Sabo.CO.ID, JAKARTA — Pada 13–14 Oktober 2025, empat pemimpin dari Amerika Serikat, Mesir, Qatar, dan Turki menandatangani Deklarasi Trump di Sharm el-Sheikh, yang diklaim sebagai tonggak diplomasi baru menuju perdamaian abadi di Gaza dan Timur Tengah.
Deklarasi itu menekankan komitmen menentang ekstremisme dan fanatisme—namun ada pertanyaan penting: apakah komitmen itu melingkupi ekstremisme negara, terutama oleh pemerintahan yang melanggengkan kebijakan pendudukan, diskriminatif, dan aneksasi? Atau mungkinkah perdamaian ini menjadi “perdamaian semu” yang hanya menenangkan luka sementara tanpa menyelesaikan akar konflik?
Ekstremisme Negara
Ekstremisme umumnya dipahami sebagai tindakan kekerasan atau ideologi radikal dari kelompok non-negara atau “kelompok teroris”. Namun, dalam kajian HAM dan hukum internasional, ekstremisme juga dapat berbentuk kebijakan negara yang sistematis dan diskriminatif, seperti: Supremasi etnis atau keagamaan dalam hukum dan praktik pemerintahan (misalnya hukum yang memprioritaskan satu kelompok berdasarkan identitas agama atau ras).
Penahanan administratif tanpa pengadilan (due process). Pengusiran warga, aneksasi wilayah, dan pendirian permukiman ilegal. Blokade atau pembatasan akses terhadap kebutuhan dasar dan layanan publik. Penghancuran sistematis infrastruktur sipil dalam konflik berskala besar.
Contoh historis: kebijakan apartheid di Afrika Selatan; deportasi dan relokasi paksa minoritas selama rezim totaliter; diskriminasi sistemik dalam negara dengan hukum yang mendiskriminasi berdasarkan identitas rasial/agama.
Deklarasi Trump: Retorika vs Realitas
Deklarasi Trump menyebut: “Kami berkomitmen menentang semua bentuk ekstremisme dan radikalisme… masyarakat tidak bisa makmur dalam lingkungan di mana kekerasan dan rasisme berkuasa.”
Kalimat itu tidak menyebut pelaku, ideologi, atau arah ekstremisme — sehingga secara retoris, ia tampak “netral”. Namun dalam praktik diplomasi, bentuk seperti ini sering menjadi alat framing politis.
Ekstremisme di sini hampir selalu dikaitkan dengan kelompok bersenjata non-negara (seperti Hamas atau Jihad Islami), bukan dengan kebijakan negara. Jadi, istilah itu diarahkan ke Palestina dan dunia Arab, bukan ke Israel.
Dengan demikian, yang disebut ekstremis secara implisit bukan Netanyahu dan partai Likud, melainkan Hamas dan kelompok perlawanan lainnya. Padahal dalam kenyataan, banyak kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan Israel di bawah koalisi sayap kanan dapat dikategorikan sebagai bentuk ekstremisme negara, seperti:
A) Permukiman ilegal di Tepi Barat (West-Bank) termasuk Yerusalem Timur. B) Undang-undang yang memperkuat identitas “negara Yahudi” sehingga meminggirkan warga non-Yahudi. C) Blokade terhadap Gaza dan pelarangan masuk bagi barang/akses kemanusiaan. D) Penggunaan kekuatan militer yang sering menimbulkan korban sipil besar.
Dengan demikian, ada risiko bahwa deklarasi ini mengabaikan atau mengecilkan akar ekstremisme nyata dan struktural demi menjaga keseimbangan politik, legitimasi internasional, dan hubungan bilateral/donor.
Mengapa “Perdamaian Semu” bisa muncul
Beberapa kondisi memicu munculnya perdamaian yang tampak damai tetapi tidak adil:
1. Gencatan senjata tanpa resolusi politik — jika hanya berhenti tembakan, tapi status politik, pengungsi, pengakuan negara, dan perbatasan tidak dibicarakan, konflik bisa berulang.
2. Rekonstruksi tanpa kontrol lokal — pembangunan fisik saja tanpa pemberdayaan pemerintahan lokal dan tanpa jaminan akses politik dapat membuat masyarakat tetap berada dalam ketergantungan dan subordinasi.
3. Narasi damai tanpa keadilan — jika media internasional dan donor lebih banyak berbicara soal “perdamaian” dan “stabilitas” daripada “hak”, “pengakuan”, “dropping apartheid”, “asimilasi”, maka tuntutan untuk keadilan bisa tertolak.
Dampak bagi Palestina dan Dunia
Bagi rakyat Palestina, “perdamaian semu” berarti kehidupan tetap di bawah pendudukan, kemungkinan terus-menerus tanpa status negara merdeka, dan hak untuk menentukan nasib sendiri tetap tergantung pada goodwill pihak lain.
Bagi Israel, deklarasi semacam ini memberi legitimasi internasional sambil memungkinkan kebijakan pendudukan dan diskriminasi tetap berjalan tanpa banyak sanksi.
Bagi tatanan global, penerimaan deklarasi tanpa catatan kritis memperlemah norma hukum internasional: bahwa hukum perang, HAM, resolusi PBB adalah hal yang harus dihormati, dan negara tidak bebas melanggar itu atas nama keamanan nasional.
Peran Indonesia
Dalam situasi seperti ini, Indonesia bisa mengambil posisi tegas yang konstruktif:
a) Memperjelas definisi ekstremisme dalam kebijakan luar negeri. Indonesia dapat mengajukan dalam forum multilateral definisi ekstremisme negara sebagai bagian dari agenda OKI/ PBB, yang mencakup diskriminasi struktural, pendudukan, kebijakan apartheid, aneksasi.
b) Beri dukungan bersyarat. Indonesia bisa mendukung deklarasi perdamaian tetapi bersyarat pada inklusi klausa eksplisit yang menyebut ekstremisme negara dan menjamin bahwa rekognisi hak politik Palestina, status negara, Yerusalem Timur, dan pengakhiran permukiman ilegal akan menjadi bagian tak terpisahkan dari implementasi perjanjian damai.
c) Tekankan verifikasi dan transparansi. Dorong agar perjanjian disertai mekanisme monitoring independen (Monitoring & Accountability Board), audit internasional atas pelaksanaan, laporan publik reguler.
d) Mobilisasi diplomasi moral dan public. Indonesia sebagai negara dengan reputasi pro-Palestina dapat memimpin narasi moral di forum OKI, ASEAN, PBB, dan media internasional; melibatkan organisasi keagamaan, masyarakat sipil, akademisi untuk mengingatkan bahwa perdamaian semu bukan solusi.
Mulai Penegakkan Keadilan
Deklarasi perdamaian di Sharm el-Sheikh membawa harapan — tapi harapan yang belum tentu mengerucut pada keadilan. Tanpa definisi konkret ekstremisme negara, regulasi politik yang adil, dan komitmen pengakuan yang jelas, kita berisiko menerima perdamaian yang sunyi, namun rapuh.
Tidak cukup hanya mengakhiri perang; kita harus memulai tegaknya keadilan. Hanya ketika rakyat Palestina diakui secara penuh sebagai bangsa yang merdeka, dengan hak-haknya yang dijamin oleh hukum internasional — itulah kedamaian sejati. Kita harus memastikan bahwa deklarasi bukan hanya kata-kata indah, tapi fondasi dari perubahan nyata.






