara atau pemukim Israel di Tepi Barat, menurut angka AFP berdasarkan data Otoritas Palestina.
(Sabo/ Namira)









