Free Gift

Daur Ulang,Daya Ulang Sardiman

DARI limbah rumah tangga, Sardiman dan tim menciptakan karya seni daur ulang berskala monumental, diburu rekor dan sarat pesan lingkungan. 

Pagi itu, langit Merapi tampak bersih. Angin semilir menyapa lembut lereng-lerengnya, membawa kesejukan yang khas.

Di Kampung Kalimasada, Kampung Literasi dan Masyarakat Sadar Budaya di kawasan Pakem, Sleman, suasana tampak tenang. 

Namun di balik keheningan itu, sejumlah seniman tengah bergulat dengan ide dan bahan limbah. Mereka bekerja dalam diam, penuh ketekunan, dari pagi hingga larut malam.

Salah satu seniman itu adalah Sardiman, atau yang akrab disapa Sardi Beib.

Di rumah joglonya yang disulap menjadi studio kerja dan tempat berkumpul para seniman, ia bersama delapan seniman lainnya tengah menggarap karya monumental untuk sebuah acara besar bertajuk Remember November yang akan digelar di Gambir Expo, Jakarta, 20–22 November mendatang.

“Kami sedang mempersiapkan berbagai instalasi seni dari limbah plastik rumah tangga,” ujar Sardiman saat ditemui di Padhepokan Wayang Kristal studionya di Kalimasada.

Pameran tersebut mengangkat tema Keistimewaan Jogja, memamerkan ikon budaya dan alam Yogyakarta dalam balutan karya seni daur ulang yang sarat filosofi.

Tiga Karya, Satu Pesan: Bijak Bersampah 

Di pameran tersebut, Sardiman menampilkan tiga karya utama. Pertama, lukisan ukiran sepanjang 20 meter setinggi 1,22 meter yang dibuat dari 800 botol plastik bekas berukuran 1,5 liter.

Lukisan ini dibuat dalam delapan segmen terpisah agar mudah dibongkar pasang dan diangkut. Ia menamakannya Garis Imajiner Sumbuh Filosofi Kota Jogja. 

Lukisan ini menggambarkan garis imajiner filosofis yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu Jogja, hingga Gunung Merapi.

 “Ini bukan sekadar lukisan, tapi gambaran tentang hubungan spiritual dan budaya kota Jogja,” jelasnya.

Karya kedua adalah miniatur Tugu Jogja setinggi tiga meter, terbuat dari rangka besi beton yang dilapisi ukiran dari botol plastik bekas. 

“Tugu ini simbol ikonik Jogja, jadi penting untuk kita hadirkan di pameran sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal,” kata Sardiman.

Karya ketiga adalah sepasang busana pengantin Jawa dari sampah anorganik, terutama tas kresek dan botol plastik.

Baju pria dan wanita dipasang pada manekin, dihiasi ukiran berbentuk anggrek, kupu-kupu, dan tanaman rambat.

 “Filosofinya adalah bagaimana limbah bisa dikreasikan menjadi sesuatu yang anggun dan penuh makna,” ujar pria, mantan pegawai LIPI yang mengundurkan diri dari PNS karena ingin menekuni dunia seni yang sudah mendarah daging sejak kecil.

Daur Ulang Bernilai Tinggi 

Semua karya dibuat dari limbah rumah tangga, terutama plastik sekali pakai.

“Sampah yang sering dianggap tak berguna, kami ubah menjadi karya bernilai seni tinggi,” katanya. 

Menurutnya, pendekatan ini bukan hanya soal estetika, tetapi juga bentuk kampanye sunyi tentang lingkungan dan budaya.

“Kami ingin menyampaikan pesan bahwa budaya Jawa, dan budaya Nusantara pada umumnya, bisa selaras dengan gaya hidup ramah lingkungan,” katanya.

 “Setiap suku bisa menciptakan karya dari limbah—entah orang Batak, Dayak, Bali, Papua, semuanya bisa mengekspresikan nilai-nilai budayanya melalui daur ulang.”

Bagi Sardiman, makna sampah telah bergeser.

“Dulu dianggap kotor dan harus dibuang. Sekarang, saya melihat sampah sebagai sumber daya yang bisa diperbarui, bahkan lebih lestari dibanding batu bara atau minyak bumi,” katanya.

Sejak 2011, Sardiman telah aktif menciptakan karya dari limbah, mulai dari topeng dan patung dari kertas, lukisan relief dari sampah, wayang dari botol plastik, hingga kostum pertunjukan dari kain perca dan tas kresek. 

Kini, ia bermimpi menciptakan patung Komodo dari sampah untuk dijual di kawasan wisata Pulau Komodo, dan karya seni lainya seperti topeng  dari limbah yang punya nilai edukasi dan ekonomi.

Namun, yang paling penting bagi Sardiman bukanlah pengakuan atau royalti.

“Saya tidak ingin mematenkan karya ini. Saya ingin membagikannya. Ilmu dan kreativitas dari limbah harus diwariskan agar masyarakat lain bisa mengikuti dan mengembangkannya,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pentingnya edukasi lingkungan sejak dini.

“Banyak masyarakat belum menyadari bahwa sampah bisa jadi sumber ekonomi dan budaya. Ini yang ingin saya ubah lewat karya-karya ini,” tegasnya.

Karya monumental ini tentu tak dikerjakan sendiri. Sardiman bekerja bersama tim yang terdiri dari para seniman lokal seperti Daldiyono, spesialis liong dan barongsai yang dua kali memecahkan Rekor MURI.

Kegiatannya pun mendapat dukungan para seniman lainnya serta para pegiat budaya dari Kalimasada, seperti Budi Sarjono (seniman rupa), Prof. Aprianus Salam (akademisi seni), Junaidi (seniman batik), Rita (seniman keramik), dan Bagong Subarjo (pelukis dan kurator).

“Kami semua punya semangat yang sama, menyatukan seni, budaya, dan kepedulian lingkungan dalam satu karya,” ujar Sardiman.

Seni sebagai Jalan Hidup 

Bagi Sardiman, seni adalah jalan hidup sekaligus jalan perubahan.

 “Kalau karya ini bisa menggerakkan satu-dua orang untuk berubah, itu sudah cukup berarti buat saya,” ujarnya pelan, namun mantap.

Ia menutup percakapan dengan satu pesan penting.

“Mari bijak bersampah. Karena sampah, jika dikelola dengan benar, bisa menjadi karya seni, sumber ekonomi, dan cara kita menjaga budaya serta lingkungan. Jangan buang kreativitas kita bersama limbah.”

Karya Sardiman dan tim bukan sekadar instalasi seni. Ia adalah ajakan terbuka untuk mengubah pola pikir kita terhadap sampah,bukan sebagai beban, tapi sebagai potensi. Karena di tangan yang tepat, bahkan limbah pun bisa jadi warisan budaya.

Penulis, Yustinus Ade Stirman, Penyuluh Lingkungan Ahli Muda, Pusat Pengendalian Dampak Lingkungan Jawa.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar