SEPUTAR CIBUBUR– Papua tidak hanya dikenal dengan kekayaan budaya dan bentang alamnya yang menakjubkan, tetapi juga menyimpan misteri satwa unik yang jarang ditemui di belahan dunia lain.
Salah satunya adalah burung pitohui, yang tercatat sebagai salah satu burung paling beracun di dunia.
Keberadaan burung ini menambah daftar panjang keanekaragaman hayati Papua yang membuat para peneliti terus tertarik untuk menggali lebih jauh rahasia yang tersimpan di hutan tropis kawasan timur Indonesia.
Penemuan yang Mengejutkan
Burung pitohui pertama kali menarik perhatian ilmuwan pada awal 1990-an. Peneliti menemukan bahwa bulu dan kulit burung ini mengandung racun berbahaya.
Fakta ini mengejutkan, sebab burung pada umumnya tidak memiliki sistem pertahanan berupa racun seperti reptil atau serangga.
Sejak saat itu, pitohui dikenal sebagai satu dari sedikit burung beracun yang tercatat di dunia.
Racun Batrachotoxin
Jenis racun yang terdapat pada burung pitohui dikenal sebagai batrachotoxin. Racun ini sama dengan yang ditemukan pada katak beracun di Amerika Selatan.
Batrachotoxin bekerja dengan mengganggu sistem saraf, membuat saraf tidak bisa mengirimkan sinyal ke otot sehingga berpotensi menyebabkan kelumpuhan hingga kematian.
Pada pitohui, racun ini terkonsentrasi di bulu dan kulit. Ketika disentuh atau digigit predator, racun dapat masuk ke tubuh dan menimbulkan efek berbahaya.
Meski tidak mematikan bagi manusia jika hanya menyentuh secara singkat, kontak langsung dapat menimbulkan sensasi mati rasa, gatal, atau terbakar pada kulit.
Ciri-ciri Burung Pitohui
Pitohui memiliki tampilan yang cukup mencolok. Ukurannya sedang, dengan panjang tubuh sekitar 20–25 sentimeter.
Bulunya berwarna hitam dan jingga terang, membuatnya mudah dikenali di antara lebatnya hutan Papua.
Suaranya merdu dan sering terdengar di pagi hari. Ada beberapa spesies pitohui, namun yang paling beracun adalah Pitohui Hooded (Pitohui dichrous).
Masyarakat lokal sebenarnya sudah lama mengenal sifat “beracun” burung ini. Mereka menyebutnya sebagai burung yang tidak layak dikonsumsi.
Pengetahuan lokal inilah yang kemudian dikonfirmasi oleh penelitian ilmiah modern.
Asal Usul Racun
Menariknya, pitohui sebenarnya tidak memproduksi racun sendiri. Racun batrachotoxin diyakini berasal dari serangga kecil seperti kumbang Choresine yang menjadi bagian dari makanannya.
Sama seperti katak beracun di Amerika Selatan yang mendapatkan toksin dari diet alaminya, pitohui mengakumulasi racun melalui asupan makanan di habitatnya.
Inilah yang menjelaskan mengapa hanya burung-burung di wilayah tertentu yang beracun.
Fungsi Racun Bagi Pitohui
Racun berfungsi sebagai sistem pertahanan alami. Dengan bulu dan kulit yang beracun, predator seperti ular atau burung pemangsa enggan mendekati.
Warna bulunya yang kontras juga diduga sebagai sinyal peringatan (aposematisme) kepada hewan lain untuk tidak mengusiknya. Strategi ini cukup efektif dalam menjaga kelangsungan hidup burung pitohui di alam liar.
Burung yang Menjadi Simbol Keanekaragaman Papua
Keberadaan burung pitohui menegaskan betapa uniknya ekosistem Papua. Hutan hujan tropis yang luas dan sulit dijangkau menyimpan banyak misteri, termasuk satwa dengan mekanisme pertahanan yang tidak biasa.
Pitohui bukan hanya menarik bagi ilmuwan, tetapi juga menjadi simbol betapa pentingnya melestarikan habitat Papua yang terus terancam oleh deforestasi dan aktivitas manusia.
Bagi masyarakat lokal, burung ini memiliki tempat tersendiri dalam tradisi. Mereka menghormatinya sebagai satwa liar yang tidak boleh dimakan, sekaligus bagian dari keseimbangan alam.
Pengetahuan tradisional tersebut kini selaras dengan temuan ilmiah yang menegaskan bahayanya mengonsumsi burung ini.
Walaupun beracun, pitohui tetap memainkan peran penting dalam ekosistem hutan Papua. Ia membantu menjaga keseimbangan rantai makanan dengan memangsa serangga tertentu.
Karena itu, keberadaan burung ini tidak boleh dianggap remeh. Upaya konservasi habitat di Papua perlu diperkuat agar satwa unik seperti pitohui tetap lestari.***