Sabo, JAKARTA — Laporan Climate Central dan World Weather Attribution (WWA) mengungkap bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga secara global dan pertama di Asia untuk negara dengan peningkatan jumlah hari panas terbanyak sejak Perjanjian Paris disepakati pada 2015.
Laporan bertajuk Ten Years of the Paris Agreement: The Present and Future of Extreme Heat menyebutkan bahwa jumlah hari panas di Indonesia bertambah 18 hari dalam 10 tahun terakhir. Jumlah rata-rata hari panas di Indonesia dalam kurun 2005–2014 adalah 45 hari, tetapi naik menjadi 77 hari dalam kurun 2015–2024.
Sebelum target iklim disepakati melalui Perjanjian Paris, pemanasan global diperkirakan menyentuh 4 derajat Celsius (°C) dan berdampak pada tambahan jumlah hari panas sebanyak 114 hari per tahun.
Namun dalam skenario penurunan emisi sesuai Perjanjian Paris dicapai sekalipun, kenaikan suhu global bakal mencapai 2,6°C dengan tambahan jumlah hari panas menjadi 57 per tahun.
“Saat ini dunia mengalami tambahan rata-rata hari panas sebanyak 11 hari per tahun dengan suhu yang 0,3 derajat Celsius lebih hangat daripada level 2015,” tulis laporan tersebut.
Hal yang sama juga akan terjadi di Indonesia. Baik pada pemanasan 2,6°C dan 4°C, Indonesia menjadi negara dengan tambahan jumlah hari panas terbanyak pertama di Asia dan ketiga di dunia, yakni masing-masing 134 hari dan 234 hari berturut-turut.
“Dampak gelombang panas baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak negara belum siap menghadapi kondisi dengan pemanasan 1,3 derajat Celsius, apalagi 2,6 derajat Celsius seperti yang diperkirakan. Diperlukan pemotongan emisi yang lebih cepat, lebih besar, dan lebih ambisius agar generasi mendatang dapat hidup dalam iklim yang aman,” ujar Kristina Dahl, Wakil Presiden Bidang Sains di Climate Central.
Dari Meksiko, Asia Selatan, hingga Eropa Selatan, peningkatan jumlah hari panas terjadi hampir di seluruh dunia. Wilayah tropis seperti Amazon dan Asia Selatan juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam frekuensi hari panas ekstrem. Hal ini memperlihatkan bahwa negara-negara beriklim tropis menghadapi risiko tertinggi terhadap gelombang panas.
Makin tinggi pemanasan global, maka makin ekstrem pula panas yang dialami. Bahkan, sedikit kenaikan suhu rata-rata global dapat memicu lonjakan besar dalam intensitas gelombang panas di berbagai wilayah. Laporan menegaskan pentingnya membatasi pemanasan global di bawah 1,5–2°C untuk mencegah bencana panas yang meluas.
Laporan tersebut juga menegaskan bahwa gelombang panas ekstrem sering kali diabaikan sebagai bencana, sehingga banyak komunitas tetap berada dalam risiko akibat kurangnya definisi, kerangka hukum, dan data dampak yang jelas. Padahal, panas ekstrem memperburuk berbagai risiko, membebani sistem kesehatan, tenaga kerja, mata pencaharian, dan infrastruktur, sementara pendanaan adaptasi masih jauh dari cukup, terutama bagi kelompok yang paling rentan
Selain itu, kenaikan suhu yang berkelanjutan juga mengancam ketahanan pangan, terutama di wilayah tropis dan daerah dengan sistem pertanian rentan terhadap kekeringan.
Solusi seperti penghijauan kota yang mengurangi panas sekaligus banjir, serta perlindungan tenaga kerja yang menjaga kesehatan dan produktivitas, menjadi kunci untuk mencapai ketahanan yang benar-benar transformatif dan inklusif. Namun, cara paling efektif untuk mengatasinya yakni dengan bertransisi dari bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara yang merupakan penyebab utama krisis iklim.
Menurut Friederike Otto, Profesor Ilmu Iklim di Centre for Environmental Policy, Imperial College London, Perjanjian Paris adalah perjanjian yang mengikat secara hukum untuk membantu semua orang menghindari dampak perubahan iklim yang paling genting. Tetapi, negara-negara masih tetap harus beralih dari bahan bakar fosil.
“Kita memiliki semua pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk bertransisi dari bahan bakar fosil, tetapi kebijakan yang lebih kuat dan adil diperlukan untuk bergerak lebih cepat. Para pemimpin politik perlu memahami tujuan utama dari Perjanjian Paris dengan lebih serius, yakni untuk melindungi hak asasi manusia kita. Setiap fraksi derajat pemanasan, entah itu 1,4, 1,5, atau 1,7°C, akan menjadi pembeda antara keselamatan dan penderitaan bagi jutaan orang,” kata Friederike Otto.






