GREENPEACE Indonesia menilai bank sampah hanya memiliki peran kecil dalam pengelolaan sampah nasional dan bukan solusi utama untuk mengatasi persoalan polusi plastik. Ketua Tim Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Atha Rasyadi menekankan bahwa bank sampah memang punya fungsi, tapi porsinya terbatas.
“Bank sampah tentu punya peranan, tapi dia hanya merupakan bagian kecil saja dari solusi yang harusnya diambil oleh pemerintah,” kata Atha ketika dihubungi Tempo, Jumat, 15 Agustus 2025.
Jika mengacu pada hierarki pengelolaan sampah, kata Atha, prioritas Indonesia seharusnya menempatkan pengurangan di hulu serta solusi guna ulang.
Ia menyebut, tidak semua jenis sampah bisa dikelola dan diserap melalui bank sampah. “Apalagi kebanyakan bank sampah dikelola oleh kelompok masyarakat yang memiliki sumber daya terbatas,” tuturnya.
Atha menekankan bahwa upaya yang lebih berdampak justru terletak pada pengelolaan sampah organik atau sisa rumah tangga. Jenis sampah ini, menurutnya, menyumbang hampir setengah dari total volume sampah sehingga perlu menjadi prioritas penanganan. “Dan ini lebih tepat dengan model-model pengelolaan kompos berbasis komunitas,” katanya melanjutkan.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa keberhasilan bank sampah sebaiknya diukur dari indikator yang jelas, seperti jumlah sampah yang diproduksi maupun yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA). “Keberadaan bank sampah di area tertentu seharusnya bisa mengurangi angka tersebut. Dari sana kita bisa lihat perhitungan signifikasinya.”
Data dari Sistem Informasi Bank Sampah Nasional (SIBSN) per Februari 2025 mencatat ada 371 bank sampah induk dan 24.893 unit dengan lebih dari 892 ribu nasabah aktif di 447 kabupaten/kota. Di saat bersamaan, Indonesia termasuk dalam 145 negara yang mengadopsi kesepakatan internasional untuk mengakhiri polusi plastik lewat Global Plastics Treaty. Komitmen ini menegaskan pentingnya transisi sistemik dalam tata kelola sampah, dari hulu ke hilir.
Pemerintah pun menegaskan bahwa bank sampah tidak bisa menjadi satu-satunya solusi dalam mengatasi persoalan plastik, melainkan harus menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah terpadu berbasis ekonomi sirkular.
Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Erik Teguh Primiantoro menyebutkan bank sampah menjadi bagian penting dalam pembahasan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5.2 di Jenewa, Swiss, pada 5–13 Agustus 2025. Pembahasan ini mengacu pada The Chair Text Desember 2024 dan Revised Chair Text yang dihasilkan dari INC 5.2.
“Bank sampah dalam konteks INC-5.2 menjadi bagian dari penerapan waste management, khusus terkait sirkular ekonomi Indonesia,” kata Erik ketika dihubungi Tempo, Kamis, 21 Agustus 2025. Menurut dia, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, pemerintah menargetkan seluruh sampah dapat dikelola dengan baik.