Free Gift

Demokrasi Subur dan Politik Jenuh

Oleh: Baso Affandi, SH.

Pagi ini, kopi hitam terasa lebih pahit dari biasanya. Bukan karena gula yang terlupa, tapi karena obrolan tak terduga yang datang bersamaan dengan beberapa tamu, mereka membawa map tebal berlogo baru, menawarkan gagasan segar yang katanya akan ‘menyelamatkan negeri’.

Rupanya, satu lagi partai politik baru akan lahir, menambah deretan panjang bendera-bendera yang mengibarkan semangat perubahan. Namun di benak saya, muncul satu pertanyaan sederhana tapi tajam, apakah demokrasi kita sedang tumbuh subur, atau justru mulai jenuh dengan partai politik?

Bisa dikategorikan sebagai ledakan Partai Baru Menuju Pemilu 2029

Fenomena munculnya banyak partai baru menjelang Pemilu 2029 bukanlah kejutan, melainkan pola berulang dalam siklus periodik lima tahun. Begitu pintu pendaftaran dibuka, puluhan entitas politik bermunculan, ada yang digagas anak muda penuh idealisme, ada pula yang diprakarsai mantan pejabat yang sedang mencari panggung baru.

Secara sosiologis, ini menandakan energi demokrasi masih menyala, ruang aspirasi belum tertutup, gairah partisipasi masih hidup. Namun dari sisi politik praktis, ledakan jumlah partai justru mengancam efektivitas sistem presidensial kita.

Dalam sistem presidensial, stabilitas pasca pemilu bergantung pada kemampuan membangun koalisi yang solid. Terlalu banyak partai akan memecah suara dan melahirkan kabinet yang gemuk tapi rapuh. Sejarah Pemilu 1999 dan 2004 sudah membuktikan bahwa demokrasi yang terlalu ramai sering kali kehilangan arah dan efisiensi.

Sekalipun konstitusi menjamin setiap warga negara untuk berserikat dan mendirikan partai politik (Pasal 28E ayat (3) UUD 1945). Hak ini adalah napas kebebasan politik kita. Namun, kebebasan yang tak diimbangi tanggung jawab sistemik dapat menimbulkan kebisingan demokrasi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebenarnya telah memberi pagar administratif yang menegaskan bahwa partai harus punya struktur di seluruh provinsi dan anggota di mayoritas kabupaten-kota.

Namun yang sering kita saksikan, banyak partai baru justru lahir tanpa basis ideologi atau sosial yang kuat, mereka hanya sekadar kendaraan bagi figur politik yang “pindah kapal” setelah gagal di partai lama. Secara hukum mereka sah, tetapi secara etik, itu menunjukkan kemiskinan kelembagaan dan loyalitas ideologis.

Sebelumnya, Samuel P. Huntington (1968) menyebut bahwa demokrasi yang matang diukur dari institusionalisasi partai, bukan dari banyaknya partai. Artinya, partai harus berakar, stabil, dan memiliki identitas ideologis yang jelas.

Indonesia tampaknya masih berada di fase demokrasi elektoral, hidup pada euforia pemilu, tapi belum sampai pada kedewasaan kelembagaan. Partai sering dibangun seperti start-up politik, cepat lahir, cepat populer, cepat hilang.

Saat ini, Demokrasi kita lebih kuantitatif daripada kualitatif. Kita sibuk melahirkan partai, tapi lupa memperkuat fungsinya sebagai sekolah politik rakyat. Dalam bahasa sederhana yang mudah dipahami semua kalangan hanya sebatas kita pandai membangun kapal, tapi belum sanggup memperbaiki pelabuhan.

Jika tren ini berlanjut, Pemilu 2029 bisa menjadi pesta paling ramai secara jumlah partai, tapi paling rumit secara hasil.

Ada dua konsekuensi utama yang mungkin muncul, pertama akan menimbulkan Fragmentasi suara rakyat yang berdampak suara terpecah di banyak partai, membuat ambang batas parlemen (parliamentary threshold) menjadi ujian berat. Banyak partai akan gugur di ambang pintu DPR (jika parliaementary threshold masih diberlakukan).

Kedua, melahirkan atau bahkan menyuburkan Koalisi transaksional yang berdampak pada partai kehilangan ideologi, maka negosiasi pragmatis menjadi mata uang utama politik.

Kedua hal ini berpotensi menghasilkan stagnasi pasca pemilu, pemerintah tersandera oleh kompromi, bukan visi.

Saya menyeruput sisa kopi yang kini sudah dingin. Obrolan dengan para “pembawa mandat partai baru” itu masih terngiang. Semangat mereka nyata, tapi arah perjuangannya kabur.

Mungkin kita memang sedang menikmati demokrasi yang terlalu longgar, setiap orang bebas mendirikan partai, tapi tak banyak yang betul-betul ingin membangun bangsa.

Kadang, memperkuat partai yang sudah ada jauh lebih patriotik daripada terus melahirkan yang baru. Karena demokrasi sejatinya bukan tentang berapa banyak partai yang berdiri, melainkan berapa banyak partai yang berdiri tegak untuk rakyatnya.

Kopi mengajarkan saya tentang konsistensi, jika memang kopilah yang paling jujur yang tak pernah menyembunyikan rasa pahitnya meski tertutupi oleh gula yang berapapun nilai takarnya.

Jika kesuburan lahirnya parpol baru saat ini menjadi momentum, maka rakyat cerdas dan melek politik yang akan menjadi mesin pengujinya, silahkan berkompetisi secara sehat tapi tidak mengabaikan nilai kejujuran dan konsistensi mmperbaiki tatanan bangsa.***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar