Kalangan Jambi- “Got beat down by the world, sometimes I wanna fold / namun suratmu kan kuceritakan ke anak-anakku nanti, bahwa aku pernah dicintai with everything u are.”
Penggalan lirik itu terdengar seperti napas panjang dari seseorang yang lelah, tapi masih ingin percaya pada kekuatan kasih. Dalam lagu Everything U Are, Baskara Putra (Hindia) menulis bukan sekadar tentang cinta, melainkan tentang cara bertahan hidup di tengah dunia yang semakin membuat manusia merasa kecil dan terasing.
Hindia selalu menulis dari ruang personal, tetapi ia tak berhenti di sana. Ia berbicara pada generasi yang tumbuh di era serba cepat dan serba cemas—sebuah zaman yang memuja performa tapi melupakan makna. Lagu ini menjadi pengakuan sekaligus bentuk perlawanan kecil terhadap sistem yang menuntut kesempurnaan tanpa henti.
Kalimat “got beat down by the world” mencerminkan rasa letih yang dialami banyak orang di era modern. Dunia yang disebut “terkoneksi” justru membuat manusia kehilangan arah dan keintiman. Dalam istilah Lyotard, ini adalah masa ketika “narasi besar” telah runtuh—tak ada lagi makna tunggal untuk digenggam. Kita sibuk, tapi hampa; terkoneksi, tapi kesepian.
Jean Baudrillard bahkan menyebut realitas kini digantikan simulakra—representasi yang lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Di tengah absurditas itu, Hindia hadir bukan untuk menawarkan utopia, melainkan untuk mengingatkan bahwa rapuh pun adalah tanda bahwa kita masih hidup, masih manusia.
Lirik “Kita hampir mati dan kau selamatkan aku, dan ku menyelamatkanmu” terdengar jujur dan realistis. Di tengah dunia yang penuh tekanan dan kesepian digital, penyelamatan sering datang bukan dari institusi besar, melainkan dari seseorang yang sama rapuhnya tapi bersedia hadir.
Dalam teori afeksi Spinoza dan Deleuze, perasaan adalah energi sosial yang mengalir antarmanusia. Ketika dua orang saling mendengar, mereka sedang menolak rezim modern yang menuntut otonomi dan kekuatan tanpa batas. Maka, Everything U Are menjadi tindakan politik yang lembut—menolak depolitisasi empati dan mengembalikan cinta sebagai ruang perlawanan yang manusiawi.
Lirik “cerita kita tak jauh berbeda” bisa dibaca sebagai gema bagi dunia Global South—wilayah yang selama ini “got beat down by the world”. Seperti disinggung oleh Walter Mignolo, empati dekolonial tumbuh dari luka bersama, dari kesadaran bahwa solidaritas sejati lahir bukan karena kesamaan ideologi, tetapi karena kesamaan rasa sakit.
Dalam konteks itu, lagu ini menjadi suara yang menolak kesempurnaan, menolak efisiensi, dan merayakan keberadaan seadanya. Hindia menulis dari pinggiran, dari ruang yang dianggap tak penting—justru di sanalah kemanusiaan terasa paling tulus.
“Bahwa aku pernah dicintai, with everything u are.”
Kalimat ini adalah pernyataan eksistensial di tengah dunia yang menilai manusia lewat produktivitas dan pencitraan. Seperti kata Byung-Chul Han, kita hidup dalam “masyarakat prestasi” yang mengeksploitasi diri sendiri atas nama kebebasan. Maka, cinta yang tidak menuntut performa adalah bentuk perlawanan halus terhadap sistem tersebut.
Mengikuti pemikiran Erich Fromm, cinta sejati bukan soal memiliki, tapi menjadi. Di tengah kapitalisme yang mengubah kasih menjadi transaksi emosional, Hindia mengingatkan bahwa dicintai—meski sekali—sudah cukup untuk bertahan.
Hindia tidak menulis untuk memberi solusi, melainkan untuk menemani. Everything U Are adalah pelukan bagi mereka yang lelah tapi masih ingin percaya pada kebaikan. Ia mengajarkan bahwa penyelamatan bukan tentang menjadi pahlawan, tapi tentang keberanian untuk hadir bagi yang lain.
Seperti kata Emmanuel Levinas, etika dimulai dari kesediaan untuk terganggu oleh keberadaan orang lain. Maka, di dunia yang mendorong manusia menjadi otonom dan dingin, Hindia mengingatkan: kadang yang paling radikal adalah tetap lembut, tetap peduli, dan tetap manusia.
Disclaimer: Artikel ini telah tayang sebelumnya di Kumparan dengan judul: Hindia, Everything U Are dan Politik Afeksi di Era Melankolia Global






