Free Gift

Jelajah Ketahanan Pangan Riau: Petani Benai Kuansing Sulit Akses Air dan Minim Teknologi

Sabo, KUANTAN SINGINGI – Meski menjadi salah satu daerah sentra hortikultura di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) Riau, para petani di Kecamatan Benai masih menghadapi berbagai kendala serius dalam mengembangkan sektor pertanian, mulai dari keterbatasan modal, sumber air, hingga minimnya penerapan teknologi modern.

Ketua Kelompok Tani (Poktan) Beken Jaya Benai Yunisman mengatakan bahwa tantangan paling berat yang dihadapi petani saat ini adalah keterbatasan akses permodalan dan air irigasi. 

Kondisi geografis Benai yang berada di dataran rendah membuat petani sulit mendapatkan pasokan air yang stabil, terutama di musim kemarau.

“Kalau di sini tantangan utamanya air, Pak. Dulu kami nyiram masih manual pakai gembor, airnya pun susah karena cuma dari sumur gali. Sekarang sudah agak terbantu setelah ada bantuan sumur bor dan sprinkler dari Bank Indonesia,” ujar Yunisman kepada tim Bisnis Indonesia Jelajah Ketahanan Pangan Riau, Senin (20/10/2025).

Dia menjelaskan, sebelum adanya bantuan itu, penyiraman untuk 3.000 batang cabai bisa memakan waktu seharian dan membutuhkan tiga orang pekerja. Kini, setelah sistem sprinkler terpasang, pekerjaan tersebut bisa dilakukan oleh satu orang saja.

“Sekarang cukup hidupkan mesin, satu orang bisa siram 5.000 batang dalam satu jam. Hemat waktu dan biaya tenaga kerja bisa sampai Rp300.000 per hari,” jelasnya.

Namun, Yunisman menyebutkan bahwa efisiensi tersebut belum sepenuhnya optimal karena sistemnya masih manual dan belum berbasis teknologi pintar (smart farming). 

“Kalau bisa ada sistem digital seperti di daerah lain, hasilnya pasti lebih baik. Di Kampar atau Bengkalis, petani cabainya sudah pakai sensor otomatis. Hasilnya bisa naik dua kali lipat,” ujarnya.

Selain soal air, kendala lain yang dihadapi petani Benai adalah fluktuasi harga dan keterbatasan modal tanam. Dengan biaya produksi sekitar Rp8.000 per batang, modal yang dibutuhkan untuk 5.000 batang cabai bisa mencapai Rp40 juta per musim.

“Kalau harga cabai turun di bawah Rp30.000 per kilo, keuntungan kami kecil sekali. Apalagi biaya tenaga dan angkut juga tinggi. Jadi walau hasil bagus, belum tentu untung besar,” kata Yunisman.

Meski begitu, semangat para petani di Benai tetap tinggi. Saat ini, kelompok tani Beken Jaya yang dipimpin Yunisman beranggotakan 16 orang, dengan delapan di antaranya aktif bertani cabai, bawang, dan pepaya. Mereka juga mulai menerapkan sistem tumpang sari untuk menambah pendapatan harian.

Sementara itu Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Kecamatan Benai, Indra Winnora mengatakan bahwa pertanian di Benai sebenarnya sudah mengalami kemajuan signifikan, terutama dengan meningkatnya indeks pertanaman (IP) menjadi 200 atau dua kali tanam setahun.

“Di Benai ini ada sekitar 920 hektare lahan sawah, dan separuhnya sudah menerapkan sistem IP 200. Tapi untuk hortikultura seperti cabai, dukungan masih terbatas. Program bantuan dari pemerintah biasanya bergulir antar kecamatan,” jelas Indra.

Indra juga mengakui bahwa pengelolaan air dan keberlanjutan kelompok tani menjadi dua persoalan utama yang masih perlu diperkuat. “Kadang kelompok tani aktif hanya saat ada bantuan. Padahal keberlanjutan itu penting agar produksi dan pasokan pangan tetap stabil,” tambahnya.

Yunisman berharap ke depan pemerintah dan lembaga keuangan dapat lebih fokus membantu petani hortikultura, terutama dalam akses modal, peningkatan kapasitas teknologi, serta perluasan pasar hasil panen.

“Kalau dukungan untuk air, modal, dan teknologi bisa berkelanjutan, saya yakin petani Benai bisa jadi contoh pertanian hortikultura modern di Kuansing,” pungkasnya.

Want a free donation?

Click Here

Related Post

Tinggalkan komentar