Free Gift

Dinkes: Mayoritas Dapur MBG di Cirebon Belum Memenuhi Standar Higienis

Sabo, CIREBON — Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Cirebon mengungkan sekitar 73,5% Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kabupaten Cirebon diketahui belum memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan belum memenuhi standar higienitas dasar. 

Kondisi ini terungkap dari hasil evaluasi Dinkes Cirebon yang mencatat masih banyak SPPG beroperasi tanpa Surat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). SPPG tersebut masih menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Kepala Dinkes Kabupaten Cirebon, Eni Suhaeni, mengungkapkan, dari total 83 SPPG yang terdata, baru 48 unit yang mengajukan pembaruan SLHS. Dari jumlah tersebut, 26 sudah diinspeksi, dan hanya 22 SPPG yang telah memperoleh SLHS resmi. 

Artinya, sekitar 73,5% dari total SPPG belum mengantongi izin laik higiene sebagaimana ketentuan yang berlaku.

“Masih banyak SPPG yang belum mengajukan, padahal SLHS itu wajib. IPAL harus ada, alat sterilisasi ompreng juga harus tersedia. Kami menemukan banyak yang belum memenuhi syarat-syarat itu,” ujar Eni di Cirebon, Rabu (22/10/2025).

Menurut Eni, masalah utama terletak pada lemahnya kesiapan sarana sanitasi. Banyak SPPG tidak memiliki IPAL, alat sterilisasi, maupun fasilitas penanganan limbah lemak (grease trap) yang menjadi komponen penting dalam standar higiene pangan. 

Dinkes menilai, sebagian pelaku usaha belum memahami IPAL bukan sekadar tempat pembuangan air, melainkan sistem pengolahan limbah yang harus memenuhi parameter lingkungan dan kesehatan.

Untuk mempercepat proses evaluasi, Dinkes membentuk empat tim inspeksi lapangan yang terdiri dari tenaga kesehatan lingkungan (kesling). Tim tersebut bekerja intensif, termasuk pada hari Sabtu dan Minggu, demi memastikan seluruh SPPG diperiksa sebelum batas waktu. 

“Kami tidak libur. Tim tetap turun ke lapangan karena targetnya, semua SPPG harus selesai diinspeksi sebelum 31 Oktober,” tegas Eni.

Meski demikian, Dinkes mengakui adanya kendala di lapangan. Jumlah tenaga kesling masih terbatas, sementara jumlah lokasi yang harus diperiksa cukup banyak. Kondisi ini menyebabkan sebagian proses inspeksi dan uji laboratorium—terutama pemeriksaan air dan makanan—memakan waktu hingga 4–7 hari.

“Kami sedang upayakan percepatan, tapi proses laboratorium tetap memerlukan waktu. Kalau bisa, tim pemeriksa juga ditambah, karena yang memeriksa itu harus tenaga ahli kesehatan lingkungan, tidak bisa sembarang orang,” tambahnya.

Eni menegaskan, bila sampai akhir bulan masih ada SPPG yang belum mengajukan SLHS, pemerintah akan mengambil langkah tegas berupa penutupan sementara. Langkah ini untuk memastikan tidak ada layanan gizi yang beroperasi tanpa pengawasan kesehatan yang memadai.

Dinkes juga mengingatkan bahwa SPPG yang belum memiliki SLHS tidak memiliki jaminan keamanan jika terjadi kasus keracunan atau gangguan kesehatan masyarakat.

“Tanpa SLHS, tanggung jawab hukum dan kesehatan tidak bisa dijamin. Ini menyangkut keselamatan masyarakat,” tegasnya.

Menurut data Dinkes, sebagian besar SPPG yang belum memenuhi syarat beralasan belum lengkap dokumennya atau masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Namun, Dinkes menilai alasan tersebut tidak dapat menjadi pembenaran untuk menunda kewajiban administratif dan teknis.

Ia berharap seluruh pengelola SPPG segera menyesuaikan diri dengan standar higiene yang berlaku. “Ini bukan sekadar soal izin, tapi soal kesehatan masyarakat. IPAL itu wajib, sterilisasi alat makan itu wajib, dan air yang digunakan juga harus teruji,” tandasnya.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar