Suara Flores — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tujuh wilayah kerja panas bumi (WKP) di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan total potensi daya mencapai 120 megawatt (MW).
Kebijakan itu disambut antusias oleh PLN yang menyebut Flores memiliki potensi besar energi baru terbarukan (EBT). Namun, di tengah euforia pembangunan energi bersih, sejumlah kalangan mulai bertanya: apakah proyek-proyek besar ini benar-benar akan dinikmati masyarakat Flores, atau hanya menjadi catatan keberhasilan di atas kertas?
Potensi Besar, Tapi Belum Jelas untuk Siapa
Manager Perizinan dan Komunikasi PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara, Bobby Robson Sitorus, menyebut Flores memiliki cadangan panas bumi yang melimpah.
“Di Flores itu memang memiliki potensi energi baru terbarukan yang sangat banyak. Beberapa di antaranya sudah ditetapkan oleh Kementerian ESDM sebagai wilayah kerja panas bumi,” kata Bobby di Kupang, Kamis, 22 Oktober 2025.
Tujuh WKP yang ditetapkan Kementerian ESDM meliputi WKP Ulumbu, WKP Wae Sano, WKP Mataloko, WKP Sokoria, WKP Oka Ile Ange, WKP Atadei, dan WKP Nage.
“Semuanya tersebar di Pulau Flores dan akan dikembangkan untuk mendukung sistem kelistrikan setempat,” ujarnya.
Menurut Bobby, total kapasitas listrik dari seluruh WKP tersebut diperkirakan mencapai 120 MW.
“Kalau seluruh WKP ini dikembangkan secara optimal, Flores bisa menjadi salah satu pulau di Indonesia yang mandiri energi dan berbasis energi bersih,” ujarnya.
Namun, publik mempertanyakan: seberapa besar manfaat energi ini akan langsung dirasakan oleh warga Flores yang selama ini masih menghadapi masalah pasokan listrik tidak stabil dan tarif tinggi?
PLN Awasi Dua WKP Aktif, Sisanya Tunggu Investor
PLN saat ini mengawasi dua WKP utama: WKP Ulumbu berkapasitas sekitar 40 MW, dan WKP Mataloko sekitar 20 MW.
“Jadi totalnya nanti akan ada sekitar 60 megawatt yang diawasi langsung oleh PLN di Flores,” tutur Bobby.
Sisanya? Pengembangan WKP lain akan dilakukan bertahap dengan melibatkan investor dan badan usaha panas bumi yang sudah mendapat izin pemerintah pusat.
Di sinilah muncul tanda tanya. Jika pengelolaan sumber daya energi ini akan melibatkan investor, bagaimana skema bagi hasil untuk daerah dan masyarakat lokal? Apakah pemerintah daerah hanya menjadi penonton?
Timor Belum Punya Potensi, Flores Jadi Fokus Pusat Energi
Dari hasil kajian sementara, potensi panas bumi di NTT masih terkonsentrasi di Flores, Alor, dan Lembata.
“Untuk wilayah Timor memang belum ditemukan potensi panas bumi yang signifikan. Fokus pengembangan saat ini masih di Flores,” kata Bobby.
Pernyataan ini menegaskan posisi strategis Flores dalam peta energi nasional. Tapi di balik peluang itu, muncul kekhawatiran baru: apakah Flores siap menghadapi dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi dari proyek-proyek panas bumi berskala besar ini?
Menuju Energi Bersih, Tapi Siapa yang Bertanggung Jawab?
Bobby menyebut pengembangan EBT, termasuk panas bumi, merupakan bagian dari upaya PLN dan pemerintah mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060.
“Flores memiliki peran strategis sebagai pulau panas bumi. Kami berharap pengembangan WKP di sini bisa memperkuat sistem listrik NTT dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil,” ujarnya.
Namun, publik menyoroti bahwa target besar seperti NZE sering kali berjalan tanpa transparansi memadai. Apakah kajian lingkungan sudah melibatkan masyarakat adat yang hidup di sekitar WKP? Bagaimana rencana kompensasi jika lahan mereka digunakan?
Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab tuntas. Di satu sisi, energi panas bumi disebut ramah lingkungan. Di sisi lain, banyak warga masih menunggu listrik yang benar-benar stabil di rumah mereka.***






