Free Gift

Fragmentasi Hutan di Balik Heboh Macan dan Harimau Liar Sambangi Hotel dan Kantor

BEBERAPA waktu lalu, seekor macan tutul jawa didapati masuk ke sebuah hotel di Bandung, Jawa Barat, dan seekor harimau sumatra terlihat di kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Agam, Sumatra Barat. Video dan foto-foto dua kejadian terpisah yang sama melibatkan satwa liar dari dalam hutan tersebut langsung viral di media sosial.

Peneliti Ahli Utama Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati di Pusat Riset Ekologi BRIN, Hendra Gunawan, melihatnya sebagai alarm nyata keseimbangan alam yang terganggu. Dia meyakini kedua kejadian yang waktunya berdekatan itu bukanlah kebetulan. Ditegaskannya, macan tutul dan harimau sejatinya adalah sama-sama satwa penghuni inti hutan (core habitat species), dimana mereka hidup tersembunyi, jauh dari manusia.

“Kalau mereka sekarang muncul di kebun, jalan raya, bahkan hotel, itu bukan perilaku alami, tapi Itu tanda mereka terpaksa ke luar dari hutan untuk bertahan hidup,” tutur Hendra melalui keterangan tertulis pada Rabu, 22 Oktober 2025.

AA1OWsbZHarimau sumatera terekam CCTV milik BRIN di Agam, 15 Oktober 2025. Foto. BKSDA Sumbar

Hendra mengungkap sejumlah penyebabnya. Pertama, kerusakan habitat akibat pembukaan lahan, pembangunan jalan, dan permukiman membuat ruang hidup mereka semakin sempit. Kedua, harimau atau macan tutul sering kali mengejar mangsa seperti babi hutan atau monyet ekor panjang yang memang hidup di tepi hutan (habitat edge).

Ketiga, ada kemungkinan satwa tersesat atau mengalami disorientasi spasial atau kehilangan orientasi karena terjebak di lingkungan yang tidak dikenalnya. Hendra menjelaskan, hutan dengan pepohonan adalah referensi visual bagi harimau dan macan tutul. “Begitu ia masuk ke bangunan beton tanpa vegetasi, ia kehilangan arah dan bisa panik. Inilah yang terjadi ketika macan masuk hotel atau kantor,” kata dia menambahkan.

Fragmentasi Hutan

Hendra mengatakan, fragmentasi hutan merupakan akar permasalahan meningkatnya konflik manusia-satwa liar. Fragmentasi terjadi ketika hutan besar terpecah-pecah menjadi potongan kecil yang terisolasi oleh jalan, ladang, atau permukiman. Menurut dia, “Fragmentasi lebih berbahaya daripada sekadar pengurangan luas hutan.”

Fragmentasi idak hanya mengurangi luas, tapi juga memutus konektivitas antarhabitat, menghilangkan area inti (core habitat), dan memperpanjang tepian hutan (edge) yang memungkinkan satwa liar menjadi semakin sering berinteraksi dengan manusia. “Dan itu dampaknya serius,” kata Hendra.

Diterangkannya, predator puncak seperti harimau sumatra dan macan tutul jawa membutuhkan wilayah jelajah luas untuk bertahan hidup. Saat ruangnya terpotong, mereka berebut teritori. “Yang kalah, biasanya jantan muda atau tua, terpaksa ke luar mencari wilayah baru, dan sering melewati kebun atau permukiman,” katanya.

Hendra menyebutkan telah terjadi sedikitnya 137 insiden konflik manusia-harimau sepanjang 2005 hingga 2023 di 14 kabupaten/ kota Sumatra Barat saja. Sebagian besar kasusnya ditemukan di kawasan yang hutannya telah terfragmentasi parah, seperti di Lanskap Cagar Alam Maninjau.

Dengan adanya tren fragmentasi yang terus meningkat, Hendra mengingatkan, konflik manusia-satwa liar akan terus berulang, bahkan bisa meningkat. Solusinya, Hendra menyatakan, bukan sekadar mengevakuasi satwa yang muncul, namun membangun tata ruang dan kebijakan berbasis ekologi.

“RTRW harus memuat koridor satwa, jalur jelajah, dan area konservasi yang saling terhubung,” kata dia. “Tanpa itu, satwa akan terus ke luar hutan karena tak punya lagi ruang hidup.”

Dari Konflik ke Koeksistensi

Berdasarkan permasalahan ini, Hendra mendorong pendekatan baru dalam mengelola hubungan manusia dan satwa liar: human–wildlife coexistence, yaitu hidup berdampingan secara berkelanjutan. Pendekatan ini terdiri atas empat tahap. Yang pertama, avoidance, yaitu mencegah interaksi langsung melalui perencanaan ruang dan pengamanan ternak.

Kedua, mitigation atau mengurangi dampak konflik, misalnya dengan mengusir satwa tanpa melukai dan memberikan kompensasi kerugian. Ketiga, tolerance, yaitu membangun kesadaran dan empati masyarakat terhadap keberadaan satwa liar. Keempat, coexistence atau menciptakan manfaat bersama, misalnya lewat ekowisata berbasis komunitas atau pertanian ramah satwa. “Kalau masyarakat bisa melihat harimau bukan sebagai ancaman, tapi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, kita bisa hidup berdampingan dengan damai,” ujarnya.

Kehadiran harimau di kantor BRIN Agam, menurut Hendra, bukan sekadar kisah viral, melainkan alarm ekologis bahwa hutan kita sedang tidak baik-baik saja. Satwa liar tidak sedang menyerang manusia, mereka mencari ruang untuk bertahan hidup. “Harimau (dan macan tutul) adalah cermin dari kesehatan hutan. Jika harimau hilang, itu artinya ekosistem kita runtuh. Menjaga harimau berarti menjaga masa depan kita sendiri,” kata dia.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar