Free Gift

Dari Fotografer Keliling Jadi Penjaga Mata Air Agar Tetap Mengalir

Sabo–Hari itu matahari terasa terik. Namun udara di Kebon Taman Tirto terasa sejuk. Di bawah naungan pepohonan, keluarga Dimas Adhi Surya (50) menikmati teduh di pondok dapur sederhana yang mereka bangun tujuh tahun lalu.

Tempat ini sering disangka kafe alam karena suasananya yang asri. Padahal Kebon Taman Tirto berdiri di atas tanah seluas 2.500 meter persegi di wilayah Kasihan, Bantul, hasil dari tekad Dimas dan istrinya, Rina, untuk hidup dari bumi.

Pasangan ini dulu bekerja sebagai fotografer dan videografer yang sering berpindah kota. Saat itu muncul pertanyaan yang terus mengganggu pikiran mereka.

“Sebenarnya apa kebutuhan hidup manusia? Jika makan, mengapa tidak membuat pangan sendiri?” kata Dimas mengingat masa lalu.

Pertanyaan itu menjadi titik balik. Mereka menjual perhiasan, kamera, dan mobil untuk membeli tanah di Taman Tirto.

Dimas menuturkan, tanah yang mereka garap merupakan tanah kas desa yang disewa. Sementara sisi tebing pemukiman mereka beli secara mencicil dengan harga Rp656 juta.

Pengorbanan itu berbuah penemuan yang tidak terduga. Di lahan yang mereka garap, muncul dua mata air yang terus mengalir, bahkan di musim kemarau.

Sejak saat itu, niat bertani berkembang menjadi misi pelestarian sumber air. “Kami ingin mengembalikan apa yang menjadi hak bumi,” ujarnya.

Dimas mengenang awal perjumpaan dengan mata air itu. Saat membeli rumah di sisi atas lahan, ia memperhatikan munculnya air bersih di bawah tebing samping rumah. Setelah diikuti alirannya, ternyata berasal dari dua pancuran alami yang tidak pernah berhenti mengalir.

“Tempat ini kami namai Kebon Taman Tirto karena berada di Kelurahan Taman Tirto,” jelasnya. “Seharusnya dulu ada taman dan air, tapi area terbuka hijau tak ada, tembok bangunan semua,” tambahnya.

Warga sekitar sempat tidak percaya ketika Dimas mengajak mereka membersihkan area mata air dari semak belukar.

“Mereka mengira mata air itu sudah tertutup,” katanya. Namun seorang warga berusia sekitar 80 tahun bernama Rukiyo datang membantu. Ia menyumbangkan semen dan bercerita tentang masa lalu sendang itu.

“Dia bilang tiga mata air itu dinamakan Sendang Putri dan Sendang Putra karena perempuan mandi dan membawa gentong di Sendang Putri, sedangkan laki-laki di Sendang Putra,” ungkap Dimas.

Seiring waktu, mata air tersebut terlupakan oleh generasi muda setelah masa Rukiyo.

Pada 2016, Dimas sempat mengetahui ada perusahaan air kemasan yang datang mengambil sampel air dari lokasi itu. Hasilnya menunjukkan kualitas air yang baik, namun warga menolak rencana pembelian tanah oleh perusahaan tersebut.

Kini dua mata air di Kebon Taman Tirto terbuka untuk umum. Warga boleh mengambil air minum menggunakan galon tanpa biaya. Dimas dan keluarganya sudah sepuluh tahun tidak membeli air kemasan.

“Membeli air berarti membeli sampah plastiknya. Lebih baik kita membawa tumbler dan tidak malu meminta air. Siapa pun boleh ambil air di sini,” ujarnya.

Setiap tanggal 29 Juli, Dimas memperingati hari ditemukannya mata air sebagai Hari Mata Air. Ia menilai perayaan itu sebagai bentuk syukur dan pengingat tanggung jawab manusia terhadap bumi.

“Mata air itu pemberian dari ibu bumi kami, kami rawat sejauh kami mampu,” ucapnya. (MG Sofia Natalia Zebua)

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar