Di pegunungan, air mengalir jernih dari sumbernya.
Tapi di balik label biru yang menenangkan, tersimpan sumur dalam dan bayang-bayang industri.
Ketika publik mulai bertanya, bukan hanya tentang sumber air, tapi juga tentang sumber kejujuran, di sanalah etika diuji.
Pagi itu, jagat maya Indonesia riuh.
Tagar #AquaBohongSoalSumberAir tiba-tiba memuncaki trending topic. Warganet mempertanyakan klaim Danone-AQUA bahwa air mereka berasal dari “mata air pegunungan murni”, sementara hasil investigasi menunjukkan bahwa sebagian sumbernya ternyata adalah air akuifer, air tanah dalam yang dipompa dari sumur bor industri.
Dalam siaran klarifikasinya, pihak Danone-AQUA menegaskan bahwa air akuifer adalah bagian dari sistem mata air alami, sehingga tidak ada kebohongan. Namun, alih-alih meredakan kegelisahan, penjelasan ini justru memicu pertanyaan baru:
Jika memang tidak ada yang salah, mengapa publik merasa dikhianati?
Lihat laporan lengkap:
Antara Narasi dan Realitas
Selama puluhan tahun, AQUA telah melekat di benak masyarakat sebagai air pegunungan murni yang lahir dari pelukan alam. Narasi ini kuat, emosional, dan berhasil menumbuhkan rasa percaya.
Namun, ketika publik menemukan bahwa sebagian sumber air ternyata berasal dari akuifer, bukan langsung dari mata air pegunungan terbuka, maka yang retak bukanlah kualitas airnya, melainkan citra kejujurannya.
Inilah era ketika transparansi menjadi barang langka dan narasi lebih menentukan persepsi daripada realitas.
Fenomena ini mengingatkan kita pada artikel sebelumnya:
“Banyak pelaku usaha tergoda menjual narasi tanpa substansi. Padahal amanah berarti menjual produk sesuai klaim, integritas berarti mengakui kesalahan dan memperbaiki.”
(Ketika Label dan Narasi Produk Tidak Sesuai; Pelajaran Etika Bisnis dari Bake n Grind)
Kasus AQUA kini menjadi cermin baru dari pelajaran lama: ketika label tidak sejalan dengan kebenaran, yang terkikis adalah kepercayaan.
Timbangan yang Tak Terlihat: Hikmah Al-Mutaffifin di Tengah Krisis Kepercayaan
Ada satu surah pendek dalam Al-Qur’an yang terasa begitu relevan di tengah gonjang-ganjing etika bisnis modern:
Surah Al-Mutaffifin (83:1–3):
“Kecelakaanlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”
Ayat ini sering dibaca di masjid atau pesantren, tapi jarang direnungkan dalam konteks bisnis modern.
Padahal, timbangan yang dimaksud tidak selalu berupa alat ukur fisik, ia bisa berupa kejujuran informasi, transparansi label, atau integritas merek.
Ketika sebuah perusahaan menampilkan air “pegunungan murni” namun tidak menjelaskan bahwa sumbernya adalah air tanah dalam yang dipompa dari akuifer, maka yang berkurang bukan kadar mineral, tetapi kadar kebenaran.
Dan yang dirugikan bukan hanya konsumen, tapi juga:
Masyarakat sekitar sumber air, yang berpotensi kehilangan akses terhadap air bersih;Ekosistem alami, yang bisa terganggu akibat eksploitasi berlebih;Kepercayaan publik, yang tererosi pelan-pelan.
Inilah bentuk tathfif zaman modern, pengurangan kebenaran demi citra, pengaburan fakta demi laba.
Lebih jauh lagi, Al-Mutaffifin (83:4–5) mengingatkan:
“Tidakkah mereka yakin bahwa mereka akan dibangkitkan pada hari yang besar?”
Ayat ini mengandung pesan moral universal, bahwa akar dari setiap kecurangan adalah hilangnya rasa tanggung jawab.
Ketika korporasi tidak lagi takut pada hilangnya kepercayaan publik, atau ketika keuntungan jangka pendek lebih penting dari keberlanjutan planet, maka sesungguhnya mereka sedang “mengurangi takaran” moral kemanusiaan itu sendiri.
Pesan Al-Mutaffifin sejatinya bukan hanya teguran bagi pedagang pasar, tapi juga peringatan bagi korporasi besar: bahwa setiap liter air yang dijual tanpa kejujuran adalah timbangan yang miring di hadapan Tuhan.
Dampak Sosial dan Ekologis
Dari sisi sosial, isu ini menimbulkan ketegangan antara korporasi dan masyarakat sekitar sumber air.
Warga di beberapa daerah, seperti Klaten, Sukabumi, dan Pandaan, sempat memprotes operasi pabrik air minum dalam kemasan yang dianggap mengurangi debit air tanah mereka.
Media seperti Tempo (2023) dan BBC Indonesia menyoroti bagaimana eksploitasi air bawah tanah bisa mengubah pola hidrologi lokal dan memicu krisis air bagi warga sekitar.
Secara ekologis, pengambilan air dari akuifer yang tidak diatur ketat berisiko:
Menurunkan muka air tanah, yang dapat menyebabkan kekeringan atau amblesan tanah (land subsidence);Mengganggu keseimbangan ekosistem, terutama jika debit air keluar lebih besar daripada daya recharge alami;Mengikis keberlanjutan lingkungan jangka panjang, bahkan jika dilakukan dengan izin resmi.
Dalam jangka panjang, perusahaan bukan hanya menghadapi krisis reputasi, tapi juga krisis sumber daya yang menopang keberlanjutannya sendiri.
Etika Bisnis: Fondasi yang Runtuh Tanpa Amanah
Buku Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization (Crane & Matten, 2019) menegaskan bahwa setiap organisasi harus menyeimbangkan antara profit, people, dan planet.
Dalam kasus ini,
Profit tampak tetap mengalir,People mulai kehilangan kepercayaan,Planet mulai berteriak pelan.
Ketika salah satu unsur terganggu, ekosistem bisnis kehilangan keseimbangannya.
Maka, sebagaimana Surah Al-Mutaffifin mengingatkan tentang “mengurangi takaran”, bisnis modern pun seharusnya belajar menakar dengan timbangan etika, bukan sekadar kalkulator keuntungan.
Kembali ke Sumber: Mencari Kejernihan, Bukan Sekadar Air
Etika bisnis bukanlah topik abstrak, ia adalah sumber mata air kepercayaan.
Dan ketika mata air kepercayaan itu keruh, tidak ada kampanye komunikasi atau klarifikasi yang bisa menjernihkannya selain kejujuran.
Amanah berarti menjual produk sesuai klaimnya.
Integritas berarti berani mengakui kekeliruan.
Transparansi berarti membuka asal-usul produk dan proses produksinya.
Karena dalam dunia pasca-modern yang penuh ilusi narasi, kejujuran adalah air paling murni yang masih bisa kita minum.
Penutup: Timbangan yang Jujur, Air yang Jernih
Surah Al-Mutaffifin menegur kita agar tidak “mengurangi takaran”, tapi maknanya meluas jauh melampaui pasar tradisional.
Kini, setiap perusahaan yang menjual produk, setiap pebisnis yang membangun citra, bahkan setiap individu yang menulis kisah, semuanya sedang diuji pada timbangan yang sama: timbangan kejujuran.
Jika bisnis dijalankan dengan amanah, air akan tetap jernih, bumi tetap lestari, dan masyarakat tetap percaya.
Namun jika timbangan itu terus dimiringkan demi laba, maka cepat atau lambat, bukan hanya akuifer yang kering, tapi juga hati manusia.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
Sumber Referensi:
Suara.com. (2025, 22 Oktober). AQUA Bohong Soal Sumber Air? Klarifikasi Danone Sebut Air Akuifer Bikin Publik Makin Ragu. LinkTempo. (2023). Air Tanah Habis oleh Pabrik Air Minum. LinkBBC Indonesia. (2023). Krisis Air Tanah dan Konflik Warga Sekitar Sumber Air Industri. LinkCrane, A., & Matten, D. (2019). Business Ethics: Managing Corporate Citizenship and Sustainability in the Age of Globalization. Oxford University Press.Sabo. (2025). Ketika Label dan Narasi Produk Tidak Sesuai; Pelajaran Etika Bisnis dari Bake n Grind.Link






