Warta Bulukumba – Di utara Gaza, udara sore masih berbau debu dan asap. Dari reruntuhan gedung yang hancur, anak-anak berlari kecil membawa galon kosong menuju truk air yang baru tiba. Di tepi jalan, seorang perempuan tua menatap langit yang berwarna kelabu, seperti menunggu tanda bahwa hari ini tak akan ada ledakan baru.
Di tengah keheningan yang rapuh itulah, Ismail Ridwan, pemimpin gerakan Hamas, berbicara kepada dunia melalui siaran Al Jazeera pada Kamis, 23 Oktober 2025. Dengan suara berat dan tegas, ia menuduh ‘Israel’ terus mengulur waktu dan menghindar dari pelaksanaan tahap pertama kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
“Kami berkomitmen penuh menjalankan kesepakatan ini sampai tercapai penghentian agresi total,” ujar Ridwan dalam wawancara tersebut.
Gencatan senjata yang tak kunjung nyata
Ridwan menjelaskan bahwa kesepakatan itu seharusnya mencakup penarikan penuh pasukan ‘Israel’ dari Jalur Gaza, pembukaan seluruh perlintasan, serta dimulainya kembali rekonstruksi dan penyaluran bantuan kemanusiaan. Namun kenyataan di lapangan jauh dari janji.
Menurutnya, ‘Israel’ gagal memenuhi kewajiban kemanusiaan sebagaimana diatur dalam tahap pertama. Bantuan yang masuk ke Gaza hanya segelintir—jauh dari janji 600 truk bantuan per hari yang telah disepakati.
“Mereka menolak memasukkan perlengkapan penting seperti tenda, bahan pangan, dan alat berat untuk mencari korban di bawah reruntuhan,” kata Ridwan.
Ribuan bangunan yang hancur membuat lebih dari 10.000 orang masih tertimbun, sebagian di antaranya diyakini merupakan jenazah warga ‘Israel’ yang hilang. Namun, tanpa alat berat dan tim internasional, upaya pencarian hampir mustahil dilakukan.
“Israel justru menjadi penyebab keterlambatan pencarian, termasuk untuk jenazah warga dan tentaranya sendiri, tapi mereka melemparkan kesalahan itu kepada kami,” tegas Ridwan.
Batas Rafah dan janji yang dilanggar
Situasi semakin memburuk dengan penutupan berkelanjutan di perbatasan Rafah. Ridwan menyebut bahwa larangan membawa masuk obat-obatan dan evakuasi pasien ke luar negeri adalah pelanggaran terang-terangan terhadap isi kesepakatan.
Sementara di sisi lain, ‘Israel’ masih membatasi jumlah bantuan yang masuk dengan alasan Hamas belum menyerahkan semua jenazah tawanan mereka. Akibatnya, rumah sakit kehabisan obat, generator listrik berhenti berfungsi, dan ratusan pasien kritis hanya menunggu waktu.
Dalam wawancaranya, Ridwan menegaskan bahwa isu pelucutan senjata maupun pengelolaan Jalur Gaza tidak akan dibahas secara sepihak.
“Senjata adalah masalah nasional, bukan urusan satu faksi. Semua harus dibicarakan dalam kerangka Palestina yang lebih luas,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa Hamas telah menyerahkan dokumen persetujuan tertulis kepada Mesir untuk pembentukan komite independen yang akan mengelola Gaza secara cepat dan tanpa keterlibatan langsung Hamas. Namun, menurutnya, ‘Israel’ justru mempersulit langkah menuju tahap kedua kesepakatan, menolak semua upaya diplomasi yang diajukan mediator.
Di saat yang sama, dinamika diplomasi internasional terus bergerak. Wakil Presiden Amerika Serikat J.D. Vance pada Rabu waktu setempat melakukan kunjungan ke Tel Aviv, bertemu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini tengah menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas dugaan kejahatan perang.
Pertemuan tersebut bertujuan untuk mempercepat implementasi kesepakatan gencatan senjata. Sehari sebelumnya, Vance menyebut bahwa “pelaksanaan kesepakatan berlangsung lebih baik dari yang diperkirakan,” meski ia mengakui masih ada kendala logistik dalam pemulangan jenazah warga ‘Israel’.
Namun, di lapangan, Gaza tetap tercekik. Rafah masih tertutup. Bantuan kemanusiaan menumpuk di perbatasan. Para relawan menyebut hari-hari berjalan seperti “pengulangan tanpa harapan.”
Komitmen di tengah puing
Meski kondisi tidak berubah signifikan, Ridwan menegaskan bahwa Hamas tetap berpegang pada kesepakatan sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap rakyat Palestina.
“Kami ingin penghentian agresi total, bukan jeda sesaat. Dunia harus menekan pendudukan agar menepati janji,” ujarnya.
Baginya, gencatan senjata bukan sekadar perjanjian politik, melainkan ujian kemanusiaan global. Setiap truk bantuan yang tertahan di perbatasan Rafah adalah simbol kegagalan dunia untuk bertindak cepat, setiap pasien yang meninggal karena kehabisan obat adalah pengingat bahwa perjanjian tanpa niat hanyalah kata-kata di atas kertas.
Dan di antara reruntuhan Gaza, suara anak-anak yang menunggu air bersih masih terdengar—menjadi saksi bisu bahwa kedamaian, sejauh ini, masih belum benar-benar datang.






