Free Gift

Indonesia Butuh 10 Ribu Pemulia Tanaman,Baru Punya Seribu: Ancaman bagi Ketahanan Pangan 2050

Laporan Wartawan Sabo, Deanza Falevi

‎Sabo, PURWAKARTA– Ketahanan pangan Indonesia menghadapi tantangan besar di tengah laju perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk. Pada tahun 2050, Indonesia harus mampu menggandakan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

‎Namun di sisi lain, lahan pertanian menyusut, suhu global meningkat, dan ancaman gagal panen semakin nyata.

‎Di tengah situasi itu, harapan besar justru datang dari sosok-sosok yang sering luput dari sorotan, para pemulia tanaman.

Pemuliaan tanaman adalah cabang ilmu pertanian yang berfokus pada peningkatan sifat genetik tanaman untuk menghasilkan varietas unggul. Tujuannya adalah menciptakan tanaman yang lebih produktif, tahan terhadap penyakit, cocok dengan lingkungan tertentu

‎”Peran pemuliaan tanaman sangat sentral terhadap peningkatan kualitas dan produktivitas pertanian,” ujar Prof. Muhamad Syukur, Ketua Umum Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) kepada Sabo, Jumat (24/10/2025).

‎Menurutnya, sejarah membuktikan revolusi hijau dunia dimulai dari tangan dingin para pemulia tanaman. Varietas gandum dan padi berumur pendek yang mereka ciptakan dulu menjadi titik balik meningkatnya hasil panen global.

‎Tanpa pemuliaan, kata dia, produktivitas pertanian tidak akan pernah melonjak hingga sepuluh kali lipat.

‎Kini, peran itu kembali dituntut. Syukur mengatakan, sejumlah riset memperingatkan bahwa perubahan iklim bisa menurunkan produktivitas padi di Asia Tenggara hingga 10-20 persen. Solusinya hanya satu, varietas adaptif, tahan kekeringan, banjir, hama, dan penyakit.

‎Sayangnya, kata Syukur, jumlah pemulia tanaman di Indonesia masih jauh dari ideal.

‎”Idealnya satu pemulia melayani 3.000 petani. Dengan 30 juta petani, kita butuh 10 ribu pemulia. Saat ini yang terdaftar di PERIPI hanya sekitar 1.000 orang, dan yang benar-benar aktif mungkin hanya seperempatnya,” kata Syukur.

‎Minimnya peminat di bidang ini, menurutnya, disebabkan persepsi negatif generasi muda, pekerjaan pemulia dianggap sulit, butuh waktu panjang, dan kurang menjanjikan secara finansial.

‎Padahal, ia mengatakan, pemulia bukan hanya bekerja di laboratorium, tapi juga di lapangan, menanam, mengamati, menyeleksi, dan berinovasi demi benih unggul.

‎”Pemerintah perlu membuka kembali formasi dosen pemulia, membuka program studi S1 khusus pemuliaan tanaman, dan memperluas magang di industri benih agar lulusan siap kerja,” ucapnya.

‎Upaya memperkuat semangat para pemulia kini mendapat dukungan lewat penghargaan Indonesian Breeder Award (IBA 2025) yang akan digelar November 2025. Ajang ini memberi apresiasi kepada individu dan lembaga yang berhasil mengembangkan varietas unggul, teknologi pemuliaan, dan sumber daya genetik berdampak luas bagi ketahanan pangan nasional.

‎Selain krisis sumber daya manusia, Syukur menyebutkan, masalah klasik lain adalah pendanaan riset yang tidak berkelanjutan.

‎Proses pemuliaan tanaman membutuhkan waktu panjang dan konsistensi, tetapi tiap tahun para peneliti harus bersaing lagi untuk dana baru. Akibatnya, banyak program berhenti di tengah jalan.

‎Hal senada disampaikan Prof Bayu Krisnamurthi, Guru Besar IPB University dan pakar agribisnis. Dalam pertemuan dengan asosiasi perusahaan benih Hortindo, ia menegaskan bahwa riset pemuliaan adalah investasi jangka panjang yang harus dijamin keberlanjutannya.

‎”Kalau ingin menarik investasi, kita perlu menciptakan ekosistem yang mendukung riset pemuliaan di Indonesia,” ujarnya.

‎Menurutnya, ketahanan pangan bukan hanya soal beras dan jagung yang cukup di pasar, tapi juga memastikan setiap keluarga dapat mengakses makanan bergizi di tengah tantangan iklim ekstrem.

‎Karena itu, lanjut dia, keberpihakan terhadap riset pemuliaan tanaman adalah kebutuhan strategis bangsa.(*)

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar