Free Gift

Di Balik Senyum Rani: Potret Kecil dari Beratnya Hidup di Usia Dini

Sabo— Di antara hiruk-pikuk siang yang lembap di sebuah warung kopi kecil di pesisir Tolitoli, seorang anak perempuan berambut kusut memasuki ruangan dengan langkah perlahan. Di tangan mungilnya tergantung kantong plastik berisi camilan ringan. Namanya Rani — bukan nama sebenarnya — baru duduk di kelas III sekolah dasar. Namun di balik wajah polosnya tersimpan tanggung jawab yang tak seharusnya dipikul anak seusianya.

Setiap siang, selepas jam sekolah, Rani berganti seragam. Bukan dengan pakaian bermain atau baju tidur seperti anak-anak lain, melainkan dengan pakaian sederhana dan sepasang sandal jepit yang telah menipis. Ia berkeliling dari satu warung ke warung lain, menjajakan kerupuk ubi buatan keluarganya. Kerupuk itu dilaburi gula merah cair, manisnya menutupi getir kehidupan yang ia jalani.

“Sudah biasa, Nak Rani datang jam segini. Kadang bawa kerupuk, kadang juga buah salak,” kata seorang pemilik warung kopi di Jalan Usman Binol, yang sudah akrab melihat gadis kecil itu berdiri di depan tokonya setiap hari. Ia tersenyum, tapi matanya menyiratkan iba. “Kadang saya kasih beli satu bungkus saja, biar dagangannya laku.”

Tidak banyak yang tahu bahwa Rani sebenarnya ingin sekolah dan bermain seperti teman-temannya. Namun, keinginan itu sering kandas di antara kebutuhan keluarga yang mendesak. Ayahnya bekerja serabutan, sementara ibunya membuat camilan dari singkong di dapur sempit rumah mereka di pinggiran kota. Bagi keluarga ini, setiap lembar uang receh dari hasil jualan Rani berarti tambahan untuk makan malam.

Rabu siang (22/10), Rani kembali datang ke sebuah warung kopi, kali ini ditemani sepupunya yang juga berjualan. Matanya tampak berair, pipinya sedikit basah. “Kenapa kau, Nak?” tanya seorang bapak yang duduk sambil menyeruput kopi hitam. Rani diam saja, memandangi tas kresek hitam yang menempel di bahunya. Sepupunya yang menjawab lirih, “Dia marah, terlalu berat bawaannya.”

Tas kresek itu ternyata berisi lebih dari sekadar kerupuk ubi. Di dalamnya, beberapa biji buah salak ikut dibungkus seadanya. Berat untuk tubuh kecil yang seharusnya memikul tas sekolah, bukan kantong dagangan.

Di balik diamnya, Rani menyimpan kebanggaan kecil. Ia tahu, setiap kerupuk yang laku akan membantu ibunya membeli beras. Setiap sen yang ia bawa pulang akan mengurangi beban ayahnya yang kadang tak mendapat pekerjaan harian. Dunia mungkin tampak kecil bagi Rani, terbatas antara sekolah, rumah, dan warung kopi, tapi di sanalah ia belajar tentang arti tanggung jawab lebih cepat dari waktunya.

Namun di sisi lain, kisah Rani adalah cermin dari kenyataan yang lebih luas: anak-anak yang terpaksa tumbuh terlalu cepat karena keadaan. Di banyak pelosok Indonesia, mereka bukan pengecualian. Mereka bagian dari statistik yang sering hanya berhenti di meja birokrat — angka yang membisu tentang kemiskinan dan hilangnya masa kanak-kanak.

Di tengah perbincangan tentang pendidikan dan kesejahteraan anak, nama Rani mungkin tak akan pernah muncul. Tapi bagi siapa pun yang pernah melihatnya memikul dagangan di bawah panas matahari sore, kisahnya tak mudah dilupakan. Di setiap langkah kecilnya, ada jeritan lembut tentang hak anak yang terabaikan.

Kisah Rani mungkin tampak sederhana, tapi di balik senyumnya yang menahan lelah, ada pelajaran besar bagi siapa pun yang masih peduli pada arti keadilan sosial. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa bukan hanya dibangun di ruang kelas — tapi juga di jalanan, tempat anak-anak seperti Rani belajar bertahan hidup terlalu dini.

Ikuti kisah selengkapnya tentang Rani dalam edisi Jumat, 24 Oktober.***

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar