Free Gift

Deepfake ‘Skandal Smanse’: Ada 30 Korban, 1.100 Fail Rahasia Terbongkar

jateng.Sabo, SEMARANG – Kasus video hasil rekayasa digital atau deepfake ‘Skandal Smanse’ yang menyeret guru perempuan, siswi, dan alumni SMA Negeri 11 Semarang terus bergulir.

Pengacara korban Jucka Rajendhra Septeria Handhry mengungkapkan bahwa jumlah korban dalam kasus ini mencapai sekitar 30 orang.

“Yang kami tahu sampai dengan saat ini masih sekitar 30-an. Yang telah menunjuk kami sebagai kuasa hukum sudah ada 15 orang,” kata Jucka kepada wartawan di Kota Semarang, Rabu (22/10).

Dia menyebut hasil penelusuran, ditemukan lebih dari 1.100 fail tersimpan di media penyimpanan komputer pelaku yang bernama Chiko Radityatama Agung Putra, mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) yang juga alumni SMA 11 Semarang itu.

“Untuk 1.100 itu kami belum tahu bentuknya editan atau apa, karena itu hanya diketahui dari fail Google Drive yang isinya ada 1.100 foto. Kami belum tahu apakah masih mentah atau sudah diedit, dan apakah akan disebarluaskan kembali atau tidak,” ujarnya.

Jucka menjelaskan korban berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari siswi aktif, alumni SMA 11 Semarang, hingga guru, bahkan beberapa di antaranya dari sekolah lain di Kota Semarang.

Dari 15 korban yang sudah menunjuk dirinya sebagai kuasa hukum, sebagian besar masih berusia antara 16 hingga 19 tahun.

“Yang 16 tahun itu masih siswi aktif,” tutur Jucka.

Kini, pihaknya membuka kesempatan bagi siapa pun yang merasa menjadi korban untuk mendapatkan pendampingan hukum tanpa biaya.

“Kami terbuka untuk mendampingi para korban secara gratis,” kata Jucka.

Setelah viral, dia menyebut patroli siber Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah menemukan unggahan foto dan video hasil rekayasa wajah korban di platform media sosial X pada 15 Oktober 2025.

“Beberapa korban telah mendapatkan panggilan klarifikasi, dan pada Senin (20/10), kami mendampingi mereka untuk memberikan keterangan atau BAP di Direskrimsiber Polda Jateng. Saat ini kami tinggal menunggu penyelidikan lebih lanjut,” ujarnya.

Jucka menilai tindakan pelaku merupakan bentuk kekerasan seksual berbasis digital yang tidak hanya melanggar etika, tetapi juga merupakan tindak pidana serius.

“Ini adalah kejahatan yang mencemari martabat manusia. Kekerasan seksual berbasis digital menimbulkan dampak traumatis yang mendalam bagi korban, tidak hanya dari sisi psikologis, tetapi juga sosial dan reputasional,” ujarnya.

Menurutnya, perbuatan Chiko telah melanggar dua undang-undang, yakni UU ITE Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 35 serta UU Pornografi, Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) huruf D.

“Korban harus menghadapi stigma, tekanan sosial, bahkan ancaman dunia maya yang berpotensi berkepanjangan,” ujarnya.

Jucka meminta penyidik Polda Jateng menindak tegas dan transparan tanpa intervensi, terutama karena diketahui kedua orang tua pelaku merupakan anggota kepolisian.

“Saya tidak peduli latar belakang pelaku apa. Yang jelas keadilan harus tetap ditegakkan. Tidak ada yang bisa menormalisasi atau membenarkan perilaku pelaku meskipun dia anak polisi,” tuturnya.

Selain mendorong proses hukum, Jucka juga menyoroti sikap pihak sekolah yang dinilai tidak berpihak kepada korban.

Menurutnya, Kepala SMAN 11 Semarang Rr Tri Widiyastuti justru memberi ruang klarifikasi tertutup bagi pelaku di dalam ruangan, bukan di hadapan publik sebagaimana dijanjikan kepada para siswa dan alumni.

“Dari situ korban merasa kecewa dan akhirnya datang kepada kami untuk menindaklanjuti kasus ini secara hukum,” ujarnya.

Sebagai alumni SMA 11 Semarang, Jucka menilai kepala sekolah harus dimintai pertanggungjawaban moral atas penanganan yang dianggap tidak sensitif terhadap korban.

Dia mendesak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah turun tangan mengawasi proses penyelesaian kasus ini.

“Kami ingin kasus ini menjadi pelajaran, bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi seluruh siswi dan guru, bukan tempat di mana korban justru merasa dikhianati,” tuturnya.

Kasus ini bermula, beredarnya video di media sosial yang menampilkan Chiko Radityatama Agung Putra meminta maaf kepada pihak SMAN 11 Semarang.

Dalam video klarifikasinya yang diunggah akun Instagram @sma11semarang.official, dia mengakui telah mengedit foto wajah siswi dan guru perempuan SMAN 11 Semarang menjadi video tak senonoh menggunakan aplikasi berbasis AI.

Lelaki yang diketahui tinggal di Asrama Polisi (Aspol) Kabluk, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang itu mengakui perbuatannya telah mencemarkan nama sekolah melalui konten berjudul ‘Skandal Smanse’ yang diunggah di akun media sosial X (Twitter) miliknya.(ink/jpnn)

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar