Free Gift

Dari Pijat ke Akupuntur: Perjalanan Mencari Kesembuhan Tanpa Obat Kimia

Saya tidak pernah menyangka, rasa nyeri di kaki kanan bisa bertahan selama itu.

Awalnya hanya pegal sepulang kerja. Saya kira akibat terlalu lama berdiri. Tapi dua minggu berlalu, rasa sakitnya justru makin tajam seperti ada duri kecil yang menusuk dari dalam tulang.

Tiga kali saya ke tempat pijat refleksi langganan. Tukang pijatnya bilang, “Ini cuma masuk angin, Mba, kayaknya kecapean deh. Nanti juga hilang.”

Setiap kali selesai dipijat, saya memang merasa sedikit lega. Tapi keesokan harinya, nyerinya kembali bahkan lebih dalam.

Malam-malam menjadi ujian. Setiap kali berbaring, rasa sakit itu seperti bergerak dari betis ke lutut. Saya tak bisa tidur nyenyak. Anak saya yang sulung beberapa kali menangis melihat mamahnya tidak bisa berjalan seperti biasanya. “Mamah sakit lagi, ya?” tanyanya pelan, sambil memegang kaki saya. Pertanyaan polos itu justru membuat dada saya sesak. Akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk ke dokter.

Angka 5,9 yang Mengubah Cara Pandang

Setelah pemeriksaan laboratorium, dokter berkata pelan, “Kadar asam urat ibu 5,9. Sudah mendekati enam. Ini gejala awal. Kalau dibiarkan bisa parah.”

Saya terdiam. Dokter memberi resep obat dan daftar pantangan makanan. Tempe dan tahu dua makanan favorit saya masuk dalam daftar “haram.”

Saya menatap lembar itu lama sekali. Aneh rasanya, makanan yang selama ini saya anggap sehat justru jadi musuh tubuh sendiri. Obat pun saya minum dengan disiplin. Tapi seminggu, dua minggu, tiga minggu… nyeri itu tak juga pergi.

Setiap langkah menjadi perdebatan antara rasa sakit dan keinginan untuk sembuh. Saya mulai ragu: apakah benar ini gejala asam urat, atau ada hal lain yang terlewat?

Perjalanan ke Bandung: Mencari Sembuh, Bukan Sekadar Obat

Suatu malam, saya teringat pengalaman beberapa tahun lalu. Saya pernah jatuh dari motor dan hampir tidak bisa berjalan. Saat itu, terapi akupuntur di Bandung menyelamatkan saya. Saya berpikir, mungkin ini saatnya kembali bukan karena tak percaya dokter, tapi karena ingin memberi tubuh kesempatan lain: sembuh dengan cara alami.

Kebetulan kini ada Whoosh, kereta cepat Jakarta-Bandung. Saya pun nekat berangkat siang dan pulang malam. Hanya demi satu tujuan: mencari kesembuhan.

Kurang dari satu jam, saya tiba di kota yang dulu pernah memulihkan langkah saya.

Jarum, Rasa Takut, dan Keajaiban Tubuh

Tempat akupuntur itu masih sama. Sederhana, dengan aroma herbal menyambut dari pintu masuk. Sinshe yang menangani saya menatap kaki kanan sebentar, lalu berkata pelan, “Ini bukan asam urat. Ini ototmu yang menegang. Kamu sering minum dingin dan mandi malam, ya?” Saya mengangguk, agak kaget. Kebiasaan itu memang saya lakukan hampir setiap hari.

“Itu penyebabnya,” lanjutnya. “Dingin membuat aliran darahmu lambat. Ototmu membeku, bukan sendimu yang bermasalah.”

Ia menyiapkan lima jarum kecil tiga ditusukkan di tangan, dua di betis. Awalnya menegangkan, tapi perlahan rasa takut itu berubah jadi tenang. Tubuh saya seperti berdialog dalam diam. Ada aliran hangat menjalar dari kaki ke punggung, lalu menenangkan kepala.

Satu jam berlalu. Saat jarum dilepas, saya mencoba berdiri. Anehnya, kaki kanan saya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam sebulan, saya bisa melangkah tanpa meringis.

Mendengarkan Tubuh Sendiri

Dalam perjalanan pulang, saya termenung di kursi Whoosh yang melaju cepat. Saya baru sadar, selama ini saya memaksa tubuh untuk diam. Saya menelan obat dengan harapan semua akan hilang secepatnya. Padahal mungkin tubuh saya hanya butuh waktu, perhatian, dan keseimbangan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), akupuntur telah diakui sebagai terapi pelengkap untuk lebih dari 30 jenis penyakit, termasuk nyeri sendi, gangguan saraf, dan stres kronis (WHO Traditional Medicine Strategy, 2023).

Sementara itu, penelitian dari Universitas Padjadjaran (2022) menunjukkan bahwa akupuntur dapat membantu menurunkan kadar asam urat dengan memperlancar sirkulasi darah dan metabolisme purin dalam tubuh.

Dua data itu membuat saya yakin: apa yang saya alami bukan sekadar sugesti. Ada sains di balik keseimbangan tubuh. Meski begitu, saya tidak ingin menafikan peran medis modern. Dokter dan sinshe bekerja di dua sisi yang berbeda, tapi tujuannya sama: mengembalikan fungsi tubuh secara optimal.

Saya belajar satu hal penting: tubuh manusia tidak selalu bisa dipaksa sembuh dengan cepat. Ada proses alami yang perlu dihormati.

Kesembuhan yang Tak Hanya Fisik

Kini, setiap langkah tanpa nyeri terasa seperti hadiah kecil. Saya tidak lagi membandingkan obat kimia dengan terapi tradisional. Keduanya punya tempat masing-masing. Hal yang penting adalah mendengarkan tubuh bukan memaksanya untuk patuh.

Kesembuhan ternyata bukan sekadar hasil dari resep dokter atau ramuan herbal. Kadang, ia muncul saat kita mau berhenti sejenak, mendengarkan napas sendiri, dan percaya bahwa tubuh punya kemampuan untuk pulih asal diberi kesempatan.

Saya pun belajar mengubah kebiasaan: tidak lagi minum es setiap malam, membatasi mandi larut, memperbanyak air putih, dan memberi waktu istirahat bagi kaki yang lelah. Hasilnya tidak instan, tapi nyata.

Bandung dan Kesempatan Kedua

Saya kembali ke Bandung bukan hanya mencari terapi, tapi juga menemukan makna baru: Bahwa kesembuhan tidak selalu datang dari luar, kadang dari keberanian untuk percaya pada tubuh sendiri.

Bandung, dengan udara sejuk dan jarum-jarum kecilnya, kembali mengingatkan saya bahwa setiap langkah bebas nyeri adalah bentuk syukur yang nyata. Kini, setiap kali kaki saya melangkah tanpa sakit, saya tahu: yang sembuh bukan hanya otot, tapi juga cara pandang saya terhadap diri sendiri.

Tulisan ini bukan promosi atau anjuran meninggalkan pengobatan medis. Setiap tubuh punya kondisi berbeda. Konsultasikan selalu dengan dokter sebelum menjalani terapi alternatif. Saya hanya ingin berbagi pengalaman bahwa kadang, mendengarkan tubuh sendiri adalah langkah pertama menuju kesembuhan yang sesungguhnya.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar