Sabo – Ulama Nahdlatul Ulama (NU) memiliki otoritas untuk mengajarkan agama. Hal ini dilatarbelakangi keilmuannya yang diperoleh melalui sanad yang muttasil (bersambung) hingga Rasulullah Shalallahu allaihi wassalam.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf dihadapan hadapan ribuan santri dan jamaah dalam acara Lirboyo Bersholawat. Kegiatan diselenggarakan dalam rangka Mensyukuri Hari Santri 2025 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
“Wahai para ulama telah mengambil ilmu dari orang-orang sebelum Anda sekalian, dan beliau-beliau sebelum Anda, mengambil ilmu dari orang-orang sebelum mereka dengan sanad yang bersambung hingga kepada anda semua, maka Anda sekalian wahai para ulama NU adalah gudang-gudangnya ilmu dan pintu-pintunya ilmu. Dan janganlah orang-orang masuk rumah kecuali dari pintunya. Barangsiapa masuk rumah-rumah tidak dari pintu, dari jendela, dari genteng, dari bobol dinding, dia dinamai maling,” ucap KH Yahya Cholil Staquf yang akrab disapa Gus Yahya mengutip pesan Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari.
Ditegaskan Gus Yahya, dari ajaran tersebut para santri diajak untik memahami pentingnya menuntut ilmu agama dari sumber yang benar. “Kita memilih menjadi santri karena kita ingin menjalankan agama tidak seperti maling. Kita ingin memasuki agama dari pintu-pintunya. Ilmu, agama yang kita pelajari ini, adalah agama dari Nabi Muhammad saw,” tegas Gus Yahya.
Kembali ditegaskan Gus Yahya, bahwa seluruh ajaran yang diajarkan oleh para masyayikh dan kiai NU merupakan ajaran yang lurus dan otentik. Sebagaimana ajaran yang disampaikan dan di bawa Nabi besar Muhammad Shalallahu allaihi wassalam tanpa penyelewengan hingga akhir zaman.
“Kita tidak akan pernah berkecil hati. Apa pun yang dikatakan orang, kita tidak akan pernah kendor. Semangat kita menjadi santri karena Allah swt telah menjanjikan walaupun orang-orang tidak suka kepada pesantren, NU, petunjuk, hidayah, nilai-nilai agama yang diajarkan ulama dijanjikan akan menjadi nyata di tengah-tengah dunia,” ujar Gus Yahya.
“Kita semua sudah memilih menjadi santri. Apa pun yang dikatakan orang untuk menjelek-jelekkan santri, merendahkan pesantren, menghina kiai, selama-lamanya kita tetap santri. Santri adalah jaminan kemuliaan masa depan bagi negara Indonesia,” tambah Gus Yahya.
Dalam sambutannya juga Gus Yahya menyerukan semangat dan kesetiaan kepada pesantren, Nahdlatul Ulama (NU), dan Indonesia. “Santri?,Siap bela Lirboyo?, Siap bela pesantren? Siap bela NU?,” dan Siap untuk membela Indonesia?,” teriak Gus Yahya yang dijawab dengan gemuruh para santri, “Siap…!”
“Alhamdulillah, tidak ada lagi yang perlu dikatakan,” sambut Gus Yahya.
Dalam sambutannya, Gus Yahya juga mengingatkan tiga elemen utama yang harus dimiliki para santr. Yaitu, thalabul ‘ilmi, tazkiyatun nafs, dan jihad fi sabilillah.
“Menjadi santri itu adalah sa’yun syamil, perjuangan yang utuh yang menggabungkan sekurang-kurangnya tiga elemen utama, thalabul ‘ilmi, tazkiyatun nafs, dan jihad fi sabilillah. Menjadi santri itu kalau dia mau menggerakkan dirinya untuk thalabul ‘ilmi, mencari ilmu—dulu disebut menuntut ilmu, tapi kita khawatir nanti dianggap ilmu ini punya salah sehingga dituntut-tuntut, maka kita maknai dengan mencari ilmu, tazkiyatun nafs, membersihkan jiwa,” kata Gus Yahya.
Karena, lebih dari sekadar mereka yang belajar di dalam lingkungan lembaga-lembaga sekuler atau di dalam lingkungan lembaga-lembaga pendidikan yang dikatakan formal atau lebih modern. Santri harus belajar tidak hanya dengan mengisi akalnya saja, tapi juga diiringi dengan riyadlah untuk membersihkan jiwanya.
“Jadi kalau cuma belajar dengan menyerap ilmu pengetahuan saja, itu belum santri. Santri itu belajarnya dibarengi dengan tirakat. Ini karena dedikasi total kepada ilmu sehingga ilmu itu betul-betul diperjuangkan secara lahir dan batin.
Dan, elemen utama yang ketiga, jelas adalah jihad fi sabillah, “Karena seluruh keberadaan kita semua sebagai makhluk ini adalah untuk menghamba kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan puncak dari penghambaan itu adalah jihad fī sabilillah,” kata Gus Yahya.***






