Free Gift

Inilah Riwayat Kenapa Seragam Tentara Warnanya Loreng, padahal Dulu Warnanya Mencolok lho…

Evolusi seragam tentara terjadi sejak Perang Dunia I. Warna seragam tentara yang awalnya mencolok berubah menjadi loreng, menyesuaikan dengan kondisi medan.

Artikel ini pernah tayang di Majalah HAI edisi Agustus 2005, dengan judul “Riwayat Loreng Kamuflase: Pakai Loreng Hindari Pelor”

Sabohadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

SaboOnline.com –Beda tentara ada di seragam. Tapi seragam, bisa mengundang peluru. Seragam kamuflase lantas dibikin, dan eh, warga sipil juga demen.

Perang, tentara, dan seragam, memang identik. Perang selalu ngelibatin orang-orang yang disebut sebagai tentara. Dan tentara perlu diberi seragam biar bisa dibedain dari warga sipil.

Sejak zaman Kekaisaran Romawi tentara diberi seragam. Warnanya sengaja dipilih yang terang atau menyolok. Keadaan ini bertahan sampai teknologi senjata api ditemukan. Tapi kenapa warnanya menyolok? Ya supaya gampang mengenali kawan dan lawan di tengah kepulan asap mesiu.

Di sisi lain teknologi senjata api berkembang. Jangkauan jarak tembak senjata api makin lama makin jauh. Alhasil tentara dengan uniform warna menyolok jadi gampang dibidik dan diterjang pelor. Apalagi kalau yang nembak adalah penembak jitu.

Keadaan berubah ketika Perang Dunia I berkecamuk pada 1914. Pihak militer negara-negara yang berseteru — terutama Jerman lawan Inggris — mulai mengenakan battle dress uniform (BDU) yang lebih sesuai dengan medan pertempuran. Warna menyolok ditinggal.

 

Warna seragam yang dipakai pasukan Jerman, misalnya, adalah feldgrau atau field grey. Bukan abu-abu murni, tapi ada unsur hijau. Inspirasinya diambil dari dari pemburu binatang di hutan-hutan di Jerman. Para pemburu banyak direkrut sebagai tentara. Warna ini dipilih bukan karena alasan supaya nggak mudah terdeteksi, tapi – klasik sih alasannya – ya untuk menunjukkan bahwa mereka kini sudah jadi tentara.

Sementara pasukan Inggris lain lagi. Mereka pake seragam warna khaki. Warna ini diambil dari warna seragam yang biasa digunakan orang Inggris ke berbagai koloni mereka di dunia. Terus, gimana hasilnya?

Ternyata tetap banyak tentara yang gugur diterjang timah panas. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Persoalan seragam perang lantas menggelinding jadi topik serius di Angkatan Bersenjata Jerman.

Seragam kamuflase

Lalu lahirlah seragam kamuflase. 

Ada enam faktor yang membuat kehadiran seorang tentara bisa terdeteksi. Faktor itu adalah: sosoknya, gerakannya, suaranya, siluet, cahaya, dan bayangannya. Lewat latihan dan disiplin yang ketat, pergerakan seorang tentara bisa aja nggak terendus. Badannya bisa aja disembunyikan, suara pun bisa diredam.

Tetapi, kalau ada cahaya menerpa dirinya, besar kemungkinan kehadirannya jadi ketahuan. Cahaya bisa memunculkan bayangannya, cahaya bisa memunculkan siluet badannya. Dan seragam yang dipakai, punya andil besar buat memantulkan cahaya. 

Nah ketimbang jatuh korban lebih banyak, Oberkommando Wehrmacht, komando tertinggi AB Jerman pun bikin panitia khusus yang ngomongin soal seragam. Tahun 1930, lewat sekian percobaan, muncullah seragam loreng yang polanya diberi nama Splittermuster 31. Pihak sekutu menamakan pola itu sebagai splinter pattern.

Sepuluh tahun kemudian, AB Jerman memperkenalkan pola loreng yang lain. Namanya SS-Verfügungstruppe atau Waffen-SS. Dua tahun kemudian seragam ini dipakai di Perang Dunia II. 

Pola loreng Jerman ini bikin si pemakai jadi nggak terlalu keliatan. Bahannya relatif bisa meredam pantulan cahaya. Pola lorengnya bikin tersamar. Dan misi perang pun bisa tercapai antara lain karena uniform baru ini.

Pola loreng tentara Jerman itu pada akhirnya banyak ditiru oleh angkatan bersenjata negara lain. Ada yang mentah-mentah meng-copy-nya. Ada juga yang lantas ngembangin sesuai dengan keperluan pasukan.

Yang paling banyak mengembangkan pola loreng kamuflase adalah Amerika Serikat tentu saja. Setelah Perang Dunia II, militer AS terlibat dalam berbagai perang. Mulai dari Perang Korea, Perang Vietnam, sampai yang terakhir Perang Teluk II.

Medan tempur yang mereka hadapi amat variatif. Dari hutan sampai gurun, sampai medan bersalju. Semua BDU tentara AS disyaratkan kudu bisa “menyatu” dengan kondisi alam tempat perang berlangsung. Dan otomatis dari macam-macam perang itu lahirlah beberapa pola kamuflase untuk BDU-nya.

Ada beberapa pola loreng tentara AS yang ngetren. Antara lain Woodland, serta seri Desert 3 Colors dan Desert 6 Colors.

Desert 3 Colors dipakai waktu Perang Irak, sementara Desert 6 Colors dipakai waktu Desert Storm Operation atawa Perang Teluk I digelar, awal 1990-an. Pakaian ini juga dipakai pada operasi militer di Somalia. Jenis pakaian kamuflase lain untuk medan gurun adalah Night Desert.

Untuk Perang Vietnam, militer AS memperkenalkan loreng dedaunan hutan tropis hasil riset Engineer Research Development Laboratory (ERDL). Loreng lain adalah jenis Tiger Stripes. Pada akhirnya Tiger Stripes ini berkembang dalam beberapa varian.

 

Gimana kalo ada kerusuhan atau perang kota? Mereka punya seragam kamuflase khusus. Pola lorengnya disebut Urban dan Subdued Urban. Pola ini dipakai oleh polisi dan pasukan khusus SWAT.

Pola loreng tentara AS memang banyak banget. Begitu banyak sampai-sampai variasi loreng di berbagai negara Eropa jatuhnya ya lebih-kurang mirip juga. Istilahnya aja yang beda. Tentara Prancis misalnya punya dua seragam yang terkenal. Pertama diberi nama Centre-Europe yang polanya mirip Woodland. Yang kedua adalah Daguet yang digunakan di gurun.

Well, lepas dari keperluan perang, warna-warni baju tempur ujung-ujungnya ternyata menarik perhatian warga sipil. Baju loreng itu tampak keren dan cocok untuk dipakai sebagai streetwear.

Di pasaran bahkan sudah beredar loreng merah yang disebut Red Urban atau Red Tiger Stripes. Untuk loreng kuning, sebutannya adalah Yellow Urban/Yellow Tiger Stripes. Terus ada juga jenis Light Blue Urban.

Sipil-militer saling pengaruh

Sudah naluri, bahwa pakaian atau atribut militer disukai banyak orang, termasuk sipil. Dan bukan cuma di Indonesia, remaja cowok di mana pun demen military look. Tapi tau nggak, pihak militer ternyata terpengaruh tren warga sipil juga?

Saat Perang Dunia I, seragam militer dipengaruhi oleh gaya fashion warga sipil. Cirinya antara lain, baju dibuat rapat, dikancing hingga ke leher. Lalu kerah baju dibuat tegak. Jaket pun dibikin pas badan.

Lalu saat Perang Dunia II, baju tentara didesain fungsional. Warnanya hijau tua dan bahannya enak untuk segala cuaca. Warga sipil demen memakainya. Sebaliknya, pakaian militer ikut tren warga sipil. Kerah tinggi, udah nggak musim lagi. Cara pakai gesper atau ikat pinggang lebar pun berubah. Udah nggak meliliti baju atau jaket di atas perut. Pakainya ya, di pinggang celana.

Saat Perang Korea dan Perang Vietnam, model baju dan celana berkantong banyak milik tentara, ngetren di penduduk sipil. Baju seperti itu cocok buat para pekerja lapangan yang perlu kantong banyak untuk menyimpan berbagai benda. Sejak itu populerlah sebutan celana cargo.

Sekarang, celana model cargo sudah mengalami modifikasi. Kancing, misalnya diganti pakai resleting. Bahkan supaya gampang buka-tutup, ya dipakailah kreket. Lebih praktis, dan tutup kantong tetep lengket, ket!

So, begitu banyak pilihan loreng. Pilih aja yang menurut kita keren. (Eds)

Want a free donation?

Click Here

Tinggalkan komentar