Warta Bulukumba – Udara Gaza masih dipenuhi debu reruntuhan. Di antara sisa-sisa bangunan yang hancur, ambulans terus melintas membawa jenazah tanpa nama. Dua tahun agresi militer telah mengubah lanskap wilayah ini menjadi labirin puing dan duka. Kini, di tengah gencatan senjata yang rapuh, Hamas mengumumkan telah menyerahkan semua jenazah sandera yang berhasil mereka temukan — sebuah pernyataan yang menyisakan banyak tanya, terutama bagi keluarga korban yang masih menunggu kabar pasti.
“Kami telah menyerahkan seluruh jenazah yang bisa kami akses. Diperlukan peralatan khusus dan upaya besar untuk menemukan sisanya,” ujar perwakilan Hamas dalam pernyataan resmi yang dikutip pada Kamis, 16 Oktober 2025.
Langkah ini muncul setelah pekan penuh tekanan internasional, ketika kesepakatan gencatan senjata antara ‘Israel’ dan Hamas akhirnya tercapai, disertai pertukaran tahanan dan pembebasan sandera yang masih hidup.
Di Yerusalem, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berpidato memperingati satu tahun serangan 7 Oktober—hari yang kini menjadi simbol luka mendalam bagi ‘Israel’. Di hadapan para keluarga tentara yang gugur, Netanyahu menegaskan bahwa “perjuangan belum berakhir.”
“Siapa pun yang mengangkat tangan melawan kami tahu ia akan membayar harga yang sangat mahal,” katanya. “Kami bertekad menyelesaikan perang ini hingga kemenangan.”
Ia menegaskan ‘Israel’ tetap memegang kendali atas keamanan regional, bahkan setelah gencatan senjata diberlakukan. Netanyahu juga menyebut adanya “peluang dramatis” untuk memperluas lingkar perdamaian dengan negara-negara Arab, meski bayangan konflik dan dendam lama masih pekat di perbatasan.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump—yang memediasi kesepakatan gencatan senjata—mengatakan ‘Israel’ “dapat melanjutkan operasi militer kapan saja jika Hamas melanggar perjanjian.” Namun, dua penasihat senior Gedung Putih menegaskan bahwa AS tidak menganggap Hamas melanggar kesepakatan, meski kelompok itu belum dapat menyerahkan seluruh jasad sandera.
Jenazah tanpa nama dan krisis moral
Dalam waktu yang hampir bersamaan, 90 jenazah warga Palestina yang sebelumnya ditahan Israel dikembalikan ke Gaza. Para pejabat rumah sakit mengatakan jenazah-jenazah itu tiba dengan tangan dan kaki terikat, hanya diberi nomor identifikasi, tanpa nama, tanpa tanda.
Bagi banyak keluarga, prosesi pemulangan ini bukan hanya momen duka, tetapi juga pengingat getir tentang nilai kemanusiaan yang terkikis di tengah perang panjang
“Kami bahkan tidak tahu apakah mereka ini saudara kami, anak kami, atau tetangga kami,” kata salah satu relawan pemulasaran jenazah di Khan Younis kepada media lokal. “Yang kami tahu, mereka kembali dalam diam.”
Rumah Sakit Gaza: Gencatan senjata belum sembuhkan luka
Di sisi lain, krisis kemanusiaan di Gaza terus memburuk. Direktur Rumah Sakit Al-Shifa, Dr. Mohammed Abu Salmiya, mengatakan bahwa hampir tidak ada perubahan dalam kondisi medis di lapangan sejak gencatan senjata dimulai.
“Tidak ada pasokan obat untuk penyakit kronis, tidak ada kemoterapi bagi pasien kanker, dan tidak ada obat untuk pasien gagal ginjal,” ujarnya. “Bahkan alat laboratorium dan peralatan operasi sangat minim.”
Anak-anak di bawah usia lima tahun kini menghadapi malnutrisi parah, sementara rumah sakit tidak lagi memiliki suplemen gizi terapeutik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengaku telah mengirim lebih dari 220 palet obat-obatan dan perlengkapan medis, namun jumlah itu masih jauh dari kebutuhan
“Bantuan yang datang hanya berupa barang konsumsi dasar seperti jarum suntik, sarung tangan, dan kateter,” kata Abu Salmiya. “Itu tidak menyelesaikan kekurangan obat vital bagi pasien kanker dan penyakit kronis.”
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyerukan agar dunia internasional mempertahankan akses kemanusiaan dan dukungan donor, agar sistem kesehatan Gaza dapat kembali berfungsi. Namun di lapangan, sinyal harapan masih terputus-putus—seperti aliran listrik yang hanya hidup beberapa jam sehari.***






