Laporan Wartawan Sabo, Eki Yulianto
Sabo, INDRAMAYU- Siang itu, matahari seperti menumpahkan panasnya ke jalan-jalan sempit di Desa/Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu.
Di antara terik yang menggigit, seorang lelaki ‘berjubah’ hijau muda terus melangkah dengan langkah yang tak tergesa, namun pasti.
Tangannya menggenggam tong sampah plastik, sementara motor roda tiga di belakangnya mengikuti perlahan, mengangkut tumpukan sampah yang menumpuk dari rumah ke rumah.
Namanya Matori, warga asli desa itu.
Usianya telah melewati separuh abad, tapi semangatnya tak ikut menua.
Sejak empat tahun terakhir, ia menghabiskan hari-harinya bukan di laut, melainkan di antara tumpukan plastik bekas dan botol air mineral.
Bagi sebagian orang, itu hanyalah kotoran tak berguna.
Namun bagi Matori, setiap bungkusan plastik adalah peluang baru, bahan baku masa depan yang bisa menghidupkan desanya.
Awalnya tak ada cita-cita besar.
Ia hanya merasa resah melihat kebiasaan tetangga yang membuang sampah ke kebun belakang rumah, bahkan membakarnya saat malam tiba.
Asap hitam menebal di udara, menyesaki dada.
Selokan-selokan desa sering tersumbat, menyisakan genangan dan bau tak sedap.
“Awalnya cuma prihatin,” kenangnya, perlahan.
Dari keprihatinan itu, ia mulai mengumpulkan sampah plastik yang masih dianggap bernilai.
Botol bekas air mineral, tutup galon, ember rusak, semua ia pungut, ia cuci, lalu dijual ke pengepul untuk menambah penghasilan.
Aktivitas kecil itu membuatnya sadar satu hal, bahwa sampah tak seharusnya berakhir di tanah.
Ia bisa berubah, jika hanya ada sedikit kemauan dan pengetahuan.
Perubahan itu datang dari tempat yang tak terduga.
Suatu hari, di sela istirahatnya, Matori menonton sebuah video di YouTube tentang cara mengolah limbah plastik menjadi bahan bangunan dan kerajinan. Ia terpukau.
Dengan alat seadanya, ia mulai mencoba melebur tutup botol di dapur rumahnya.
“Waktu itu masih pakai kompor manual. Kadang gagal, kadang gosong, tapi saya penasaran terus,” ujarnya, sambil tersenyum.
Eksperimen sederhana itu menjadi awal perubahan besar.
Dari dapur kecilnya, lahir ide untuk mengelola sampah lebih serius.
Ia membayangkan kampungnya bersih, warganya peduli.dan sampah tak lagi jadi musuh.
Impian Matori menemukan bahan bakarnya ketika PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VI Balongan datang ke desanya.
Perusahaan energi itu tengah mencari kelompok warga yang bisa dilibatkan dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) bidang lingkungan, khususnya pengelolaan bank sampah.
Pertemuan itu seperti titik temu antara semangat warga dan komitmen perusahaan.
Matori pun membentuk Kelompok Wiralodra (Wilayah Masyarakat Pengelola Dapur Ulang Sampah), yang kemudian menjadi mitra binaan resmi PT KPI RU VI Balongan.
Sebelum itu, nama bank sampahnya diambil dari “Widara”, jenis pohon yang banyak tumbuh di Balongan, sebagai simbol keteduhan dan daya hidup.
Menurut Area Manager Communication, Relations & CSR PT KPI RU VI Balongan, Mohamad Zulkifli, program tersebut menjadi bentuk nyata komitmen perusahaan untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kilang.
“Kami melihat semangat Pak Matori luar biasa.”
“Ia bukan hanya mengelola sampah, tapi menyalakan kesadaran baru.”
“Kini kelompok Wiralodra mampu menangani sekitar 1,6 ton sampah non-B3 setiap bulan,” ujar Zulkifli.
Selain menciptakan lingkungan bersih, kelompok ini juga memberikan manfaat ekonomi.
Anggota Wiralodra kini bisa memperoleh penghasilan tambahan rata-rata Rp 1 juta per bulan.
Kini, tempat kerja Matori bukan lagi dapur rumahnya.
Sebuah bangunan sederhana berdiri di ujung gang sempit yang dikelilingi empang.
Dindingnya bercat putih, atapnya dari kayu, dan di dalamnya terdengar dengung mesin pencacah plastik yang tak pernah berhenti.
Tiga tong besar berwarna berbeda berdiri berjajar di depan, organik, anorganik dan residu.
Di ruangan itu, plastik-plastik yang dulu dianggap sampah kini berubah wujud menjadi plakat warna-warni hasil daur ulang dari bahan HDPE (High Density Polyethylene) dan PET (Polyethylene Terephthalate).
Setiap plakat lahir dari sekitar satu kilogram sampah plastik.
Dalam delapan bulan, kelompok Wiralodra memproduksi 127 plakat dan meraup keuntungan lebih dari Rp 12 juta.
“Kalau dulu satu kilo plastik cuma laku tiga ribu rupiah, sekarang bisa jadi seratus ribu,” kata Matori, dengan nada bangga.
Nilainya memang tak seberapa bagi korporasi besar, tapi bagi warga desa, itu adalah simbol perubahan.
Mereka tak lagi memandang sampah sebagai beban, melainkan sumber penghidupan.
Kini hampir setiap rumah di Desa Balongan memiliki tempat sampah terpisah.
Sebuah kebiasaan baru tumbuh perlahan, dibentuk oleh edukasi yang sabar dari kelompok Wiralodra.
Mereka rutin berkeliling ke rumah warga, memberikan penyuluhan, bahkan menyiapkan skema barter yang unik: “satu kilogram sampah, satu butir telur.”
Program sederhana itu membuat anak-anak ikut bersemangat.
Mereka membawa botol bekas dari rumah ke bank sampah, lalu pulang sambil menggenggam telur di tangan.
Simbol kecil itu menandakan bahwa peduli lingkungan bukan hanya soal kebersihan, tapi juga soal kesejahteraan.
“Sekarang anak-anak malah rajin nyari plastik di sekitar rumah. Katanya biar bisa beli telur.”
“Dulu halaman kami penuh sampah, sekarang bersih. Ada rasa malu kalau buang sembarangan,” ujar Sriatun (38), salah satu warga setempat, sambil tertawa.
Perubahan di Balongan bukan hanya terlihat dari lingkungan yang lebih bersih, tetapi juga dari cara berpikir warganya.
Matori dan tim Wiralodra secara perlahan membentuk kebiasaan memilah sampah sejak dari rumah.
Zulkifli menuturkan, semangat yang ditunjukkan warga Balongan sejalan dengan komitmen Pertamina dalam mewujudkan Energizing Indonesia, bukan sekadar menyediakan energi, tetapi menyalakan energi sosial dan kesadaran lingkungan.
“Di internal perusahaan, kami juga sudah menerapkan pemilahan sampah di setiap unit kerja dan rumah pekerja.”
“Harapannya, kebiasaan kecil ini menular ke masyarakat sekitar,” ujarnya.
Langkah kecil itu kini melahirkan dampak yang meluas.
Dari 2019 hingga kini, kelompok Wiralodra telah mengolah sekitar 60 kilogram sampah per minggu, baik organik maupun anorganik.
Mereka bahkan mulai bereksperimen dengan budidaya maggot untuk mengolah sampah organik menjadi pakan ternak.
Pemerintah daerah juga tak tinggal diam.
Bupati Indramayu, Lucky Hakim menyebut, inisiatif masyarakat seperti yang dilakukan Matori menjadi contoh nyata kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan warga.
“Kami sedang menyiapkan pengelolaan sampah berbasis Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) dan mengembangkan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF).”
“Semua ini bagian dari upaya menjaga kualitas hidup dan kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Bagi Matori, perjalanan ini belum berakhir.
Ia bermimpi Bank Sampah Wiralodra suatu hari bisa tumbuh menjadi industri semi besar.
Tak hanya memproduksi plakat, tapi juga bahan bangunan seperti dinding, plafon, hingga genting dari plastik daur ulang.
Pasarnya mulai terbuka, permintaannya terus meningkat dan semangat masyarakat semakin menyala.
Di sela suara mesin pencacah yang berdengung, Matori menatap tumpukan plastik di sudut ruangan.
Di sana, ia tak lagi melihat limbah, melainkan sumber energi yang menggerakkan perubahan, energi yang lahir dari kepedulian dan menyala karena harapan.
Dulu, Balongan dikenal sebagai desa kotor yang kerap diliputi bau sampah.
Kini, di tangan-tangan warganya, ia menjelma menjadi kampung hijau yang belajar hidup selaras dengan alam.
Matori mungkin hanya satu dari ribuan pejuang lingkungan yang berjuang di jalannya sendiri.
Namun, lewat tangan-tangannya yang kotor oleh sampah, ia menyalakan api kesadaran baru, bahwa energi sejati tak hanya datang dari minyak dan gas, tetapi dari manusia yang memilih untuk peduli.
Dari sebuah desa kecil di pesisir Indramayu, Indonesia menemukan bentuk energi baru, energi yang tak habis karena dibakar, tetapi justru tumbuh setiap kali seseorang memutuskan untuk tidak membuang.






