Sabo, JAKARTA — Guyuran likuiditas Rp200 triliun Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ke bank milik negara alias himbara belum optimal mengerek peforma pertumbuhan kredit perbankan.
Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pertumbuhan kredit perbankan pada September 2025 di angka 7,7% atau hanya naik tipis dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,56%.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan September 2024, angka 7,7% jauh lebih rendah. Pasalnya, pada waktu itu otoritas moneter mencatat bahwa kinerja pertumbuhan kredit perbankan mencapai 10,85%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan bahwa penyaluran kredit perbankan masih perlu ditingkatkan untuk mendukung ekonomi meskipun terdapat kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya. “Permintaan kredit belum kuat yang dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see, optimalisasi pendanaan internal oleh korporasi, serta suku bunga kredit yang masih relatif tinggi,” ujarnya, Rabu (22/10/2025) lalu.
Perry menyampaikan dibandingkan dengan penurunan BI Rate sebesar 105 basis poin (bps) pada awal 2025, suku bunga deposito satu bulan hanya turun sebesar 29 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,52% pada September 2025. “Dibandingkan dengan penurunan BI Rate sebesar 150 basis point, suku bunga deposito satu bulan hanya turun sebesar 29 basis point dari 4,81% pada awal 2025, menjadi 4,52% pada September 2025,” kata Perry dalam konferensi pers Hasil RDG BI, Rabu (22/10/2025).
Perry mengungkapkan, suku bunga deposito satu bulan yang hanya turun sebesar 29 bps itu utamanya dipengaruhi oleh pemberian special rate kepada deposan besar yang mencapai 26% dari total dana pihak ketiga (DPK) Bank. Penurunan suku bunga kredit perbankan juga tercatat lebih lambat. Perry mengatakan suku bunga kredit perbankan hanya sebesar 15 bps dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 9,05% pada September 2025.
Perry juga menyebutkan fasilitas pinjaman yang belum ditarik atau undisbursed loan pada September 2025 mencapai Rp2.374,8 triliun atau 22,54% dari total kredit. Nilai ini terutama disumbang oleh korporasi terutama di sektor perdagangan, industri, pertambangan, dan berupa kredit modal kerja.
Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, terdapat peningkatan tipis dari sisi nominal, yaitu senilai Rp2.372,11. Namun, dari sisi porsi dibandingkan plafond kredit menyusut, yaitu dari 22,71%. Dari sisi minat penyaluran kredit, Perry menyebutkan kondisi cukup baik dengan persyaratan lending requirements cukup longgar, kecuali di segmen konsumer dan UMKM, seiring dengan kehati-hatian terkait risiko kredit di segmen tersebut.
“BI memperkirakan kredit 2025 tumbuh pada batas bawah 8%-11% dan akan meningkat pada 2026 ke depan,” ujarnya.
Uang Beredar Naik
Kendati belum mampu memacu pertumbuhan kredit secara agresif, Bank Indonesia (BI) melaporkan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp9,771,3 triliun pada September 2025.
Pertumbuhan M2 pada September 2025 tercatat sebesar 8,0% secara tahunan (year on year/YoY). Angka itu lebih tinggi dibanding pertumbuhan Agustus 2025 yang sebesar 7,6% YoY.
“Perkembangan tersebut didorong oleh pertumbuhan uang beredar sempit (M1) sebesar 10,7% YoY dan uang kuasi sebesar 6,2% YoY,” demikian dikutip dari Laporan Analisis Uang Beredar (M2) BI, Jumat (24/10/2025).
BI menuturkan, perkembangan M2 pada September 2025 dipengaruhi oleh aktiva luar negeri bersih, penyaluran kredit, dan tagihan bersih kepada pemerintah pusat. Tercatat, aktiva luar negeri bersih tumbuh sebesar 12,6% YoY. Nilai itu lebih tinggi dibanding bulan lalu sebesar 10,7% YoY.
Penyaluran kredit oleh perbankan juga mencatatkan pertumbuhan. Pada September 2025, penyaluran kredit mencapai Rp8.051,0 triliun, tumbuh 7,2% YoY, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Agustus 2025 sebesar 7,0% YoY.
Tagihan bersih sistem moneter kepada pemerintah pusat tumbuh sebesar 6,5% YoY, meningkat dibandingkan pertumbuhan bulan lalu yang tercatat sebesar 5,0% YoY.
Sementara itu, uang primer (M0) pada September 2025 tercatat meningkat 18,6% YoY menjadi Rp2.152,4 triliun. Nilai itu lebih tinggi bila dibandingkan pertumbuhan Agustus 2025 sebesar 7,3% YoY.
Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan giro bank umum di BI adjusted sebesar 37,0% YoY dan uang kartal yang diedarkan sebesar 13,5% YoY. “Berdasarkan faktor yang memengaruhinya, pertumbuhan MO adjusted telah mempertimbangkan dampak pemberian insentif likuiditas,” tulis laporan itu.
Oktober Bakal Terlihat
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi pertumbuhan kredit perbankan sebesar 7,7% (yoy) pada September 2025 sebagaimana dilaporkan oleh Bank Indonesia (BI).
Menurutnya, penempatan dana Rp200 triliun kas pemerintah ke himbara memang belum berdampak sepenuhnya pada September. Sebagaimana diketahui, injeksi dana pemerintah ke lima himbara itu baru dilakukan pada pertengahan bulan yang sama.
“Mungkin September belum full impact dari uang itu. Tapi kalau kami dari [pertumbuhan] individual bank kan naiknya udah clear kan,” terangnya kepada wartawan saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Purbaya pun menilai kendati pertumbuhan kredit baru 7,7% (yoy) pada September 2025, capaian itu sudah lebih tinggi dari Agustus.
Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu optimistis ke depannya pertumbuhan kredit bisa sebesar double digits. Dia menilai pertumbuhan single digit pada September itu akibat masih ekonomi yang juga terdampak demonstrasi besar-besaran akhir Agustus 2025.
“Saya pikir nanti Oktober, November, Desember, akhir tahun lah kita lihat seperti apa pertumbuhan kreditnya Itu harapan saya dengan uang yang Rp200 triliun tadi pertumbuhannya makin kencang sehingga ekonominya juga pertumbuhannya makin kencang,” terangnya.
.
Kemudahan Akses Kredit
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta kemudahan akses kredit sejalan dengan langkah Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI rate sebesar 4,75%.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan kebijakan moneter bank sentral ini tentunya mempertimbangkan kinerja nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Terlebih, BI mencatat nilai tukar rupiah pada Selasa (21/10/2025) mencapai Rp16.585 per dolar AS atau menguat 0,45% dari posisi pada akhir September 2025. Kendati demikian, kinerja mata uang garuda melemah pada September 2025 sebesar 1,05% dibandingkan dengan Agustus 2025.
“Kebijakan ini masih selaras dengan pertimbangan macroprudential ekonomi Indonesia, khususnya dalam konteks potensi pelemahan nilai tukar yang masih relatif tinggi,” ujar Shinta kepada Bisnis, Rabu (22/10/2025).
Kendati demikian, dia mengakui bahwa suku bunga acuan yang rendah belum mampu menggerakkan sektor riil karena kendala kredit masih ada. Dia menyebut pemerintah perlu memperhatikan pula ketersediaan dana untuk kredit serta melakukan relaksasi terhadap ketentuan dan penilaian risiko kredit oleh perbankan.
“Salah satu instrumen penting untuk menciptakan quantitative easing bagi sektor riil adalah relaksasi ketentuan kredit dan penilaian risiko kredit oleh perbankan, agar sektor perbankan dapat memberikan kredit lebih banyak kepada peminjam dengan persepsi risiko lebih tinggi seperti UMKM,” jelasnya.
Dari data BI, penurunan suku bunga acuan sebesar 150 basis poin (bps) sepanjang tahun ini ternyata belum mampu menurunkan suku bunga kredit perbankan secara signifikan. Penurunan suku bunga kredit hanya sebesar 15 bps, yakni dari 9,2% pada awal tahun menjadi 9,05% pada September 2025.
Tak heran bila Shinta menyebut penurunan suku bunga acuan saja tidak cukup untuk menggerakkan perekonomian. Dia menuturkan jika ketiga faktor seperti suku bunga kompetitif, ketersediaan dana, dan relaksasi kredit, dijalankan secara serentak, dampak percepatan ekonomi bisa terlihat dalam 3–6 bulan dan akan berlanjut lebih lama jika dilakukan secara konsisten.
Lebih lanjut, dia mengingatkan bahwa upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tidak cukup hanya dari sisi pembiayaan. Saat ini, tantangan utama justru berasal dari meningkatnya ketidakpastian dan ketidakpastian iklim usaha, baik di dalam maupun luar negeri.
“Stimulasi pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya dari sisi financing. Kelesuan ekonomi saat ini lebih disebabkan oleh meningkatnya uncertainty (ketidakpastian) dan unpredictability iklim usaha, sehingga banyak pelaku usaha memilih menahan ekspansi,” tegasnya.
Shinta pun mendorong pemerintah untuk meningkatkan efisiensi biaya berusaha serta mempercepat deregulasi dan pemangkasan birokrasi perizinan usaha sebagai langkah konkret memperkuat kepercayaan pelaku usaha dan investor. Terkait strategi ekspansi ke depan, Apindo menilai sebagian besar pelaku usaha lebih memilih memperkuat bisnis inti dan menjaga pangsa pasar yang sudah ada.
“Banyak perusahaan memilih membentuk konsorsium untuk menurunkan risiko usaha, atau mengadopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas tanpa menambah beban tenaga kerja secara berlebihan,” tuturnya.






