Free Gift

Hari dengan Suhu Panas Melonjak di Indonesia, Paling Tinggi di Asia

Laporan Climate Central dan World Weather Attribution (WWA) menunjukkan, peningkatan hari panas Indonesia tertinggi di Asia dengan jumlah mencapai 18 hari per tahun. Angka tersebut diperoleh dari jumlah rata-rata hari panas sebelum dan sesudah Perjanjian Paris pada 2015 lalu.

Pada 2005-2014, hari panas di Indonesia sebanyak 45 hari dan meningkat menjadi 63 hari pada periode 2015-2024 . Semakin sering hari dengan suhu ekstrem, akan memicu krisis kesehatan, kekeringan, dan penurunan produktivitas di berbagai sektor. 

Laporan bertajuk ‘Ten Years of the Paris Agreement: The Present and Future of Extreme Heat’ ini menyarankan pemerintah di seluruh negara, termasuk Indonesia, untuk lebih serius memenuhi mandat pemangkasan emisi Perjanjian Paris. 

“Dampak gelombang panas baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak negara belum siap menghadapi kondisi dengan pemanasan 1,3 derajat Celsius, apalagi 2,6 derajat Celsius seperti yang diperkirakan,” kata Wakil Presiden Bidang Sains Climate Central, Kristina Dahl, dikutip dari keterangan resmi pada Rabu (22/10).

Sebelum Perjanjian Paris, para peneliti memperkirakan kenaikan suhu bumi akan mencapai 4 derajat Celsius dengan hari panas rata-rata 114 hari per tahun secara global.

Namun dengan Perjanjian Paris, kenaikan suhu bumi diperkirakan tetap mencapai 2,6 derajat celsius, dengan pengurangan 57 hari panas per tahun atau setengahnya. 

Hal ini juga akan terjadi di Indonesia. Baik pada pemanasan 2,6 derajat Celsius atau 4 derajat Celsius, Indonesia memiliki hari panas terbanyak di Asia dan nomor tiga di dunia. Jumlahnya masing-masing 134 hari dan 234 hari.

Peningkatan hari panas terjadi hampir di seluruh dunia. Wilayah tropis seperti Amazon dan Asia Selatan juga menunjukkan peningkatan signifikan. Ini menunjukkan bahwa negara beriklim tropis menghadapi risiko tinggi terhadap gelombang panas.

Laporan tersebut menegaskan pentingnya membatasi pemanasan global di bawah 1,5-2 derajat Celsius. Sebab, sedikit kenaikan suhu rata-rata global dapat memicu lonjakan besar dalam intensitas gelombang panas.

Gelombang Panas Ekstrem Masih Sering Diabaikan

Laporan tersebut juga menyebut gelombang panas ekstrem masih sering diabaikan. Padahal, kondisi ini dapat memperburuk berbagai risiko, membebani sistem kesehatan, tenaga kerja, mata pencaharian, dan infrastruktur, serta mengancam ketahanan pangan. 

Akibatnya, banyak kelompok rentan yang masih terjebak risiko. Ini diperparah dengan pendanaan adaptasi yang masih sangat kurang. Penghijauan kota yang mengurangi panas sekaligus banjir, serta perlindungan tenaga kerja untuk menjaga kesehatan dan produktivitas, menjadi solusi kunci yang ditawarkan. 

Akan tetapi, cara paling efektif untuk mengatasinya adalah dengan bertransisi dari minyak, gas, dan batu bara sebagai penyebab utama krisis iklim.

“Kita memiliki pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk bertransisi dari bahan bakar fosil, tetapi kebijakan yang lebih kuat dan adil diperlukan untuk bergerak lebih cepat,” kata Profesor Ilmu Iklim di Centre for Environmental Policy Imperial College London, Friederike Otto.

Friederike menegaskan, pemimpin politik perlu memahami tujuan utama Perjanjian Paris dengan lebih serius, yaitu untuk melindungi hak asasi manusia. 

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar