Warta Bulukumba – Asap tipis masih menggantung di atas puing Gaza, seperti kabut yang menolak bubar dari subuh yang panjang. Baca temuan ini sampai akhir—di balik angka yang terus bergerak naik turun, investigasi membongkar betapa kaburnya tujuan perang ‘Israel’ yang memakan begitu banyak korban warga sipil Palestina di Gaza.
Pada 22 Agustus 2025, The Guardian, +972 Magazine, dan Local Call merilis investigasi bersama tentang cara militer dan elite politik ‘Israel’ mengukur “kemajuan” perang di Gaza: sebuah “war dashboard”—grafik harian yang menayangkan jumlah militan tewas.
Sumber-sumber di Unit 8200 menyebut layar itu berubah jadi tontonan, “seperti pertandingan sepak bola”, sementara strategi pascaperang tak pernah benar-benar dibahas.
“Kami tidak memahami tujuan perang ini,” ujar salah satu bawahan Yossi Sariel, mantan kepala Unit 8200. “Sangat membuat frustrasi, karena semua hal diringkas hanya menjadi angka.”
Angka di basis data vs klaim publik
Menurut basis data intelijen militer ‘Israel’ per Mei 2025 yang ditinjau tim investigasi, terdapat 47.653 nama kombatan Hamas dan PIJ.
Dari jumlah itu, 8.900 ditandai tewas atau kemungkinan tewas. Angka ini jauh di bawah klaim publik pejabat dan komandan yang berkisar 17.000–20.000 untuk periode yang sama.
Sumber-sumber intelijen mengakui basis data bisa sedikit undercount, tetapi menyebut angka publik yang jauh lebih tinggi “tidak akurat.” Seorang sumber militer barat menilai metrik itu sendiri salah kaprah:
“Mereka hanya menghitung statistik yang keliru. Tidak mungkin membunuh semua orang yang berhubungan dengan Hamas. Jadi apa sebenarnya definisi kemenangan itu?”
‘War dashboard’ sebagai tujuan itu sendiri
Setelah 7 Oktober 2023, Yossi Sariel disebut mengirimkan pembaruan harian jumlah militan tewas berbentuk grafik interaktif.
Sumber-sumber mengatakan kematian kombatan dipresentasikan sebagai tujuan—bukan sekadar indikator. Tak ada diskusi serius tentang siapa yang akan memerintah Gaza jika Hamas kolaps, atau sasaran politik apa yang hendak dicapai melalui eliminasi individu.
“Kami punya dashboard yang indah dan interaktif, tapi kami tidak memahami tujuan perang ini,” ujar seorang perwira intelijen.
Beberapa sumber menilai inflasi angka kematian militan—yang sering dikutip media ‘Israel’—juga berfungsi memulihkan citra militer di mata publik setelah 7 Oktober. Namun, secara strategis, fokus pada “body count” di tengah rasio kematian sipil yang sangat tinggi dinilai kontraproduktif.
Rasio sipil:militan dan sengkarut definisi
Membandingkan basis data militer dengan daftar korban Kementerian Kesehatan Gaza, investigasi menyimpulkan setidaknya lima warga sipil tewas untuk setiap militan di Gaza.
Sumber intelijen mengatakan estimasi internal mereka pun mengarah ke 4:1 sipil per militan. Riset internasional yang ditinjau sejawat menunjukkan total korban kemungkinan lebih tinggi dari data resmi karena banyak jenazah terkubur di reruntuhan.
Di sisi lain, definisi “militan” bagi ‘Israel’ kerap mencakup individu yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran, yang menurut hukum humaniter internasional termasuk warga sipil terlindungi.
Kritik dari dalam negeri dan respons militer
Tokoh sayap kanan sekaligus purnawirawan jenderal Itzhak Brik menyebut klaim publik yang mendekati 20.000 sebagai “salah satu kebohongan paling serius” dalam sejarah ‘Israel’.
Laporan ‘Israel’ Hayom pada April 2024 menulis anggota Komite Luar Negeri & Pertahanan Knesset mempertanyakan data dan menemukan indikasi penggelembungan untuk membentuk rasio 2:1 (sipil:militan).
Ketika dimintai tanggapan oleh Local Call dan +972, militer ‘Israel’ tidak membantah keberadaan basis data tersebut. Namun dalam pernyataan ke The Guardian, juru bicara menyebut “angka yang dipaparkan dalam artikel tidak benar” tanpa merinci bagian mana yang dipersoalkan.
Tujuan yang melar dan ‘lempar dadu’ terakhir
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hampir dua tahun ini mengulang tujuan “menghancurkan Hamas”—formulasi yang kabur dan bisa dikejar tanpa batas waktu.
Kapasitas ofensif Hamas berkurang drastis, sebagian besar perencana 7 Oktober diklaim tewas, namun struktur insurgensi tetap hidup dan mampu merekrut baru.
Seorang sumber militer barat menyimpulkan:
“Tidak ada cara bahwa semua ini bisa mengarah pada situasi yang layak disebut kemenangan. Ini hanyalah kekerasan tanpa tujuan militer sama sekali.”
Sementara itu, Gaza yang porak-poranda menanggung beban utama—puluhan ribu warga sipil tewas atau luka sejak 2023 menurut otoritas setempat, dan komunitas akademik serta lembaga HAM menggunakan istilah genosida untuk menggambarkan skala kekerasan; status yang terus diperdebatkan di forum hukum internasional.***