PESAWARAN INSIDE– Polemik dugaan korupsi pengelolaan dana Participating Interest (PI) 10% oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB) kini memicu kehebohan di kalangan praktisi hukum, akademisi, dan pemerhati kebijakan publik. Bukan hanya karena status tersangka terhadap tiga petinggi LEB, tetapi juga karena munculnya peringatan serius dari para ahli hukum bahwa keputusan bisnis hasil Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tidak bisa serta-merta dikriminalisasi.
Kasus yang diselidiki Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung sejak 2024 ini menyoroti pembagian dividen dan bonus yang dilakukan melalui RUPS berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) independen dan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Namun, hingga kini, Kejati belum mempublikasikan hasil audit resmi kerugian negara yang menjadi dasar hukum penyidikan.
“RUPS adalah forum tertinggi dalam korporasi. Keputusan yang diambil berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit dengan opini WTP tidak bisa dianggap melawan hukum,” jelas seorang pakar hukum bisnis dari Universitas Lampung, Rabu (22/10). Ia menegaskan, jika penyidik menafsirkan keputusan korporasi sebagai tindak pidana tanpa bukti niat jahat (mens rea), maka tindakan tersebut berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap kebijakan bisnis.
Legitimasi RUPS dan Perlindungan Hukum Direksi
Dalam dunia korporasi, Business Judgment Rule (BJR) menjadi prinsip penting yang melindungi direksi dari ancaman pidana selama keputusan diambil dengan itikad baik, transparan, dan sesuai prosedur hukum. Berdasarkan Pasal 71 dan 97 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, direksi tidak bisa dipidana atas keputusan bisnis yang telah melalui mekanisme korporasi yang sah.
“BJR itu adalah tameng hukum. Tanpa perlindungan ini, direksi BUMN dan BUMD tidak akan berani mengambil keputusan strategis yang dibutuhkan daerah,” tegas sang pakar.
Ia juga menyoroti bahwa pembagian dividen LEB sebesar Rp214,867 miliar kepada dua pemegang saham—PT Lampung Jasa Utama (LJU) dan PDAM Way Guruh Lampung Timur—sebenarnya telah disetujui secara sah melalui akta notaris RUPS pada 23 Agustus 2023. Dana tersebut justru menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan pengeluaran yang merugikan keuangan negara.
“Kalau dividen itu diterima LJU dan PDAM, artinya dana kembali ke kas daerah. Itu bukan korupsi, tapi penerimaan daerah,” ungkapnya.
Kerugian Negara Harus Nyata, Bukan Asumsi
Sesuai Undang-Undang Tipikor Pasal 2 dan 3, unsur kerugian negara dalam kasus korupsi harus nyata dan terukur. Namun, hingga kini, belum ada hasil audit resmi dari BPK atau BPKP yang menunjukkan adanya kerugian.
“Kalau belum ada angka resmi dari auditor negara, unsur pidananya belum terpenuhi. Hukum pidana tidak boleh didasarkan pada asumsi,” tambahnya.
Pakar hukum pidana menilai, langkah penyidik yang menetapkan tersangka tanpa menghitung kerugian negara bisa dianggap melanggar prinsip due process of law dan asas proporsionalitas penegakan hukum.
Risiko Kriminalisasi Keputusan Bisnis
Para praktisi hukum mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap keputusan RUPS bisa menciptakan efek domino yang berbahaya bagi dunia usaha, terutama bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Banyak direksi dan komisaris bisa menjadi enggan mengambil keputusan penting karena takut dijerat hukum.
“Kalau setiap perbedaan interpretasi akuntansi atau keterlambatan administratif dijadikan dasar pidana, maka ekonomi daerah akan lumpuh. Harus dibedakan mana kesalahan administratif dan mana niat jahat,” ujar seorang auditor publik senior di Jakarta.
Ia mencontohkan, perbedaan penggunaan kurs dolar dalam laporan keuangan LEB 2022 bukanlah pelanggaran hukum. Auditor memakai asumsi kurs APBN, yang lazim digunakan dalam industri migas dan telah dijelaskan dalam catatan atas laporan keuangan (CALK).
“Selama auditor memberi opini WTP, maka laporan itu sah dan tidak bisa dianggap manipulatif,” tegasnya.
Penegakan Hukum yang Seimbang
Kasus PT LEB kini menjadi ujian besar bagi aparat penegak hukum: apakah mereka mampu membedakan antara kesalahan manajerial, administratif, dan perbuatan pidana yang sesungguhnya.
“Penegakan hukum harus adil, proporsional, dan berbasis bukti. Jangan sampai aparat justru mengkriminalisasi keputusan bisnis yang sah,” kata pakar hukum itu menutup pernyataannya.
Publik kini menunggu dua hal penting dari Kejati Lampung: hasil audit resmi kerugian negara dan daftar aset sitaan yang pernah diumumkan sejak awal 2024. Tanpa dasar hukum yang kuat, kasus ini dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi dan kepercayaan terhadap BUMD di Indonesia.
“Korupsi itu bukan soal keputusan bisnis, tapi soal niat mencuri uang rakyat. Kalau laporan keuangan sah, hasil RUPS sah, dan tidak ada niat jahat, ya bukan korupsi,” tegasnya.***






